“Kalau Bapak mengantuk, kenapa tidak putar lagu saja?”
Dafa menaikkan satu alisnya, “Jadi kamu tidak mau ngobrol sama saya?”
“Bukan begitu, Pak. Saya takut nanti omongan saya bikin Bapak kesal”
“Chesa, sebaiknya pikiran kamu yang suka berprasangka buruk harus segera di hilangkan”
“Kenapa Bapak bilang begitu?” tanya Chesa dengan bodoh.
“Sejak awal kamu bekerja dengan saya, kamu sering menyimpulkan hal yang belum tahu kejelasannya. Dan itu tidak baik untuk kesehatan mental kamu”
“Maksud Pak Dafa saya gila?”
“Astaga Chesa. Baru juga saya bilang jangan suka berspekulasi sendiri, ini malah ngulangin lagi”
“Tau ah Bapak bikin saya pusing” tanpa sadar Chesa berani melawan Dafa.
“Kamu yang bikin saya pusing” protes Dafa tidak kalah kesal.
“Ya sudah mending Pak Dafa putar lagu aja, jangan nyuruh saya ngomong lagi nanti malah makin pusing”
Chesa lebih memilih mengalihkan pandangan ke luar daripada harus meladeni Dafa yang kembali menyebalkan.
Dafa yang kesal namun akhirnya menuruti ucapan Chesa memutar lagi yang ada di mobilnya. Dafa tidak tahu apa saja playlist yang ada di sana karena Alvin yang lebih sering memutar lagu di mobil miliknya.
Chesa yang sadar ada lantunan musik menggema di mobil tetap dengan posisi semula. Ia tidak bereaksi apa-apa. Pikirannya kembali tertuju pada Ghea, ia berharap masih bisa sampai tepat waktu sebelum operasi yang di lakukan tepat jam tujuh malam. Chesa ingin menemani kedua orang tuanya yang ia yakin kondisinya pasti sangat khawatir dengan keadaan Ghea.
Ketika lagu kedua mengalun, seketika Chesa mendengarkan dengan seksama. Ini adalah lagu kesukaannya sejak dulu dan sekarang Dafa memutarnya.
Sepenggal lirik dari lagu milik Bruno Mars berjudul Marry You yang tanpa sadar Chesa lantunkan pelan-pelan. Ia tidak melanjutkan karena malu saat sadar ia sedang bersama atasannya.
Dafa memperhatikan dengan sekilas wajah Chesa yang mendadak sumringah. Ia tidak tahu jika dengan mendengar lagu ini bisa mengalihkan perhatian sekretarisnya.
“Kenapa berhenti?” tanya Dafa ketika Chesa kembali diam namun ia tetap menikmati lagunya.
“Nanti Bapak protes kalau saya nyanyi”
“Kamu suka lagu itu?”
Chesa mengangguk antusias, “Suka, salah satu lagu favorit saya”
“Kenapa kamu suka lagu itu?”
Chesa menganggkat bahunya, “Entahlah, terdengar romantis”
“Hanya itu? Atau pacar kamu pernah menyanyikan itu untuk kamu?”
“Saya nggak punya pacar, Pak” jawab Chesa santai.
“Jangan bohong” Dafa menoleh sekilas.
“Saya nggak bohong. Kalau saya punya pacar mana mungkin saya pergi ke Bandung sama Bapak. Mending sama pacar saya” mulut Chesa yang asal jeplak membuat Dafa mendengus kesal.
“Jadi kamu menyesal saya yang mengantar?”
“Saya boleh jawab jujur, Pak?”
“Harus jujurlah, saya benci dengan seorang pembohong”
“Tapi gaji saya nggak di potong kan? Atau Bapak nggak akan pecat saya kan?”
Dafa mendesah putus asa, “Chesa kamu ini cerewet sekali ternyata”
“Tuh kan belum apa-apa saya udah di bilang cerewet. Saya nggak mau jujur deh”
“Chesa..” bentakan Dafa membuat Chesa terkejut.
“Astaga, Pak Dafa. Jangan emosi atuh, nanti Bapak bisa darah tinggi” Chesa seakan lupa batasan antara sekretaris dengan atasannya. “Iya saya jujur, saya senang Bapak berniat baik mengantar saya ke Bandung tapi satu sisi saya juga takut sama istri Bapak. Bagaimana tanggapan Ibu Ribka saat tahu suaminya mengantar sekretarisnya ke Bandung. Rasanya ini berlebihan, Pak”
“Ada lagi?” tanya Dafa dengan nada datar.
“Ada. Saya harus bilang apa ke orang tua saya tentang Bapak”
“Ya bilang yang sebenarnya, saya ini atasan kamu”
“Tapi kenapa atasan rela mengantar karyawannya padahal ada pekerjaan lebih penting yang harus Bapak lakukan”
“Chesa, saya hanya berniat membantu kamu. Jangan pandang saya sebagai atasan kamu, tapi lihat dari sudut pandang sesama manusia yang harus saling tolong menolong. Saya tidak tega melihat kamu seorang perempuan pergi ke Bandung naik trevel. Anggap saya juga perlu menyegarkan pikiran karena sibuk dengan pekerjaan”
Chesa menoleh ke samping, menatap Dafa dengan serius. Entah kenapa, ucapan pria ini pernah ia dengar sebelumnya. Bahkan ia sering mendengarkan kalimat ini, dulu tapi sekarang tidak lagi. Dan Dafa membangkitkan memorinya itu.
Dafa melirik Chesa sekilas, “Soal istri saya, kamu tidak usah khawatir. Biar itu jadi urusan saya”
Chesa kembali melirik Dafa, apa yang perlu Chesa bantah lagi kalau jawaban Dafa tidak membuatnya bisa berkutik. “Kalau begitu terima kasih, Pak” ucap Chesa pelan namun terdengar sangat tulus.
Sama-sama. Sekarang, biarkan saya fokus mengemudikan mobil agar kita cepat sampai di Bandung.
Chesa menuruti ucapan Dafa, ia duduk manis tanpa mau mengganggu pria itu. Sesekali Dafa mengajaknya kembali bicara agar suasana canggung tidak terlalu menyelimuti mobil mewah itu.
Perjalanan yang cukup lama, membuat Chesa tidak bisa menahan kantuk. Tanpa pikir panjang, ia memejamkan mata lalu tertidur tanpa malu dengan keberadaan Dafa.
Dafa yang tahu Chesa tertidur hanya bisa tersenyum. Dafa tidak masalah dengan hal itu. Entah kenapa, bersama dengan Chesa ia seperti mendapat lawan yang seimbang untuk di ajak berdebat. Namun berdebat yang menyenangkan walaupun kadang membuat Dafa kesal dengan kecerewetan Chesa.
“Kamu ini gadis aneh, kadang polos, penurut tapi dalam hitungan detik kamu menjadi gadis yang menjengkelkan” gumam Dafa tanpa khawatir Chesa mendengar.
Setelah perjalan dua jam lebih, mobil Dafa masuk di pelataran parkir sebuah rumah sakit ternama di kota Bandung. Setelah memarkirkan mobilnya, Dafa melihat Chesa yang masih tertidur pulas.
Dafa mendekatkan dirinya ke samping, memperhatikan Chesa yang tertidur pulas. Kulit wajahnya yang putih bersih, bibirnya yang ranum dan bulu matanya begitu lentik membuat Dafa betah menatap lama-lama. Rambutnya yang hitam legam, terurai begitu lembut.
Dafa menghela napas, “Kenapa aku tidak sadar kalau sekretarisku memiliki wajah yang sempurna” pikir Dafa.
Dafa merasa tidak tega membangunkan Chesa, namun ia juga tidak mungkin membiarkan gadis ini tidur sedangkan beberapa menit lagi adiknya akan di operasi. Perlahan tangannya terangkat untuk merapikan anak rambut yang menutupi bagian pipinya.
Sebuah getaran aneh menjalar di tubuh Dafa saat tanpa sengaja jarinya menyentuh kulit wajah Chesa. Jantungnya berdegub kencang dan dadanya terasa sedikit sesak.
“Kenapa denganku?” pikir Dafa.
Tiba-tiba Chesa menggeliat dari tidurnya lalu perlahan membuka mata. Betapa terkejutnya Chesa melihat wajah Dafa yang begitu dekat dengannya. Sungguh pemandangan yang indah. Wajah pria ini begitu tampan, alisnya tebal dan matanya begitu indah. Hampir saja membuat Chesa ingin membelai wajah Dafa jika ia tidak ingat kalau ini bukan sebuah mimpi.
"Pak Dafa...” gumam Chesa.
Dafa segera menjauhkan dirinya dari Chesa, “Tadi saya mau bangunin kamu. Kamu ini tidur udah kayak kebo”
“Masa sih, Pak? Perasaan saya tidurnya nggak pulas-pulas amat” ucap Chesa dengan suara khas bangun tidur.
“Kamu tidak percaya sama saya? Kamu tidak sadar kalau tadi kamu mendengkur?” untuk menutupi kegugupannya Dafa terpaksa berbohong.
“Baru pertama ini saya mendapat protes kalau tidur saya seperti itu”
“Kamu pernah tidur sama siapa?”
“Sama teman saya. Ah udah ah Pak jangan berdebat, saya harus segera turun sebelum operasi adik saya di mulai. Terima kasih sudah mengantar saya sampai di sini. Nanti saya hubungi Pak Dafa lagi" Chesa segera membuka seatbelt lalu membuka pintu mobil.
“Tunggu, saya ikut” ucapan Dafa seketika membuat Chesa melongo seperti orang bodoh.
~ ~ ~
--to be continue--
*HeyRan*