6. Teman Palsu

1618 Kata
Kriiiiingggg….!! Zara meraba-raba meja nakas di samping tempat tidurnya untuk mematikan jam weker. Jam weker yang selalu Ia setel pukul 05.00. Ia mengucek kedua matanya yang masih terasa berat. Sejak Ibunya tiada, Zara selalu tidur larut malam, entah kenapa matanya sulit sekali untuk terpejam. Zara beranjak dari tempat tidurnya dan menuju ke kamar mandi yang berada di dalam kamarnya. Ia mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat subuh. Zara memang sudah diajarkan untuk sholat lima waktu sejak usianya masih lima tahun. Hingga sampai detik ini Ia pun tidak pernah meninggalkannya. Setelah selesai sholat tak lupa Zara panjatkan doa untuk Ibunya agar beliau diterima di sisiNya dan diampuni segala dosa-dosanya, juga untuk seluruh korban yang berada dalam satu pesawat dengan Ibunya. Tepat tiga minggu sudah Diana meninggalkan Zara dan Herman. Sekarang Zara sudah lebih menerima dengan ikhlas kepergian Ibunya, berkat Bi Inah yang selalu mengingatkannya. Seperti apa yang dikatakan Kakeknya sebelum meninggal bahwa jika kita memiliki iman yang kuat maka segala cobaan pasti akan diterima dengan ikhlas, termasuk ditinggalkan orang yang kita cintai karena sejatinya semua adalah milikNya dan akan kembali kepadaNya. Zara baru saja melepas mukenanya saat telepon genggamnya tiba-tiba berbunyi. Dilihatnya di layar teleponnya, Tante Rena. “Assalamualaikum, Tan?” “Waalaikumsalam… udah bangun Ra.? “Udah lah Tan… ni baru aja selesai sholat.” Jawab Zara. Rena sedikit lega karena sepertinya Zara sudah mulai sedikit memiliki semangat walaupun nada bicara masih terdengar sendu. Zara pun sudah mulai mau makan walaupun masih tidak teratur. Meskipun Rena berada jauh dari Zara, Ia selalu memantau keadaan Zara melalui Bi Inah. Rena takut jika Zara terus menerus terpuruk dengan keadaannya. Walaupun Ia sendiri juga masih merasa sedih ditinggalkan oleh dua orang yang sangat Ia sayangi di waktu yang berdekatan. “Kamu udah mulai masuk kuliah kan?” tanya Rena. “Belum Tan… hari ini si rencananya Zara mau mulai berangkat.” “Alhamdulillah… itu skripsinya juga diselesein, sayang udah tinggal dikit lagi.” Pesan Rena. “Iyaaa...” “Kamu ati-ati ya kalo pergi-pergi, jangan ngebut, jangan nglamun. Ni ada salam dari Bude Widya, katanya kangen.” “Iya Tan… Zara juga kangen.” “Ya udah ya.. wassalamualaikum…” “Waalaikumsalam…” Zara memutus sambungan teleponnya lalu meletakkan kembali telepon genggamnya di atas meja belajar. Ia melipat mukena dan sajadahnya lalu menaruhnya di sandaran kursi. Hari ini rencananya Zara akan memulai kuliahnya kembali setelah tiga minggu lalu Ia tidak masuk kuliah. Ia duduk di meja belajarnya dan membereskan buku-bukunya lalu menaruhnya di tas ransel kuliahnya. Zara menuruni tangga menuju ruang keluarga. Seperti hari-hari sebelumnya, saat ini rumah terasa sepi, Ia seperti tinggal seorang diri di dalam rumah sebesar ini. Sementara Ayahnya sekarang lebih sering berada di kamarnya. Entah apa yang Ia lakukan di dalam sana, Zara tidak berani mengganggunya. Herman yang biasanya setiap pagi rajin menyiram tanaman di halaman rumah, sekarang sudah tidak dikerjakannya lagi. Bahkan burung-burung kesayangannya di halaman belakang pun sudah tidak terurus, terpaksa Bi Inah lah yang mengurusnya, memandikan dan memberinya makan. “Biii…” panggil Zara sambil menuju ke arah dapur. “Iya Mba…” jawab Bi Inah yang tergopoh-gopoh masuk dari halaman belakang. “Lagi ngapain Bi?” “Itu Mba… biasa kasih makan burung.” “Ooh… udah masak apa Bi?” “Bibi masak rendang sama tempe goreng. Mba Zara mau sarapan sekarang? Biar Bibi ambilin piringnya dulu.” Tanya Bi Inah. Zara mengangguk, lalu Bi Inah mengambil dua piring kosong dari dalam lemari kemudian menuju ke meja makan diikuti oleh Zara. “Bibi temenin Zara sarapan ya Bi.” Pinta Zara. “Iya Mba… Bibi temenin aja ya Mba. Bibi makannya nanti aja.” Kata Bi Inah. “Ya udah.” Kata Zara pelan. Sewaktu Diana masih ada, mereka bertiga selalu sarapan dan makan malam bersama di meja makan, namun sejak Diana tiada kebiasaan tersebut seolah berbalik seratus delapan puluh derajat. Sekarang Herman sudah tidak pernah lagi sarapan, bahkan makan malam pun Ia lewatkan karena pulang larut malam dengan alasan sibuk di kantor. Sejak itu Zara selalu meminta Bi Inah menemaninya makan bersama di meja makan. Zara berusaha memakluminya karena Ayahnya pun pernah mengatakan bahwa Ia sedang mengerjakan proyek besar. Ia hanya berharap proyek Ayahnya segera cepat selesai agar Ia bisa pulang lebih cepat, paling tidak bisa menemaninya untuk makan malam di rumah. *** Zara menuju garasi mobil dengan tas ransel yang sudah berada dalam gendongannya. Ia membuka pintu dan duduk di balik kemudi. Ia letakkan tas ranselnya di jok samping. Ada perasaan ragu untuk kembali ke kampus, tapi Ia tak ingin mengecewakan orang-orang yang mendukungnya, terutama Almarhumah Ibunya. Ibunyalah yang selalu mensupport kuliahnya, terlebih Ia sangat bangga Zara bisa diterima di UI (Universitas Indonesia) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Jurusan Bisnis Islam. Zara memacu Honda Brio warna merah miliknya menuju kampus yang terletak di bagian utara Depok, tepat di perbatasan antara Depok dan wilayah Jakarta Selatan. Zara memarkirkan mobilnya di parkiran Fakultas Ekonomi dan Bisnis, lalu segera menuju ke ruang perkuliahan di gedung A. Untuk menuju ke ruang kuliahnya Zara harus melewati selasar yang selalu dipenuhi oleh Mahasiswa, entah untuk rapat organisasi, kegiatan mahasiswa, belajar, atau hanya duduk-duduk santai. Zara merasa beberapa pasang bola mata memandangnya seolah ada yang salah dengan penampilannya. Namun Ia berusaha tidak memperdulikannya dan terus berjalan hingga terdengar salah satu mahasiswa mengusik hatinya. “Eh itu yang Mamahnya jadi korban pesawat jatuh bukan sih?” bisik salah satu mahasiswa kepada teman di sebelahnya. “Iya bener… kasihan ya.” Jawab temannya yang juga sambil berbisik, namun begitu jelas terdengar di telinga Zara. Zara menarik napas dan menghembusknnya perlahan, ingin rasamya Ia menutup telinganya rapat-rapat. Ia pun mempercepat langkahnya agar cepat sampai di ruang kelasnya. Di depan ruang kelas Zara bertemu dengan beberapa temannya dan benar seperti dugaannya. Satu persatu mereka mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya Ibunya. Suasana ruang kelas masih terlihat sepi, Dosen pun belum terlihat datang. Sengaja Zara datang lebih cepat agar tidak menimbulkan perhatian. “Zara, ikut berduka cita ya…” kata Rezky ketika melihat Zara memasuki ruang kelas. “Iya makasih Rez…” jawab Zara singkat. Zara pun memilih tempat duduk di bagian paling belakang. Ia menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi sambil menyalakan musik dengan earphone-nya. Dari dalam ruang kelas, terdengar suara Alena yang begitu memekakkan telinga. Sudah bisa ditebak Ia pasti datang bersama genk nya, seperti seorang putri yang selalu dikelilingi dayang-dayangnya. Alena Hapsari, berwajah manis, berambut curly warna coklat dan tubuh tinggi semampai membuatnya terlihat menonjol diantara teman yang lain. Alena adalah putri dari salah satu pengusaha sukses di daerah Jakarta Selatan. Ayahnya adalah pemilik salah satu mall terbesar di daerah Jakarta Pusat dan beberapa bisnis sukses lainnya. Tak heran apa yang melekat di tubuh Alena semua dari brand mahal dan terkenal. Belum lagi mini cooper cabrio warna birunya yang selalu menjadi pusat perhatian mahasiswa yang lain. Bukannya bersyukur atas nikmat materi yang Allah berikan justru membuat Alena menjadi gadis yang sombong dan merasa dirinya paling berkuasa. Apa yang Ia inginkan selalu berusaha Ia dapatkan, apapun itu. Satu lagi teman genk-nya bernama Tiara, gadis bermuka dua, selalu baik dan menuruti apa kata Alena di depannya tapi membicarakannya di belakang. Itulah kenapa Zara tidak terlalu percaya dengan yang namanya sahabat. Ia lebih percaya dengan seseorang yang masih memiliki hubungan kerabat dengannya, mereka pasti tidak akan pernah mengecewakannya. Alena masuk ke dalam kelas dengan senyumnya yang khas sambil bercanda dengan teman genk-nya. Pandangan matanya langsung tertuju pada Zara yang duduk di kursi paling belakang. “Eh, Zara udah berangkat tuh… ke sana yuk.” Ajak Alena. “Zaraaa…” panggil Alena sambil berjalan mendekati Zara. Namun Zara tak mendengarnya karena telinganya memakai earphone. Reflek mata Zara langsung mengarah pada Alena yang berjalan ke arahnya. Cepat-cepat Zara memalingkan wajahnya agar Alena tak mendekatinya. Hmmm, ngapain sih kemari, batin Zara yang melihat dengan ekor matanya bahwa Alena benar-benar mendekatinya. Ia melepaskan earphone-nya dan menoleh ke arah mereka. “Zara, gue ikut berduka ya… pasti berat banget buat lo.” Kata Alena dengan wajah sedih. Yang diikuti dengan ucapan bela sungkawa teman genk-nya yang lain. Zara hanya tersenyum tertahan. Ia tahu mereka hanya basa basi. Tapi Zara tetap meresponnya dengan baik. “Iya, makasih ya…” kata Zara pelan. “Lo yang kuat ya Ra…” kata yang lain. Zara hanya mengangguk dan memasang earphone-nya kembali ketika mereka sudah mengambil posisi duduk di bagian tengah. “Selamat pagi semua…” sapa Pak Hananto, Dosen Manajemen Resiko Perbankan Islam sambil berjalan menuju mejanya. “Pagi Paakkk…” jawab mahasiswanya serentak. “Oke… kita lanjut mengenai pembahasan yang kemarin ya…” kata Pak Hananto tanpa basa basi. Pak Hananto pum mulai menjelaskan materi di depan kelas. Semua fokus mendengarkan karena Pak Hananto sangat tidak suka jika ada Mahasiswanya yang sibuk sendiri dan mengacuhkannya. Bahkan Ia sempat mengeluarkan Mahasiswanya yang ketahuan bermain telepon genggam ketika Ia sedang menerangkan. Tapi tidak dengan Zara, Ia sama sekali tidak bisa fokus dengan apa yang Pak Hananto sampaikan. Hingga waktu kuliah berakhir, entah apa yang dipikirkan Zara. Zara meraih tas ranselnya dan buru-buru keluar dari ruang kelas hingga Alena memanggilnya dengan keras. “Zara!” panggil Alena yang langsung mendekati Zara. “Ya?” sahut Zara. “Mau ke mana kok buru-buru amat… ikut kita jalan aja yuk.” Ajak Alena tiba-tiba. Zara mengerutkan keningnya. Ada apa nih? Tumben ngajak jalan, pikir Zara. Ini adalah pertama kalinya Alena mengajaknya pergi bersama teman satu genk-nya. “Duh lain kali aja deh… gue udah ditunggu bokap di rumah.” Kata Zara beralasan. Zara benar-benar tidak tertarik dengan pertemanan mereka yang menurutnya palsu. Zara pun memilih kembali ke rumah, kembali berkutat dengan rasa kesepiannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN