Falisa terlihat tak berselera dengan spaghety di hadapannya. Sejak tadi spaghety itu hanya dia aduk-aduk dengan garpu tanpa sedikit pun dia cicipi. Padahal Yuuya yang duduk di sampingnya kini sudah menyantap habis spaghety miliknya.
Yuuya yang menyadari Falisa sedang tak berselera itu mengernyitkan dahi, sebelum dia berdeham dan berhasil menarik atensi Falisa. Falisa yang semula terlihat jelas sedang melamun dengan tatapan menerawang pada piring berisi spaghety miliknya, refleks menoleh pada sang kekasih.
“Kenapa tidak dimakan spaghety-nya? Tadi kau yang mengajak ke sini setelah tiba-tiba membatalkan acara makan kita di kantin kantor padahal kita sudah memesan makanan.”
Falisa mengembuskan napas pelan. “Kau masih saja membahas kejadian di kantin tadi.”
“Ya, karena aku heran kau tiba-tiba mengajak pergi. Sebenarnya tadi itu kenapa? Pasti ada alasannya kau tiba-tiba mengajakku pergi, kan?”
Falisa diam seribu bahasa, bola matanya bergulir menghindari kedua mata Yuuya yang menatapnya. Melihat ekspresi Falisa ini, Yuuya tahu persis wanita itu sedang menyembunyikan sesuatu darinya.
Salah satu tangan Falisa tergeletak di atas meja dan dia tersentak kaget tatkala Yuuya tiba-tiba menggenggam tangannya erat.
“Kenapa tidak dijawab? Aku perhatikan dari tadi kau melamun terus. Spaghety milikmu saja tidak kau makan padahal ini salah satu makanan kesukaanmu, kan? Aku tahu kau sedang gelisah karena sesuatu, jadi katakan saja. Jangan ada yang kau sembunyikan dariku.”
Falisa tahu dirinya tak akan pernah bisa berbohong pada Yuuya. Hubungannya dengan pria itu terlalu dekat sehingga mereka sudah sangat hafal karakter masing-masing.
“Ada apa, Fal? Ceritakan padaku, jangan diam saja.”
“Sebenarnya tadi aku bertemu dengan CEO itu di kantin kantormu.” Hingga akhirnya Falisa memilih mengatakan yang sebenarnya.
“Maksudnya Pak Juan?”
Falisa mengangguk tanpa ragu. “Ya, aku melihat dia duduk tepat di dekat meja kita. Aku tidak bisa duduk di dekat dia, rasanya takut sekali.”
Mendengar penjelasan itu Yuuya pun terkekeh. “Kau ini berlebihan. Pak Juan tidak akan memarahimu. Kau begini karena masih memikirkan kejadian di pantry?”
Falisa memutar bola mata karena bosan pada sikap Yuuya yang terus menganggap sepele masalahnya dengan sang CEO, padahal bagi Falisa masalah ini sangat serius.
“Apanya yang dia tidak akan memarahiku. Tadi saja aku mendengar dia marah-marah di telepon. Sepertinya dia menyuruh orang untuk mengantarkan jas baru untuknya karena jasnya terkena tumpahan teh. Dia menyebut wanita yang menumpahkan teh pada jasnya itu dengan sebutan wanita gila. Artinya aku yang dia maksud wanita gila.”
Kedua mata Falisa berkaca-kaca karena sungguh dia sangat mengkhawatirkan nasib pekerjaannya sekarang. Padahal pekerjaan ini sangat penting untuknya.
Yuuya tersenyum kecil kali ini. “Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Mungkin Pak Juan sedang emosi saja tadi.”
“Aku yakin kalau dia melihat dan menyadari aku duduk di dekat mejanya, dia pasti akan memarahiku.”
“Hm, pemikiranmu berlebihan. Mana mungkin Pak Juan memarahimu di depan banyak orang. Tadi kondisi kantin cukup ramai.”
“Aku tidak mungkin lupa dia membentakku saat di pantry.”
“Karena kondisi di pantry sepi, hanya ada kau dan dia waktu itu. Aku yakin di depan banyak orang mana mungkin dia memarahimu.”
Falisa tiba-tiba balas menggenggam tangan Yuuya tak kalah eratnya membuat pria itu terheran-heran.
“Yuuya, serius aku takut sekali sekarang.”
Yuuya berdecak. “Apa lagi yang kau takutkan?”
“Bagaimana jika aku tidak diterima bekerja di perusahaan Luther karena kejadian tadi pagi?”
Yuuya memutar bola mata, bosan mendengar pembahasan ini terus diulang Falisa beberapa kali seharian ini.
“Sudah kukatakan jangan berpikir begitu. Tentu saja kau akan diterima bekerja di sana.”
Falisa menggelengkan kepala. “Aku masih tidak yakin.”
“Mau bertaruh denganku?” tantang Yuuya, Falisa tak berkomentar, dia hanya memasang raut cemberut karena hatinya masih dipenuhi kekhawatiran itu.
“Menurutku kau pasti akan diterima. Jika aku benar, kau harus mengabulkan apa pun permintaanku.”
Falisa mendengus. “Huh, kalau aku yang benar karena kejadian tadi pagi membuatku tidak diterima di perusahaan itu, bagaimana?”
“Artinya aku yang kalah taruhan sehingga aku yang harus mengabulkan apa pun permintaanmu. Sesederhana itu, kan?”
Raut wajah Falisa semakin cemberut karena di saat dia sedang khawatir setengah mati, Yuuya terus menganggapnya sepele.
“Ini tidak sesederhana itu, Yuuya. Bagaimana jadinya jika aku tidak diterima bekerja di perusahaan Luther padahal aku sangat membutuhkan pekerjaan itu? Kau tidak lupa kan alasan aku melamar bekerja di perusahaan itu karena aku membutuhkan uang banyak untuk membayar hutang orang tuaku?”
Yuuya tahu Falisa serius sehingga wanita itu sampai meneteskan air matanya. Dengan sigap dan penuh perhatian Yuuya memeluk kepala Falisa, membenamkannya di bahu tegap pria itu.
“Jangan khawatir, kau harus percaya padaku. Aku yakin seratus persen kau pasti diterima.”
“Kalau ternyata tidak diterima?”
Namun, hati dan pikiran Falisa masih penuh dengan kekhawatiran itu.
“Kita hanya perlu melamar ke perusahaan lain. Perusahaan banyak di London, tidak hanya Luther Holdings Group saja. Jadi, jangan terlalu khawatir, Fal.”
“Kalau aku bekerja di perusahaan lain, artinya kita tidak bisa bekerja di perusahaan yang sama.” Falisa ikut memeluk pinggang Yuuya dan semakin membenamkan kepalanya di bahu pria itu. “Aku tidak mau. Aku bersedia bekerja di London karena bekerja di perusahaan yang sama denganmu.”
Yuuya kembali terkekeh menghadapi kekasihnya yang tengah merajuk itu. “Tidak masalah kalau kita bekerja di perusahaan yang berbeda, asalkan kita tetap tinggal di kota yang sama. Kita tetap bisa bertemu setiap hari.”
Falisa mendengus. “Huh, kau ini menyebalkan. Padahal aku tidak mau bekerja di perusahaan lain. Aku ingin bekerja bersamamu.”
“Karena itu kau harus yakin akan diterima di Luther Holdings Group, jangan berpikiran buruk terus. Kau cukup percaya saja padaku. OK?”
Walau Falisa masih tak yakin, dia memutuskan untuk mengakhiri perdebatan itu. Dia pun menganggukan kepala. “OK, aku akan mencoba percaya padamu.”
“Nah, begitu baru benar. Sekarang kau makan dulu, ya. Lihat, punyaku sudah habis.”
Dengan cepat Falisa menggelengkan kepala. “Tidak mau. Aku tidak berselera.”
“Jangan begitu, kau belum memakan apa pun sejak tadi, nanti kau sakit. Aku tidak mau kau sakit, Fal.”
“Tapi aku tidak selera makan. Aku juga tidak lapar.”
Baru saja Falisa mengatupkan mulutnya ketika tiba-tiba perutnya berbunyi, mengeluarkan suara khas orang kelaparan. Seketika wajah Falisa memerah karena malu tertangkap basah tengah berbohong. Sebenarnya dia mulai kelaparan.
Suara tawa Yuuya pun mengalun, sukses membuat semburat merah di wajah Falisa kini menjalar hingga ke telinganya.
“Jangan tertawa. Kau ini menyebalkan, Yuuya.”
Yuuya meringis kesakitan, pasalnya Falisa baru saja mencubit pinggangnya.
“Ya, ya, ya, maafkan aku. Kau ini lucu sekali, pura-pura tidak lapar padahal perutmu sudah keroncongan. Sudah, cepat dimakan.”
“Huh, aku bilang tidak mau. Jangan memaksaku.”
Falisa yang terlanjur malu itu bangkit berdiri dari duduknya, berniat untuk pergi, tapi Yuuya dengan cepat menangkap salah satu tangannya.
“Kau mau ke mana?”
“Pulang,” sahut Falisa tanpa ragu.
“Spaghety milikmu belum dimakan.”
“Aku tidak mau, kau saja yang makan.”
“Aku sudah kenyang, tapi perutmu yang kelaparan. Jangan merajuk begini, Fal. Ayo dimakan dulu.”
“Aku bilang tidak mau.”
“Atau kau mau aku menyuapimu di sini? Di depan banyak orang agar semua orang di sini tahu betapa manjanya dirimu?”
Falisa melebarkan mata, tak suka tentu saja karena Yuuya memaksanya dengan ancaman seperti itu.
“Ayo pilih yang mana? Kembali duduk dan habiskan spaghety-mu atau aku akan menyuapimu dengan paksa?”
Terpengaruh oleh ancaman itu, Falisa pun memilih kembali duduk setelah dia tepis kasar tangan Yuuya yang mencekal lengannya. Lalu dengan terpaksa dia pun mulai melahap spaghety miliknya.
Sepanjang Falisa sedang menyantap makanannya, Yuuya terus menatap kekasihnya itu dengan seulas senyum yang tak pernah luntur di bibirnya.
“Kenapa kau senyum-senyum begitu?” tanya Falisa yang mulai risih karena sang kekasih terus menatapnya lekat seolah lupa cara berkedip.
“Karena hal yang paling aku sukai di dunia ini adalah menatap wajah cantikmu.”
Falisa memasang pose ingin memuntahkan makanannya mendengar ucapan Yuuya yang dia yakin hanya sedang menggombalinya.
“Kau pikir aku senang mendengarnya? Jangan menggombal, ya.”
“Aku tidak menggombal, aku mengatakan yang sebenarnya.” Yuuya lantas menangkap salah satu tangan Falisa yang bebas karena tak memegang garpu. “Aku tidak pernah bosan saat bersamamu atau menatap wajahmu. Mau tahu alasannya?”
Falisa meneguk ludah sebelum dia menganggukan kepala sebagai respons.
“Karena di dunia ini hanya kau satu-satunya wanita yang kucintai dan aku inginkan. Kau itu milikku, Falisa, tak akan kubiarkan ada orang lain yang mengambilmu dariku.”
Falisa tersenyum kecil, dia mengibaskan tangan. “Kau ini bicara apa, mana mungkin ada pria yang merebutku darimu.”
“Kenapa kau berpikir begitu?” tanya Yuuya.
“Karena bagiku juga hanya kau satu-satunya pria yang kucintai.”
Yuuya mengulas senyum riang, terlihat senang mendengar jawaban Falisa tersebut.
“Kalau begitu mari kita membuat janji bahwa kita akan selamanya bersama dan tidak akan ada orang lain yang bisa memisahkan kita berdua,” ujar Yuuya seraya mengulurkan jari kelingkingnya pada Falisa.
“Dasar, kau ini seperti anak kecil saja yang membuat janji sambil menautkan jari kelingking.” Dan Falisa pun menertawakan tingkah Yuuya yang kekanak-kanakan menurutnya.
“Terserah kau mau berpikir apa, yang pasti aku sedang serius mengajakmu membuat janji ini. Jadi, bagaimana? Mau berjanji kita akan menjaga kesetiaan dan selalu bersama sampai kapan pun?”
Falisa mendengus, toh pada akhirnya dia ikut mengulurkan jari kelingking sehingga jari kelingking mereka saling bertautan sekarang. “Baik, aku janji,” sahutnya.
Ya, sepasang kekasih itu telah mengikrarkan sebuah janji bahwa tak akan ada orang lain di hati mereka, seolah mereka mengetahui apa yang akan menimpa mereka di masa depan nanti.
***
Falisa melongo sekaligus takjub melihat apartemen yang dirinya dan Yuuya datangi. Apartemen itu cukup mewah dan sangat nyaman untuk ditempati tentunya karena sudah diisi dengan barang-barang yang tertata dengan rapi.
“Mulai sekarang kau akan tinggal di sini,” ucap Yuuya, sukses membuyarkan Falisa yang sedang berfantasi karena masih takjub dengan kondisi apartemen itu.
Falisa melebarkan mata. “Hah? Apa yang kau katakan barusan?”
“Mulai sekarang apartemen ini tempat tinggalmu.”
“Jangan bercanda. Kenapa bisa?”
Yuuya terkekeh, selalu merasa gemas pada tingkah laku kekasihnya yang terlalu polos itu. “Tentu saja bisa. Buktinya aku mengajakmu ke apartemen ini. Kalau kau masih belum percaya, ini aku berikan kunci apartemen ini padamu.” Yuuya bahkan meletakan kartu yang tidak lain merupakan kunci apartemen itu di telapak tangan Falisa.
“Maksudnya ini apartemen siapa? Lalu apartemen yang kita tempati semalam itu milik siapa?”
“Dua-duanya milikku.”
Bola mata Falisa semakin melebar, terkejut bukan main karena baru tahu kekasihnya menjadi sekaya itu hingga memiliki dua apartemen di kota besar sekelas London.
“Wow, kau hebat sekali sampai memiliki dua apartemen.”
“Apartemen yang aku tempati itu milikku dari hasil gaji yang kuterima selama bekerja di Luther Holdings Group. Kalau apartemen ini semacam bonus dari perusahaan untukku ketika jabatanku diangkat menjadi manager.”
Falisa ber-oh panjang, baru memahami alasan kekasihnya sampai memiliki dua apartemen.
“Kau tempati saja apartemen ini atau kau mau tinggal di apartemen yang sama denganku?”
“Maksudnya kita tinggal serumah begitu?”
“Ya,” sahut Yuuya.
Falisa pun mendengus keras. “Jangan mimpi. Kita belum menikah jadi belum bisa tinggal serumah. Aku sudah berjanji pada orang tuaku tidak akan membuat mereka malu dengan bertindak macam-macam di sini.”
Yuuya terkekeh karena sebenarnya dia sedang menggoda wanita itu. “Ya, ya, aku tahu. Karena itu aku mengajakmu ke apartemen ini. Sekarang kau bisa tinggal di sini dengan tenang karena semua kebutuhanmu sudah tersedia di sini.”
Falisa ingin membalas ucapan Yuuya hingga mulutnya sudah terbuka, tapi urung dia lakukan ketika mendengar suara ringtone pada ponselnya yang diletakan di dalam tas. Bergegas Falisa mengangkat telepon itu, dan beberapa detik kemudian dia tersenyum lebar karena baru saja mendapatkan sebuah kabar bagus.
“Kenapa, Fal?” tanya Yuuya yang heran melihat Falisa tiba-tiba tersenyum sumringah.
“Coba tebak barusan siapa yang meneleponku?”
Yuuya mengangkat kedua bahu tanda dia tak tahu dan tak ingin sok tahu atau asal menebak. “Siapa memangnya?”
“Dari HRD yang mewawancarai aku tadi. Dia bilang aku diterima bekerja di Luther Holdings Group dan mulai besok aku sudah bisa bekerja di sana.”
Tanpa ragu Falisa menghamburkan diri dalam pelukan Yuuya karena dia terlalu senang mendengar kabar menggembirakan itu.
Yuuya ikut membalas pelukannya. “Sudah kukatakan kau pasti diterima bekerja. Ini artinya aku yang menang taruhan, kan?”
Falisa berdecak karena ingat pada taruhan yang tadi siang mereka bahas di restoran tempat mereka memakan spaghety. “Huh, memangnya kau mau minta apa sebagai imbalan karena memenangkan taruhan?”
“Hm, akan kupikirkan nanti. Yang penting siap-siap saja mengabulkan permintaanku dan selamat karena kau sudah diterima bekerja.”
Falisa tak dapat berkata-kata karena hatinya terlalu senang. Dia pun kembali memeluk Yuuya untuk mengungkapkan kegembiraannya. Wanita itu sampai melupakan satu fakta yaitu dia yang memiliki masalah dengan CEO perusahaan itu. Entah bagaimana nasibnya nanti jika bertatap muka dengan Juan?