"Pasang ini di sini, lalu di sana... Dan ini"
Setelah mencuci piring bekas makan malam Hera membasuh tangannya pada kain lap di samping rak.
Pandangannya mengarah pada sepasang daddy dan putrinya yang terlihat begitu serius dengan mainan lilin di tangan mereka. Adrian terlihat memangku Allea, tangannya membantu putrinya untuk membentuk suatu hal.
Hera tersenyum melihat adegan manis yang berada di hadapannya. Hera berjalan menghampiri mereka berdua. Mendudukan dirinya di hadapan Adrian. Ia memeluk lututnya dengan kedua tangannya, matanya tak beralih sedikitpun dari sana.
"Cha selesai"ucap Adrian atas hasilnya membentuk sebuah patung lilin.
"Yeee.... Mommy lihat, buatan daddy bagus kan"Allea terlihat senang bukan main, ditunjukkannya sebuah patung binatang yang dibuat Adrian pada Hera.
"Wah.... Cantiknya, masa iya ini buatan daddy?!! Mommy lihat Allea yang membuatnya?!! "ucapan Hera membuat Adrian mendelik, kedua bola matanya berputar malas.
"Bukan.. Ini buatan daddy, Bagus kan mommy, daddy luar biasa"puji Allea yang membuat Adrian tersenyum karenanya.
Adrian mengelus pucuk kepala sang Putri.
"Terima kasih. Lain kali kita buat patung yang banyak, daddy akan ajarkan Allea untuk membuatnya, agar Allea bisa melakukan apaaaaaaaaapun"ucap Adrian seraya melirik Hera sinis.
Hera mendengus, merasa sedikit kesal dengan kata-kata Adrian yang menyindirnya, seakan mengatakan betapa payahnya dia.
"Allea sudah bilang pada daddy?"ucap Hera berbisik yang membuat Adrian menyerngit.
Allea menggelengkan kepalanya seraya tersenyum pada Hera dan hal itu makin membuat Adrian bingung. "Cepat bilang pada daddy?"Bisik Hera lagi.
"Mommy saja"ucap Allea terdengar malu-malu.
"Tidak apa, bilang saja"
"Tapi...... Ahh, mommy"
"Hei ada apa ini?"Adrian menatap keduanya bingung, dia benar-benar tidak mengerti saat ini, katakan pada daddy, memangnya apa yang kedua orang itu ingin katakan padanya.
Adrian terus menatap Hera dan Allea secara bergantian. Allea berdiri menghadap Adrian, anak perempuan kecil itu menyentuh kedua pundak sang daddy. "Daddy, Allea mau ikut kelas balet boleh?"
Adrian terkejut, matanya menyerngit menatap Allea bingung.
"Hanya itu"
"Ehhmmmm, boleh tidak?"Allea menganggukan kepalanya, menatap sang daddy dengan ekspresi begitu berharap.
"Tentu saja boleh, daddy kira ada apa.... Jangan takut minta sesuatu pada daddy kau mengerti"ucap Adrian memberi pengertian pada putri kecilnya yang sangat di sayanginya itu.
"Terima kasih daddy"Allea memeluk leher sang daddy, lalu mencium pipi Adrian dengan erat.
"Allea sayaaaaaanggggg daddy"
“Daddy juga sayang Allea"
"Allea tidak sayang pada mommy?"Hera mempoutkan bibirnya seolah pura-pura merajut pada Allea, yang membuat sang putri menoleh ke arahnya.
Bibirnya tersenyum dengan kekehan kecil yang lolos dari bibir kecilnya. Gadis kecil itu menghampiri sang mommy lalu memeluk leher wanita itu.
"Allea sayang mommy... Saayaaaaaaaangggg sekali"ucapnya yang diakhiri kecupan manis di kedua pipi sang mommy secara bergantian.
"Uhh.... Lucunya"ucap Hera gemas. "Besok kita beli baju balet nya"
"Benarkah?"Allea cukup terkejut, mulutnya membentuk huruf O. Kedua matanya membulat sempurna menatap Hera yang membuat Hera nampak gemas.
"tentu saja"Hera mencubit gemas pipi sang Putri gemas, lalu memainkan kedua pipi putrinya, dan hal itu membuat Allea terkekeh, puppyeyes nya terliat begitu cantik.
***
Kini ketiganya berbaring di atas karpet berbulu diruang tamu. Adrian tidur disebelah Hera yang saat ini tidur membelakanginya.
Sebelah tangan kirinya di jadikan bantal untuk kepala Hera, sementara tangan kanannya melingkar di pinggang sang istri.
Hera mengelus rambut Putri kecilnya yang kini tengah tertidur di sampingnya dengan bantal sofa. Bibirnya kerap kali tersenyum, jari telunjuknya sesekali menekan gemas pipi Allea yang chubby. "Kalau kau terus mengganggunya seperti itu, Putri kita bisa terbangun"Hera tersenyum kecil saat Adrian memperingatinya.
"Aku tidak pernah bermimpi memiliki keluarga seperti ini, aku punya putri yang begitu cantik dan menggemaskan. Lalu suamiku yang tampan walaupun menyebalkan"
"Tsk!"dengus Adrian, lalu ia terkekeh mendengar ucapan Hera barusan.
"Hidupku begitu indah.. Aku rasa, aku tidak menginginkan apa-apa lagi"gumam Hera.
Adrian menyandarkan wajahnya di curuk leher Hera, matanya mengarah pada Hera, menatap lekat wanita itu dari samping. Hera melirik ke arah Adrian. Dan kedua mata mereka bertemu.
"Jujur aku selalu takut kau dan Allea menjauh dariku. Saat kau pergi dariku, itu membuatku hampir gila, rasanya aku tidak bisa lagi bernafas. Kalau bukan karena Allea, aku yakin aku sudah menyusulmu masuk ke dalam Sungai"
"Rasanya begitu sakit, sungguh... Perasaan itu benar-benar begitu menyeramkan, tapi karena hal itu aku tahu rasanya kehilangan. Aku mengerti bagaimana orang-orang di luar sana bisa melakukan hal bodoh hanya karena putus cinta"
"Aku tidak mau kau pergi lagi dariku, aku begitu protectif padamu itu karena aku begitu takut kehilanganmu"
"Tapi seharusnya kau percaya padaku"sela Hera.
"Mudah bagimu untuk mengatakannya, hanya melihatmu di tatap pria lain saja sudah membuatku begitu emosiku. Emosiku sudah seperti berada di ubun-ubun, kau wanita tua yang menyebalkan"
"Hei"protes Hera.
"Apa sih yang pria itu lihat darimu, kenapa mereka menyukai wanita pemilik satu anak ini, bibi ini tidak muda lagi"
"Tsk"dengus Hera, kalau saja wanita itu tak ingat ada putrinya yang kini sedang tertidur di sampingnya, dia sudah memaki Adrian habis-habisan.
"Kalau begitu kenapa kau menyukaiku, cari saja wanita lain yang lebih muda di luar sana, menyebalkan"Hera memalingkan wajahnya dari Adrian, lalu memejamkan matanya dengan kesal.
"Tapi.... Kalau dilihat-lihat lagi aku tahu kenapa, istriku ini memang begitu cantik, menggemaskan dan begitu imut"ucapan Adrian membuat Hera tersenyum.
"Benarkah?"tanya Hera tiba-tiba seraya menatap wajah Adrian dengan wajah berbinar.
Adrian tersenyum membalas senyuman Hera.
"Aku berbohong"ucapannya membuat senyuman Hera memudar seketika.
"Ishh... "Decak Hera.
"Akhh..... Sakit"rintih Adrian saat Hera mencubit pinggangnya.
"Rasakan itu"ucap Hera kesal. Dan langsung memeluk Allea dan memejamkan mata. Tidak peduli dengan Adrian yang tengah merintih kesakitan.
***
Evan menenggak segelas wine di sebuah bar daerah Seattle. Ada pertemuan bersama teman-teman sewaktu kuliahnya. Kini dirinya tengah bersama dengan 5 pria, asik menenggak wine seraya bercerita tentang kehidupan mereka dan pekerja.
"Aku habis mengencani seseorang wanita, dia galak sekali, jadi aku langsung memutuskannya. Aku tidak kuat untuk berpacaran dengannya"
"Kalau aku dalam 1 bulan ini, sudah berpacaran dengan 6 orang wanita, dan berakhir dengan cepat, mereka tidak masuk dalam kriteria ku"
Evan hanya terkekeh mendengarnya. Teman-temannya memang tampan, dan termasuk ke dalam para pria playboy. Dulu mungkin Evan berpikir memiliki mantan kekasih banyak itu keren, tetapi ketika ia melihat rumah tangga Adrian yang begitu bahagia dengan satu wanita, pikiran itu kini terbalik.
Menurut Evan, satu wanita untuk selamanya terasa lebih berarti.
"Evan siapa kekasihmu saat ini-eoh?"
"Aku belum mendapatkan yang tepat"jawab Evan terdengar santai.
"Jangan terlalu fokus bekerja, cobalah cari wanita... Di sini banyak, buka matamu dan pilihlah"ucap sang teman.
Evan kembali terkekeh, matanya mengedar ke segala arah, hingga akhirnya matanya terhenti pada salah seseorang wanita yang baru saja melangkah memasuki bar. Wajahnya terlihat familiar, bahkan rasanya Evan begitu mengenalinya.
"Eoh... Sedang apa dia di sini?"ucapnya saat berhasil mengenali wanita siapa wanita itu.
***
Elena melangkah masuk ke dalam bar, pandangannya mengedar ke segala arah seperti mencari seseorang. Elena jarang sekali masuk ke dalam sini, ia dan Hera termasuk ke dalam wanita baik-baik. Tidak peduli dengan kegugupannya ketika banyak pasang mata mengarah padanya dengan wajah penasaran, ia sedang mencari seseorang hingga akhirnya sosok pria yang menjadi alasannya memasuki tempat ini terlihat.
Elena berjalan menghampirinya dengan tergesa-gesa. Ia begitu kesal dan muak. Kedua matanya terlihat begitu emosi.
"Thomas"
PLAKK!!
"Teganya kau lakukan hal ini padaku"Ucapnya setelah memberikan tamparan keras pada pria yang tengah melakukan skinsip dengan seseorang wanita. Pria itu menoleh padanya, bibirnya tertarik membentuk senyum remeh di sudut bibirnya. Lalu ia mendengus sebal, memberikan tatapan pada Elena dengan tatapan emosi.
"Oh... Kau, Elena kau di sini, Tsk!! "Decaknya.
"Kau berselingkuh di belakangku, jadi itu benar?"tanya Elena, wajahnya terlihat begitu kecewa dan sedih.
"Kenapa ? Memangnya kenapa ? Kau keberatan. Aku begitu bosan denganmu, jadi kita akhiri... hubungan ini selesai. Jadi berhenti menghuhungiku kau mengerti"
"Apa!! "Ucap Elena tak percaya. Karena begitu mudah bagi Thomas untuk mengakhiri segalanya begitu saja. Mata Elena mengerjap beberapa kali, sungguh ini benar-benar membuatnya terkejut.
"Aku rela melakukan apapun untukmu, uang, waktu, apapun yang kau minta. Dan ini balasanmu untukku"Elena mendorong-dorong dan memukul bahu Thomas.
"Tsk! Berhenti memukulku wanita bodoh”ucap Thomas yang mencekal pergelangan tangan Elena yang memukul bahunya.
“Pergi sana. Jangan ganggu aku lagi"ucap Thomas. Hal itu benar-benar membuat hati Elena seakan teriris. Thomas kembali menatap seorang wanita yang sejak tadi merangkulnya di lengan kirinya dengan manja. Mengabaikan Elena begitu saja.
"YAK THOMAS"
"THOMAS"
"Teganya kau pria menyebalkan..Bre**S*k "
Elena memukul bahu Thomas lagi hingga beberapa kali, kesal, kecewa.. Perasaan itu menyelimuti hati Elena sekarang.
"BERHENTI MEMUKULKU DASAR... "teriak Thomas seraya bersiap memukul Elena hingga membuat Elena menunduk takut.
BRUKK!!
Tubuh Thomas jatuh tersungkur ke lantai saat mendapati tinju yang cukup keras pada tulang pipinya. "Pria tidak tahu diri, Tsk! Apa kau tidak malu ingin memukul wanita -eoh"
"Ayo pergi"ajak Evan, wajah Elena mendongkak, dan mendapati sosok Evan yang kini sedang berdiri di hadapannya
"Ayo"ulangnya. Evan menarik tangan Elena lembut, yang membawanya pergi keluar dari sana.
***
Evan terus membawa Elena menjauh dari bar. "Ayo, ku antar kau pulang"tawar Evan padanya.
Sejak ditarik dari dalam Bar hingga akhirnya mereka di parkiran Elena hanya terdiam, wajahnya memerah hingga akhirnya setetes air mata keluar dari sudut matanya. Dan ia menangis. Hatinya terlalu sakit untuk menahan air matanya sampai di rumah. Ia masih tak percaya Thomas berselingkuh darinya setelah apa yang ia lakukan untuk pria itu selama ini.
"HUAAAAAAAA..... hiks... Hiks... Hiks.... Kenapa seperti ini? Teganya dia melakukan hal ini padaku.. Hiks. Hiks... Banyak yang sudah ku lakuan untuknya, teganya dia. Hiks.. Hiks.. Dasar pria menyebalkan tidak tahu diri... Hiks.. Hiks... "
"Uhmm... Elena jangan menangis”ucap Evan yang mulai risih karena banyak orang yang berlalu lalang dan mulai menatapnya dengan tatapan mengintimidasi. Seolah-olah penyebab tangisan Elena seperti ini adalah Evan.
"Sungguh bukan aku.. "Ucap Evan pada beberapa orang yang melewatinya dan memandangnya aneh.
"Bukan aku"
"Hei Elena jangan menangis.. Berhentilah menangis, orang-orang jadi mengira aku yang membuatmu seperti ini"
"Huaaaaaaaaaa...... Hiks... Hikss.. "Bukannya berhenti menangis, tangisan Elena malah makin mengencang dan hal itu sukses membuat Evan menatapnya frustasi.
***
Evan memberhentikan mobilnya di depan rumah Hera dan Adrian. Elena yang meminta untuk mengantarkannya ke rumah Hera. Ketika sampai di rumah Hera, Elena dan Evan turun dari dalam mobil lalu memasuki halaman rumah Hera.
>>> (bel berbunyi)
Butuh beberapa kali tombol pemanggil itu ditekan hingga akhirnya pintu itu mulai terbuka. "Evan ini jam berapa huh! Berani-beraninya kau menekan bel rumahku di jam selarut ini.. "Oceh Adrian saat mendapati Evan yang bertamu di rumahnya.
"Maafkan aku, tapi aku hanya mengantar Elena, dia bilang mau ke sini untuk bertemu dengan Hera"ucap Evan yang kemudian melirik Elena yang berada di samping kirinya.
"Hera dimana?"tanay Elena tiba-tiba, pandangan Adrian beralih pada Elena yang kini sedang berdiri di samping Evan.
"Istriku sudah tidur. Kenapa ke sini di jam selarut ini eoh. Apa tidak bisa besok saja ?"ucap Adrian.
"Adrian. Aku mau bertemu Hera kumohon... Hiks... Hiks...”ucap Elena yang berakhir menangis karena tak sanggup memikirkan masalah Thomas sendirian.
"Eoh... Kenapa kau menangis?"tanya Adrian yang merasa aneh dengan Elena.
"Adrian, aku mau bertemu dengan Hera,.. Minggir"ucap Elena yang ingin menerobos masuk ke dalam. Elena menerobos masuk, bersamaan dengan itu Hera menuruni tangga.
"Elena"
"Hera.... Huaaa..... Hiks.. Hiks... "Elena berhambur memeluk Hera, tangisannya mulai kembali.
"Hei siapa yang membuatnya menangis...? EVAN... "teriak Hera yang di balas gelengan kepala cepat dari pria itu.
"Adrian"ucap Hera seraya menatap Adrian sinis.
"Aish, bukan aku. Dia yang menangis sendiri tersedu-sedu seperti itu. Aku saja bingung melihatnya. Ku pikir Evan yang melakukannya"ucap Adrian yang membuat Evan menatapnya terkejut dan hal itu membuat Hera melototkan matanya pada Evan.
"Evannn"Ucap Hera lagi.
"Bukan aku. Sungguh bukan aku Hera percayalah padaku. Aku ini pria baik"jawab Evan.
Elena melepaskan pelukannya. Kedua tangannya menyeka air matanya. Lalu menatap Hera."Bukan mereka berdua.... Hera aku mau curhat"
"CURHAT. Di jam seperti ini. Hei Elena jangan bercanda, kami mau tidur"protes Adrian. Tentu saja, ini sudah malam. Adrian tentu protes pada Elena yang datang di jam yang tidak tepat hanya untuk meluapkan isi hatinya pada istrinya itu.
"Huaaaaa.... Hiks... Hiks... Tega sekali aku mau curhat tidak boleh"
"Huaaaaaaaaaaa..... Hiks.. Hiks.. Hiks..! "
"Ya ampun. Kau pelit sekali Adrian"ucap Evan seraya menggelengkan kepalanya menatap Adrian dengan kedua mata menyipit.
"Adrian kau keterlaluan"ucap Hera seraya menatap Adrian sinis.
"Apa?! Kenapa aku? Apa salah aku mengatakan hal itu.. Benarkan? Ini jam 11 malam, bukan waktu yang tepat untuk melakukan curhat"
"Aku benar kan Evan?"tanya Adrian seraya melirik pria itu.
Evan hanya bisa mendesah frustasi dan mengendikan bahunya, ia tidak mau ikut terlibat mendukung satu sama lain. Sementara Hera menatapnya sinis. "Elena, duduklah aku akan mendengarkan"ucap Hera, Hera menuntun Elena menuju sofa ruang tamunya.
"Apa? Aishh yang benar saja.. Jam segini, eoh benarkah"decak Adrian tak percaya.