Agusta POV
Aku tersenyum puas saat berhasil menaklukkan kelinci percobaan baruku. Reaksinya sangat lucu. Menolak dengan tegas, tapi pada akhirnya tunduk juga padaku. Bahkan aku sampai kewalahan mengimbanginya.
Perlahan aku turun dari tempat tidur kelinciku, pelan-pelan agar tidak membangunkannya, mengambil handycam-ku. Aku menghela napas pasrah saat melihat dayanya telah mati tanpa sempat menyimpan rekaman terakhir. Sayang sekali ... padahal itu data yang cukup penting.
Aku pun memutuskan untuk segera berpakaian dan membereskan semua peralatanku, sebelum Marry – ibunya Pedro pulang ke rumah dan mengecek anaknya. Bagaimanapun juga, wanita itu tidak perlu tahu kegiatan seksual kami.
Lagi pula, aku hanya menjadikan anaknya sebagai bahan penelitian. Subjek yang cukup menarik untuk diteliti. Itu sebabnya, lebih baik kami tidak membawa perasaan atau menjalin hubungan yang terlalu serius di sini. Aku bukannya kejam, aku hanyalah seorang ilmuan yang tertarik dengan eksperimen manusia, lebih tepatnya emosi manusia yang memiliki sifat yang complex seperti Pedro.
"Hmm ...." Pedro yang tadinya tertidur pulas mulai bersuara, tanda-tanda akan segera bangun.
Dengan sigap, aku segera mempercepat gerakanku yang tengah membereskan peralatanku. Begitu selesai, aku segera meninggalkan kamarnya, lewat jembatan penghubung jendela kamar kami. Meninggalkan si kelinci agar tidak perlu terjebak situasi yang aneh di mana kelinci itu menuntut lebih dari sekadar apa yang bisa aku berikan padanya.
Membawa serta perasaan dalam riset adalah kesalahan terbesar seorang peneliti. Tentu saja aku tidak akan melakukan kesalahan yang sama dua kali. Setelah kejadian Elanor tempo hari, aku tidak akan membawa perasaan lagi dalam risetku.
Begitu sampai di rumah, aku langsung berbersih dan pergi ke ruang kerjaku. Membuat laporan hasil pengamat kelinci di sebelah rumah. Memperhatikan diagram yang turun naik tidak stabil, sama halnya dengan emosi kelinciku. Kemudian dilanjutkan dengan mengerjakan pekerjaanku sebagai penulis, dan membuat janji temu dengan beberapa pasien yang tengah aku tangani. Barulah setelah itu, aku pergi kembali ke rumah kelinci saat matahari sudah mulai terbenam. Sengaja, agar Pedro sadar bahwa apa yang kami lakukan kemarin itu tidak berarti apa-apa buatku.
Aku bahkan tersenyum sendiri membayangkan bagaimana reaksi subjek yang tengah aku teliti itu. Bertanya-tanya apakah dia akan marah, pura-pura tidak terjadi apa pun, atau malah menuntut tanggung jawab? Yang jelas aku harap bukan pilihan yang ketiga. Sebab itu akan merugikanku.
Begitu sampai di kamar kelinci, aku melihat temannya, Josh tengah mengobrol di atas ranjang dengannya. Saat mata kami bertemu,
Josh tersenyum penuh arti. Aku langsung yakin bahwa dia tahu apa yang telah aku lakukan kepada temannya yang tengah terduduk manis di atas tempat tidur tanpa bisa berbuat apa-apa itu.
Oh tidak! Jangan sampai Josh mempersulit ku.
Aku lantas ikut tersenyum usil membalasnya, menyembunyikan niat asliku pada si kelinci yang tengah membuang muka, tidak sudi melihatku itu, tapi wajahnya merah merona.
Menarik!
"Bunny~, kangen padaku, tidak?" Aku mulai menggodanya dengan nada bicara riang centil, seraya memeluknya dari belakang menikmati perubahan raut wajahnya yang lucu. Dari kaget melotot ke tersipu-sipu, lalu terlihat kikuk dengan gerakan tubuh berlebihan, yang berakhir dengan kemarahan untuk menyembunyikan rasa malu.
"TIDAK!! SIAPA YANG KANGEN PADA KAMU! PADAHAL AKU SUDAH SENANG KAMU MENGHILANG! KENAPA DATANG LAGI!?" bentak kelinciku, kasar.
Refleks aku langsung meraih notesku, mencatat reaksinya tadi sebelum terlupakan nanti. Setelah itu barulah aku tersenyum licik. Memeluk kelinci percobaanku dari belakang, mengusap d**a bidangnya pelan.
"Nanti kamu merasa kecewa lho! Kalau aku tidak datang lagi," bisikku, Pedro langsung membalikkan badannya, melempariku sebuah pukulan yang langsung bisa aku hindari.
"SIAPA YANG AKAN KECEWA KALAU PRIA HOMO p*****l SEPERTI KAMU MENGHILANG DARI HIDUPKU!? MALAHAN ITULAH YANG AKU HARAPKAN!" Lagi-lagi kelinciku itu tidak jujur. Baiklah, mari bermain~.
"Kamu tahu, Bunny, aku terluka karena kata-katamu barusan. Baiklah, aku akan pergi dari hidupmu. Semoga kamu bahagia jauh dari ku," ucapku lirih, memasang wajah terluka. Lalu berjalan gontai kembali ke rumahku.
Pedro langsung panik. "Tu-tunggu!" Ia mencoba menghentikanku. Aku langsung tersenyum licik dalam hati. Penasaran, apa umpanku telah dia gigit atau belum?
Aku deg-degan menanti jawaban yang aku dapat dari reaksinya. "Apa?" Bertanya sembari membalikkan badan, memberi tatapan penuh harap.
"A ... jangan kembali lagi!" Pedro mengusirku dengan ketus. Lalu kembali membuang muka.
Oh, reaksi penolakan rupanya! Aku harus ingat mencatatnya nanti, yang penting sekarang berakting dulu.
"Baiklah, aku mengerti ...," balasku. Berusaha terdengar sesedih mungkin. Dan kali ini benar-benar meninggalkannya.
Tidak lama kemudian, Josh menyusulku. Dia menepuk pundakku dengan tatapan bersimpati. "Jangan ambil hati kata-kata Pedro, dia memang selalu menyangkal perasaan dari kecil. Mengertilah dan jangan tinggalkan anak itu, oke?" ucap Josh bijak, bersikap layaknya seorang sahabat yang baik untuk kelinciku, dan tentu saja aku sudah memperhitungkan reaksi ini.
Terlebih aku sudah sangat memahami pola pikir kelinciku. Walaupun belum sepenuhnya. Oh iya! Aku harus ingat untuk memasuk Josh ke dalam grafik perkembangan emosi kelinci percobaanku nanti.
"Terima kasih saranmu Josh, tapi aku ingin sendirian sekarang. Bisakah kamu pergi dan menemani Bunny saja?" ujarku, sengaja menggunakan panggilan 'Bunny' agar Josh berpikir bahwa aku masih mengharapkan Pedro. Dia pun mengerti, tersenyum maklum, lalu pergi meninggalkan rumahku dan kembali ke kamar Pedro.
Aku langsung mengunci jendela penghubung itu, berjalan ke ruang kerjaku, menulis kesimpulan tadi agar tidak lupa. Setelah selesai, aku mulai menghubungi pasienku satu persatu, memulai sesi pertemuan by phone. Menikmati waktu luangku untuk menyelesaikan pekerjaan yang tertunda akibat fokus meneliti dan mengobservasi kelinci tsundere itu.
Aku sengaja membiarkan Pedro berpikir bahwa aku tengah bersedih akibat penolakannya.
Tidak lupa, aku menyalakan komputerku yang lain, membuka aplikasi CCTV, mengawasi Pedro dari jauh. Tentu saja semua kamera pengintai yang aku pasang, tidak disadari oleh kelinci itu. Kamera khusus super kecil, teknologi yang dikembangkan oleh keluarga Angelo. Karena tidak diperjualbelikan, aku sampai harus mengancam kelinci lamaku, Marvis, untuk mendapatkannya cuma-cuma, lengkap dengan software-nya.
***
Malam harinya, aku masih menatap layar monitorku, memperhatikan kelinciku yang tengah gundah memikirkan keputusannya mengusirku dari hidupnya. Ditemani secangkir kopi dan sebuah notes yang terus bertambah kata demi kata. Mencatat tiap kalimat bernada penyesalan yang keluar dari mulut kelinciku. Tersenyum licik saat makian dan kata cintanya meluncur menjadi satu kalimat.
Pedro memang kelinci yang manis! Memainkan hati dan emosinya ternyata begitu menyenangkan. Terbukti sudah, teoriku yang menyatakan kalau dia mempunyai hati untukku. Memang tidak ada hal yang lebih menarik daripada menikmati pemandangan manusia yang kacau karena memikirkan orang yang dia cintai.
Inilah alasan kenapa aku meneliti emosi dan kepribadian manusia secara khusus. Sebab, selalu ada hal menarik yang bisa aku temukan! Sungguh hiburan yang amat menyenangkan.
Aku jadi tidak sabar menunggunya tergila-gila padaku, bertekuk lutut dan menyatakan cintanya. Saat itulah, akan aku tolak dan tinggalkan. Lalu menelitinya dari jauh seperti ini. Mencari tahu, apakah rasa cinta itu akan berubah menjadi rasa benci, atau malah sebaliknya. Menghancurkannya!?