4. Cobaan Kembali Datang

1913 Kata
Pagi itu Zara kembali ke pemakaman Ibunya bersama Ayahnya, Tante Rena, Om Bimo, dan Bi Inah. Om Bimo adalah suami dari Tante Rena yang rencananya akan menjemput Diana sesampainya Ia di bandara Internasional Kuala Namu, Medan. Rasanya Zara belum bisa meninggalkan begitu saja makam Ibunya. Dari lubuk hatinya yang paling dalam sejujurnya Ia belum bisa merelakan sepenuhnya kepergian Ibunya. Zara kembali menaburkan bunga di atas gundukan tanah yang masih basah itu setelah memanjatkan doa yang Ia bisa. Tangannya membersihkan batu nisan yang sedikit kotor terkena cipratan tanah karena hujan semalam. Ada bulir air mata yang kembali membasahi pipinya. Sementara Herman terlihat lebih tegar. Ia mendekati putrinya dan mengelus kepalanya yang tertutup kerudung warna putih. “Kita harus ikhlas ya Nak… semua yang bernyawa pasti akan mati. Tinggal waktunya kapan kan kita ngga tau. Allah lebih sayang sama Mamah.” Kata Herman sambil menatap batu nisan Istri tercintanya. “Iya Pah...” kata Zara pelan. *** Seharian Zara terus mengurung diri di dalam kamar. Beberapa kali Bi Inah berusaha membujuknya untuk keluar dari kamar tapi Zara menolaknya. Dengan Zara berada di kamar seorang diri otomatis akan membuat kesedihan dan kesepiannya semakin terasa. Itulah yang Bi Inah takutkan. Zara duduk di meja belajarnya dan kembali memandangi foto dirinya bersama Ibunya. Tiba-tiba matanya tertuju pada draf skripsi yang baru Ia revisi tepat di hari dimana pesawat yang ditumpangi Ibunya hilang kontak. Ia mengambil draf skripsi itu dan memandanginya dengan perasaan hancur. Tugas Akhir yang sedikit lagi bisa Ia selesaikan seperti sudah tidak ada artinya sama sekali. Zara yang sudah berencana memberikan kejutan kepada Ayah dan Ibunya mengenai kelulusannya tapi justru Zara lah yang medapatkan kejutan dari Diana dengan kepergiannya. Tok! Tok! “Masuk.” Kata Zara pelan. Tante Rena masuk sambil membawa nampan berisi sepiring nasi dan lauk pauk serta satu gelas air putih. “Lagi ngapain Ra?” tanya Tante Rena sambil meletakkan nampan itu di atas tempat tidur Zara. “Ngga ngapa-ngapain Tante…” Jawaban yang terdengar klasik. Rena duduk di tepi tempat tidur yang letaknya tak jauh dari meja belajar Zara. “Tante tau kamu begitu terpukul dengan kepergian Mamah. Tante pun juga sangat sedih dan ngga menyangka Mba Diana pergi dengan cara seperti ini. Kakek tuh udah seneeenggg… banget waktu tau Mamah kamu mau dateng. Mungkin kakek juga sakit karena rindu sama Mamah Kamu. Tapi ternyata Allah berkehendak lain. Kakek pun sudah mengikhlaskan. Begitulah kalo kita punya Iman yang kuat.” Kata Rena. Sementara Zara hanya terdiam mendengar ucapan Tantenya itu. “Sedih boleh, tapi ngga boleh berlarut-larut. Zara harus tetep semangat, hidup harus terus berjalan. Justru kalo Zara seperti ini pasti Mamah sedih liatnya.” Lanjut Rena. Sepertinya Zara mengerti maksud ucapan Tante Rena. Zara tersenyum tipis sambil memandang Tante Rena. “Iya Tante…” “Ya udah… sekarang kamu makan dulu ya…” kata Tante Rena sembari mengambil piring nasi yang Ia bawa. Dengan telaten Rena menyuapi Zara yang sejak kejadian itu pola makannya tidak teratur, bahkan Ia hanya meminum segelas s**u dan memakan sepotong roti untuk mengganjal perutnya. “Tante bakal lama kan di sini?” tanya Zara dengan penuh harap. “Iya sayang… minggu depan rencananya Tante baru balik ke Medan. Nanti om Bimo sama saudara yang lain balik dulu, kan mereka harus kerja. “Makasih ya Tante.” “Iya… ngga mungkin lah Tante tega ninggalin kamu.” Kata Rena sambil terus menyuapi Zara. Sejak kecil memang Zara paling dekat dengan tantenya itu. Walaupun tinggal berjauhan, mereka kerap kali menghabiskan waktu berjam-jam di telepon atau melalui video call untuk sekedar ngobrol atau curhat. Mungkin karena perbedaan usia mereka yang tidak terpaut jauh yakni enam tahun. Tante Rena ini baru saja menikah sekitar enam bulan yang lalu dengan Om Bimo dan belum dikarunia buah hati. Diana adalah anak kedua dari tiga bersaudara sedangkan kakaknya bernama Widya. Widya terpaksa tidak bisa ikut ke Jakarta karena harus menunggu kakek Zara yang tengah sakit. “Itu skripsi kamu?” tanya Rena saat melihat tumpukan kertas yang disatukan menggunakan binder clips. Zara hanya mengangguk. Rena tersenyum. “Walaupun Mamah udah ngga ada, kamu harus tetep selesein ya skripsi kamu. Tante ngerti kok perasaan kamu.” Kata Rena yang mengetahui tentang rencana Zara sambil memegang bahu Zara. *** Tujuh hari berturut-turut setelah penemuan jenazah Diana, keluarga mengadakan doa dan tahlil di rumah setelah waktu Isya. Entah apa Hukumnya, tapi itulah yang menjadi tradisi keluarga besar Zara untuk mendoakan Almarhumah. Saat ini hanya tinggal Tante Rena yang masih berada di Jakarta, sementara saudara yang lain sudah kembali ke Medan. Setiap hari Rena berusaha menghibur Zara hingga sesekali mengajaknya keluar rumah agar pikirannya tidak terfokus dengan rasa kehilangannya. Rena melepas mukena, melipatnya, dan meletakkannya di atas tempat tidur. Sajadahnya Ia biarkan tergelar di lantai kamar tamu yang Ia tempati untuk sholat Isya nanti. Keluarga Diana memang dikenal taat karena ajaran Kakeknya yang merupakan salah satu pemuka agama di daerahnya. Tak Heran Diana selalu rutin menjalankan sholat tahajud, bersedekah, puasa senin-kamis, dan hal lain yang di sunahkan. Satu hal keinginan Diana yang sudah Ia inginkan sejak lama dan belum sempat terwujud, yaitu mengenakan hijab. Padahal baru sekitar dua minggu yang lalu Ia mengajak Zara pergi ke toko hijab dan membeli beberapa kerudung dan baju muslim untuk mewujudkan keinginannya tersebut. Namun takdir berkata lain, Ia terlebih dahulu dipanggil Yang Maha Kuasa. Rena meraih telepon genggamnya yang tergeletak di atas tempat tidur dan berjalan keluar menuju ruang keluarga. Sudah ada Zara dan Herman yang duduk di sana sambil menunggu Rena untuk makan malam. Ia duduk di dekat Zara dan meletakkan telepon genggamnya di atas meja. “Besok Tante balik ke Medan ya Ra… bener kamu ngga mau ikut ke Medan dulu?” tanya Rena pada Zara. Rena ingin mengajak Zara ke Medan sementara agar Ia tidak merasa kesepian dan bisa menghibur diri. “Ngga Tante… kasian Papah nanti di rumah sendirian.” Kata Zara. “Udah kamu ngga usah pikirin Papah… ngga papa kok kalo kamu mau ikut Tante Rena dulu.” Kata Herman yang mendengar perkataan Zara. Herman pun kasian pada Zara jika Ia meninggalkannya untuk bekerja. Sedangkan Ia sedang mengerjakan proyek besarnya, sudah pasti akan sangat menguras waktu dan tenaganya. Jadwal kuliah Zara yang tidak menentu dan hanya beberapa mata kuliah saja membuatnya memiliki waktu lebih banyak di rumah. Terlebih Zara tidak memiliki teman dekat yang bisa diajaknya berbagi. “Engga Pah… lagian Zara masih banyak kepentingan di kampus.” Tolak Zara. “Ya udah… tapi inget ya pesen Tante.” “Iya Tantee…” “Trus kamu juga makannya yang teratur. Kalo Tante pulang kamu harus tetep makan. Nanti Tante tanya Bi Inah lho, awas aja kalo kamu ngga makan.” Ancam Rena karena selama satu minggu ini hanya Rena lah yang berhasil membujuk dan membuat Zara mau makan. Tiba-tiba telepon genggam Rena berbunyi. Untung saja Rena membawanya ke ruang keluarga hingga Ia lebih mudah meraihnya. Ia melihat ke layar teleponnya. Dari Mas Bimo. “Assalamualaikum… Hallo Mas…” sapa Rena ramah. “Waalaikumsalam… lagi ngapain De?” tanya Bimo. “Ini lagi ngobrol aja sama Zara sama Mas Herman. Kenapa Mas?” tanya Rena. Perasaan Rena tiba-tiba tidak enak. Suara Bimo terdengar berbeda. “Mas…?” Panggil Rena sekali lagi karena Bino tidak menjawabnya. “Eh… ngga papa. Cuma mau nanya kamu besok jadi balik ke Medan kan?” “Jadi Mas, pesawatnya jam tujuh pagi kok. Kamu kenapa Mas? Kok keliatannya sedih. Kangen?” tanya Rena menggoda suaminya. Bimo hanya tersenyum sekedarnya. “Lagi kurang enak badan aja. Ya udah, besok kabarin ya.” “Iya…” jawab Rena singkat. “Ya udah… Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam…” Rena memutus sambungan teleponnya sambil memandangi layarnya. Aneh, batin Rena. Tak biasanya Bimo begitu, biasanya Ia selalu ceria saat meneleponnya. “Kenapa Tan?” tanya Zara. “Ini nih… Om Bimo tanya besok jadi balik ke Medan atau ngga.” Ucap rena sambil meletakkan kembali telepon genggamnya di atas meja. “Ya udah yuk makan dulu, tuh udah disiapin sama Bibi.” Ajak Herman. Setelah makan malam, ketiganya masuk ke kamar masing-masing untuk sholat Isya. Setelah sholat Isya Rena menuju ke kamar Zara, Ia ingin menghabiskan malam terakhirnya di Jakarta bersama Zara. Mereka pun berbincang hingga larut malam. *** Pagi-pagi sekali Rena sudah bersiap menuju bandara untuk pulang ke Medan dengan diantar Herman dan Zara. Mereka pun segera melaju ke Bandara. Sesampainya di Bandara Herman menurunkan koper Rena. Di situlah Zara teringat sesuatu. Ya! Kejadiannya sama persis seperti hari dimana pesawat yang ditumpangi Ibunya jatuh. Waktu penerbangannya pun sama. Tiba-tiba hatinya terasa pilu, kakinya bergetar seolah tidak sanggup untuk berdiri. Jika Ia bisa, ingin rasanya melarang Tante Rena untuk pergi. “Ngga mau diundur aja Tan pulangnya?” suara Zara terdengar parau. Rena mengerutkan dahinya. “Masa udah di Bandara mau balik lagi…” kata Rena sambil mengelus pipi Zara. “Kamu ngga papa kan?” Zara hanya mengangguk perlahan. Ia memeluk Rena dengan sangat erat dan hampir satu menit Ia tidak ingin melepaskannya. Zara masih trauma dengan kejadian yang menimpa Ibunya dan Ia tidak mau kalau harus kehilangan Tantenya lagi. Rena mengelus punggung Zara, sedikit banyak Ia bisa merasakan apa yang Zara rasakan. Zara memandangi Tante Rena hingga Ia menghilang di balik pintu barulah Zara mengajak Ayahnya pulang. Lindungi Tante Rena ya Allah, doa Zara dalam hati. *** Sesampainya di rumah setelah mengantar Tante Rena, Zara merebahkan tubuhnya di sofa ruang keluarga. Dengan kepulangan Tante Rena, itu artinya hari-hari Zara sudah kembali seperti semula, bedanya adalah kali ini tanpa kehadiran Ibunya. Herman baru saja masuk ke dalam rumah ketika telepon genggamnya berbunyi. Ia pun segera mengambilnya dari kantong celannya. “Assalamualaikum…” Herman mengucapkan salam sambil melangkahkan kakinya menuju ruang keluarga dan duduk di samping Zara. “Waalaikumsalam… Rena udah pulang Man?” tanya Widya, kakak Diana. “Siapa Pah?” tanya Zara. “Bude Widya.” Jawab Herman agak berbisik. “Udah Mba… barusan saya anter ke Bandara” Jawab Herman pada Widya. “Aku cuma mau ngabarin Man…” bicaranya terjeda beberapa detik. “Kalo Kakek udah ngga ada.” lanjut Widya sambil terisak. “Innalilahi wainailaihi rojiun…” “Kenapa Pah??” tanya Zara cepat dengan wajah panik. “Kakek meninggal kemarin lepas Maghrib. Sengaja aku ngga suruh Bimo kasih tau kemarin karena aku takut Rena jadi kepikiran. Kebetulan Rena pulang hari ini jadi aku biarin sampe dia nanti sampai di Medan.” Terang Widya. “Mungkin kita ngga bisa ke sana Mba. Mba Widya tau sendiri.” Ucap Herman yang masih dalam keadaan berduka. “Iya Man, Mba ngerti. Karena itu kemarin Mba ngga kasih tau kamu.” “Rencana mau dimakamkan kapan Mba?” “Nanti kalo Rena sudah sampe di sini, mungkin sekitar jam sepuluh pagi. Ya udah ya Man…” kata Widya diantara isak tangisnya. “Iya Mba…” Herman mematikan sambungan teleponnya. “Siapa yang meninggal Pah??” tanya Zara lagi dengan tidak sabar. Herman menghembuskan napasnya perlahan. Ada air mata yang menggenang di pelupuk matanya. “Kakek udah ngga ada sayang…” kata Herman pelan. “Innalilahi wainailaihi roijun…” Hati Zara hancur, perasaannya seperti dipermainkan akhir-akhir ini. Air matanya tiba-tiba mengalir membasahi pipinya. Baru saja Ia kehilangan Ibunya dan sekarang Ia harus menerima kabar kehilangan Kakek satu-satunya setelah Kakek dari pihak Ayahnya meninggal sekitar tiga bulan yang lalu. Herman memeluk putri kesayangannya itu. Ia pun sedih. Cobaan berkali-kali menimpa keluarganya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN