Pedro POV
"Aku tidak mau ke sekolah!" protesku. Sementara ibu berkacak pinggang di hadapan aku, menghela napas kesal.
"Apa alasannya? Ujian akhir sisa dua bulan lagi, Pedro. Kamu mau nilai kamu jatuh?" Ibu mendengus, mengomeli aku tanpa tahu apa pun yang terjadi.
Aku tidak mau kalah. "Si setan! Aku malu, Mama. dia mempermalukan ku di sekolah!" Menjawab dengan tegas dan keras. Tiba-tiba saja ingatan akan ciuman di halaman sekolah kemarin kembali menyusup ke dalam pikiranku, membuat mukaku memerah memuakkan.
AKU MANA PUNYA MUKA MENGHADAPI TEMAN-TEMANKU LAGI!
Saat aku melamun, ibu kembali bersuara, membalas kata-kata aku tadi. "Jangan konyol! Kamu itu anak laki-laki, Pedro! Sejak kapan perilaku kamu seperti anak perawan begitu!?" Sergah ibu seenaknya.
"Nah dia itu, Mama! Aku ini laki-laki, tapi selalu saja di serang oleh Agusta yang laki-laki juga. Bukannya tidak masuk akal? Mama lakukan sesuatu dong!" Aku kembali membalas, mencoba meluruskan otak ibu yang agak belok karena si setan.
Ibu memutar mata tiga kali, lalu menyerap kopinya santai. "Kamu, kan gay, ya mainnya sesama laki-laki dong. Wajar kok, tapi bukan berarti sifat dan perilaku kamu yang tegas dan kuat harus dihilangkan. Mama lebih suka melihat pasangan homo yang sama-sama macho daripada yang lemah lembut sok manis!" Aku tertegun ... ternyata otak ibu sudah tidak bisa diluruskan lagi.
"AKU BUKAN HOMO, MAMA!! MEMANGNYA KAPAN MAMA PERNAH MELIHAT AKU MENYUKAI LAKI-LAKI SEBELUMNYA!?" Aku mulai frustrasi menghadapi Mama yang santainya luar biasa. Akibat dicuci otak oleh Agusta.
"Tidak sih, tapi kamu juga tidak pernah menyukai perempuan sebelumnya, kan? Lagi pula bukannya sejak Agusta pindah ke samping rumah, kamu selalu diam-diam mengintipnya?" Tahu dari mana ibuku? Kenapa ibu yang selalu sibuk bekerja itu, bisa menyadari kebiasaanku beberapa tahun ini?
Sial! Aku langsung membela diri. Jangan sampai dituduh naksir Agusta cuma karena hal itu. "Aku hanya merasa dia aneh saja, Ma. Cuma mengintip karena rasa penasaran, bukan tertarik!" Jelas aku, sedikit mengotot. Aku tidak suka sama si setan tahu! Aku masih normal!
"Jangan ngeles deh! Sudah, mama mau pergi kerja dulu," balas ibu tidak percaya. Beliau mendengus, lalu berlalu begitu saja melewati aku. Tidak lupa berpesan, "Tolong urus Pedro ya nak." Ke ... EH!? IBU BERPESAN KE SIAPA!?
Aku langsung memutar kepalaku, menatap terkejut ke arah Agusta yang tengah memegang sebuah handycam dan bersandar sok kegantengan di dinding dapur. Menatap aku dengan pandangan usilnya.
"Jadi Bunny sudah memperhatikan aku selama bertahun-tahun? Aku tersentuh. Sini! Sini!! Biar kupeluk~." Si setan tampak begitu riang, sementara wajahku memucat, menatapnya horor.
"TIDAKKK!!" Aku menjerit, lalu melarikan diri ke kamar, menguncinya rapat-rapat. Bersandar pada pintu seraya menetralkan detak jantungku.
"Dasar setan! Suka sekali muncul tiba-tiba!" umpatku kasar, berjalan ke arah tempat tidur. Berniat bermalas-malasan seharian, tapi baru saja setengah jalan ... tahu-tahu Agusta sudah memelukku dari belakang.
"Ba-bagaimana caranya kamu masuk?" tanyaku, menahan geli saat si setan dengan sialnya menjilati leherku.
"Lewat jembatan cinta kita, Bunny~." Jembatan?
"ARRRGH!! AKU LUPA ADA BENDA LAKNAT ITU!!!" Aku mengacak-acak rambut frustrasi. Merasa akan gila, jika lama-lama berurusan dengannya.
DUK! EH?
Mendadak Agusta sudah mendorongku hingga terlentang di atas tempat tidurku, menindih aku dengan tubuh kekarnya. Ia menyeringai m***m sambil mencoba melepas kaus yang aku pakai. Refleks aku mencoba menahannya, tapi semua usahaku gagal karena perbedaan kekuatan kami.
"Kalau tidak mau ke sekolah, kita belajar di rumah saja, Bunny. Belajar reproduksi~." Agusta cengar-cengir, mengucapkan kalimat mengerikan itu dengan santainya.
"TIDAK!! KAMU GILA YA? MANA ADA BELAJAR REPRODUKSI PAKAI PRAKTEK!? SESAMA PRIA PULA!!" Mata aku melotot takut, meronta sejadi-jadinya. Sebenarnya aku tahu, kalau orang sesinting Agusta, mungkin saja bakal melakukan praktek tak bermoral itu tanpa keraguan sedikit pun.
"Aku tidak bilang praktek lho ya, Bunny yang bilang. Apa boleh buat, akan aku kabulkan~," balasnya seraya menahan kedua tangan aku di kepala, mengikatnya sedemikian rupa sampai-sampai aku sama sekali tidak bisa menggerakkan tanganku lagi. Mampus! Jangan bilang ini benaran!?
Aku mulai berkeringat dingin. Rasa gugup menghinggapi isi pikiran aku. Sementara Agusta dengan riangnya, melepaskan semua pakaian aku, meletakkan handycam-nya di atas meja untuk merekam kegiatan pelecehannya.
TUNGGU DULU!? MEREKAM!?
"Matikan handycam itu, Agusta!" perintahku. Ternyata aku masih bisa mempertahankan kesadaranku. Ingat untuk tidak membiarkannya, merusak hidupku lebih parah lagi.
"Tidak mau. Itu hanya buat riset reaksimu, Bunny~. Santai saja, tak akan kugunakan untuk yang aneh-aneh." Santai kepalamu! Siapa pun bakal lebih curiga kalau mendengar kata-kata seperti itu.
"AKU AKAN MENUNTUTMU, AGUSTA!!" Aku serius! Kalau dia sampai melecehkanku, aku akan menuntutnya nanti.
"Hm ... lihat saja nanti. Kamu yang akan memohon untuk aku sentuh, Bunny, jadi kita melakukannya suka sama suka~."
"Apa maksud kamu?" Agusta tidak menjawab, dia tersenyum licik. Lalu pergi ke kamarnya lewat jembatan laknat itu. Meninggalkan aku dalam keadaan terikat dan bugil. Handycam itu juga terus merekam.
Apa yang bisa lebih buruk dari ini!?
Tidak lama kemudian, Agusta kembali. Ia membawa sebuah kotak berwarna hitam bertuliskan 'favorite toys'. Kotak yang membuat aku malah merinding saat menatap benda seukuran 1 × 1 meter yang tertutup rapat itu.
Kemudian aku meneguk ludah gugup, saat bertemu muka dengan Agusta yang menyeringai sambil meletakkan kotak itu di samping tempat tidur aku.
"I-itu apa?" tanyaku, sedikit gemetaran. Agaknya bisa menebak isi benda mencurigakan itu.
"Mainan, Bunny. Kamu pasti suka! Rasa enak lho~." Kata-kata ambigu apa itu? Mana ada mainan yang enak?!
"Ti-tidak ... aku mohon, jangan gunakan benda-benda itu." Lihat? Bahkan suara aku sudah bergetar, saking merasakan niat jahat si setan yang terpancar jelas dari wajah m***m itu.
"Khehe ... mohon agar segera dimulai? Oke! Aku kabulkan!" Seruan riang Agusta terdengar makin mengancam. Apalagi saat ia mengeluarkan benda aneh berbentuk kapsul kecil yang bergetar-getar. Seringai jahat itu kini sudah muncul, begitu mengintimidasi.
"Gyaaa!" Aku menjerit terkejut saat benda aneh itu, dipasangkan ke putingku. Sensasi bergetar-getar aneh itu, membuat tubuhku merasakan sesuatu yang asing.
"Suka? Ada yang lain lho!" Aku menggelengkan kepala aku frustrasi, bermaksud berkata tidak, tapi si setan mengabaikanku. Dia malah mengeluarkan sebuah benda berbentuk bola yang tersambung-sambung dari ukuran kecil sampai ke besar. Lalu benda aneh lain yang berbentuk seperti jelly dan sebotol gel yang mencurigakan.
Bola-bola itu dilumurinya dengan gel, kemudian ditusukkan ke ... AGRHH!! AKU TIDAK SANGGUP MELANJUTKANNYA!
Aku menutup mata, berusaha melarikan diri dari kenyataan tengah dilecehkan oleh om-om m***m p*****l. Tahu-tahu saja, bagian bawah tubuhku menegang. Aku bisa merasakan benda seperti jelly tadi, tengah bergerak membungkus milikku, bergerak turun naik dengan sensasi dingin dari gel itu. Detik berikutnya, pikiran aku lenyap. Suara-suara menjijikkan mulai keluar dari mulutku, seperti bukan diriku sendiri. bahkan aku begitu menyukai sensasi basah yang menyapu perutku saat ini.
Perlahan-lahan aku membuka mata, melihat bagaimana Agusta menjilati otot-otot perutku. Sementara kedua tangannya sibuk dengan tongkat bola-bola itu dan benda berbentuk jelly yang membungkus milikku sedari tadi. Ia menggerakkannya bersamaan, ditambah dengan sensasi getaran di putingku. Rasanya semua ini membuat pikiranku tercerai berai.
Shit! Aku bukan gay! Tapi kenapa ini terasa nikmat? Aku tidak mau dilecehkan olehnya, tapi di sisi lain ... semua rangsangan ini terlalu sulit untuk ditolak.
"Aahhh!" Tanpa sadar, aku menjerit. mengerjapkan mataku, merasakan betapa sentuhannya itu, mempengaruhi aku.
Tatapan mata Agusta yang seperti sedang menggoda itu, membakar libidoku. Dengan frustrasi, aku menggigit bibirku sendiri, mulai merasa gila karena tidak bisa menyentuhnya.
Ya ... aku bahkan mulai berpikir untuk menyentuh si setan. Aku ingin melumat bibirnya seksi itu. Ingin memeluk bahunya yang lebar.
"Eng ... aaah!" Damn! Bisakah mulutku disumpal saja? Terkutuklah tubuhku yang mulai h***y berat! Merasa menginginkan lanjutan dari permainan gila ini.
"Se – "
"Ya? Apa, Bunny?" tanya si setan dengan suara serak menahan hasratnya.
"SETAN b*****t! LEPASKAN IKATAN DAN MAINANMU SIALAN!! CEPAT GAGAHI AKU! ITU TUJUAN AWAL KAMU, BUKAN!!? AAAHHH! s**t! HENTIKAN TANGANMU, BODOH!"
Sekali lagi aku menjerit frustrasi. Mulai menggila karena efek mainan anehnya. Aku bahkan tidak ingat apa yang aku teriakan. Yang aku tahu, si setan tersenyum lebar saat melepaskan semua ikatan dan mainannya.
Selanjutnya, tubuhku bergerak sendiri menyerangnya. Menindih tubuhnya, melepaskan semua pakaian yang dia kenakan dengan terburu-buru.
"Pelan-pelan, Bunny. Kamu bisa merusak bajuku!" Protes dari si setan, aku abaikan. Langsung melumat bibir tipis itu, menggigit dan mengisapnya penuh nafsu. Aku bahkan menggerakkan pantatku, menggesek miliknya yang berdiri tegak padaku.
"Sialan! Aku ingin kamu memasuki aku sekarang!" Apakah itu suaraku? Kurasa bukan ... karena aku bukan gay! Aku tidak menginginkannya.
"Sudah aku bilang, kan? Kamu yang akan memintanya, Bunny~." Bersamaan dengan pernyataan genit itu, tubuhku dibalik, mengubah posisi kami dengan cepat. Si setan meremas bongkahan pantatku keras. Entah mengapa, terasa makin memancing aku.
"Hmm." Aku mengerang, merasa nikmat. Detik berikutnya, aku merasa sangat penuh di bagian bawah. Sesak, tapi membakar dan nikmat.
Tanpa sadar aku menjerit dan merengkuh berkali-kali, kala hentakan demi hentakan menghantam satu titik yang membuat kepala aku kosong. Aku tidak tahu lagi apa yang terjadi setelah ini. Persetan dengan semua itu! Aku hanya ingin menikmati apa yang sedang setan ini lakukan.