Airi menatap pemuda yang sedang bersender itu kesal. Tawa sudah berhenti keluar dari mulut pemuda itu sejak beberapa menit yang lalu. Tapi Airi tetap saja kesal. Aiden telah menertawakannya. Yeah meskipun Aiden terlihat semakin tampan saat tertawa tetap saja Airi tidak terima. Aiden menertawakan kebodohan dan ketakutannya. Airi cemberut dengan bibir mungilnya yang mengerucut.
Aiden berdecak melihatnya. Mengapa Airi harus seperti itu? Gadis itu terlihat makin menggemaskan saja. Tak tahukah Airi kalau dia sudah mati-matian menahan diri agar tidak mencubit bibir mungil itu? Aiden menggeleng pelan. Pemuda tampan itu membuang muka. Entah kenapa, setiap bersama Airi, perasaan-perasaan aneh yang pertama kali dirasakannya selalu muncul. Dan Aiden tidak terlalu suka itu. Sepertinya dia harus menjauhi Airi. Tapi, apakah dia bisa? Aiden menghembuskan napas kasar. Kembali menatap Airi yang masih saja cemberut.
"Sorry, Ai."
"Maaf nggak diterima!" Airi memalingkan muka angkuh.
Aiden menatap Airi bingung dengan sebelah alis terangkat.
"Ya udah, nggak pa-pa." Aiden mengangkat bahu cuek. Setelahnya pemuda itu berdiri, menepuk-nepuk celana bagian belakangnya kemudian berbalik dan melangkah.
Airi yang melihatnya menggigit bibir. Ada sesak yang menghinggapi dadanya. Ternyata dia salah, dia tidak berarti apa-apa bagi Aiden. Ternyata bagi pemuda itu, dia sama saja dengan gadis-gadis lain yang mengejarnya. Hanya dia saja yang menganggap dirinya istimewa di mata pemuda itu.
Airi tertunduk perlahan saat Aiden sudah tak lagi terlihat. Gadis itu menyeka sudut matanya yang basah. Tersenyum miris pada dirinya sendiri.
Sadar diri dong, Ai. Jangan terlalu tinggi menilai diri kamu, kamu nggak sepadan sama Aiden. Dia pangeran sekolah sementara kamu cuma butiran debu yang suka membuat ribut di kelas.
Airi kembali menggigit bibir menahan isak yang akan keluar. Air matanya membanjir tanpa dia sadari. Seharusnya dia tetap seperti biasa saja. Tanpa menganggap lebih perhatian Aiden padanya.
Airi melangkah gontai meninggalkan taman. Dia harus segera ke toilet untuk merapikan diri sebelum bel tanda masuk kelas berbunyi.
***
Bukan Aiden tak menyadari perubahan gadis itu. Airi tampak lebih pendiam beberapa hari ini. Tak ada lagi jeritan dan tawa super keras yang akan mengagetkan seluruh penghuni kelas. Airi terlihat lebih sering melamun daripada mengusili teman-teman yang duduk di sekitaran tempat duduknya.
Tentu saja sikap Airi yang berubah hampir seratus delapan puluh derajat itu menjadi pro dan kontra di kelas mereka. Sebagian siswa menyayangkan karena kelas mereka mendadak sepi. Sebagian lagi bersyukur, dan ini adalah kelompok siswa-siswi yang sangat mendambakan kedamaian di kelas, juga haters Airi termasuk Bella.
"Senangnya kelas kita damai tanpa perusuh!"
Seruan keras Bella jelas-jelas menyindir Airi. Apalagi saat mengucapkan kata-kata itu tatapan Bella terarah pada gadis musim semi itu.
"Ya Airi diem lu yang sekarang koar-koar, Bel. Sama juga rusuh kali."
Bella mendelik tak suka. Perkataan Bima barusan sama saja dengan menganggap dia juga tukang rusuh. Dan Bella tak terima dengan itu.
"Heh gue beda ya!" Bella bertolak pinggang. "Gue lebih elit kemana-mana. Secara kan gue queennya sekolah. Ya kan?"
Bella menoleh pada geng-nya yang terdiri dari beberapa gadis yang sifatnya sebelas dua belas dengannya. Gadis cantik itu meminta dukungan.
"Iya dong." Vika menyahut. Vika adalah gadis yang paling dekat dengan Bella. "Kalian kenapa sih? Bisa nggak kalian nggak samain queen kita sama si tukang onar?" Vika melirik Airi dengan ekor matanya. "Mereka beda level!"
"Jelas beda level lah! Kan Airi meskipun suka ribut tapi kan lebih pintar dari junjungan lo. Lagian Airi lebih banyak fans dari yang kata lo ratu itu!" Balas Siska. Gadis itu tak terima sahabatnya direndahkan.
Sementara Airi tetap diam. Dia tak berminat pada perdebatan teman-temannya yang menurutnya unfaedah itu. Airi lebih tertarik pada suara ketukan heels yang semakin dekat dengan kelas mereka. Dan gadis itu menarik duduk sahabatnya tepat waktu. Sedetik sebelum Bu Atika memasuki kelas mereka.
***
Airi dan Siska terkikik melihat Bella dan geng-nya berjemur di bawah terik matahari. Bukan berjemur biasa, juga bukan berjemur karena keinginan mereka. Bella dan teman-temannya di jemur oleh Bu Atika. Lebih tepatnya, Bella dan teman-teman se-geng-nya dihukum Bu Atika untuk berdiri di bawah tiang bendera dengan tangan kanan menghormat pada bendera. Alasannya sudah pasti, Bella ribut saat Bu Atika memasuki kelas.
"Rasain!" Siska tertawa. "Siapa suruh ribut."
"Nggak boleh ngetawain teman sendiri." Tegur Airi sok diplomatis. Padahal dia sendiri juga tertawa.
"Dihhh apaan sih lo!" Siska membelalak tak terima. "Sendirinya juga ngakak."
"Ngakak terhormat, Sis." Dan Airi kembali tertawa setelah mengucapkan kata-kata itu.
Siska tersenyum melihatnya. Gadis itu menarik Airi ke kantin. Setelah memesan dan duduk, Siska mulai bertanya. Dia sangat penasaran dengan sahabatnya yang tiba-tiba menjadi pendiam.
"Kamu ada masalah ya, Ai?" Tanya Siska hati-hati.
"Hm?" Airi menatap Siska kemudian menggeleng. "Nggak ada tuh."
"Masa sih?"
Kepala cantik Airi mengangguk. Gadis itu juga tersenyum meyakinkan sahabatnya.
Siska urung bertanya lagi. Bu Imas datang membawakan pesanan mereka.
"Aku baik-baik aja tuh." Airi menjawab setelah menelan satu sendok bakso yang tadi disuapnya. "Nggak ada masalah apa-apa. Di rumah juga nggak ada apa-apa."
Alis Siska mengerut. Airi sudah menjawab pertanyaan yang belum ditanyakannya. Gadis itu menghela napas. Menyuap hidangan yang sama dengan milik Airi, menyeruput es teh-nya beberapa kali setelah menelan makanan. Kemudian kembali bersuara.
"Tapi kok lo jadi pendiam ya, Ai? Heran gue."
"Emang kalo aku diam pasti ada masalah, gitu?" Airi balik bertanya. Mangkuk baksonya telah kosong.
Siska mengangkat bahu. Gadis itu lebih memilih menghabiskan bakso di hadapannya ketimbang bertanya lagi. Toh sepertinya Airi sedang tak ingin berbagi.
Airi menghembuskan napas lega. Sangat pelan agar Siska tak curiga. Gadis itu menghabiskan minumannya dalam sekali hisapan. Dia harus terlihat biasa-biasa saja setelah ini. Dia tak ingin teman-temannya terutama Siska, tahu kalau dia sedang berusaha melupakan bayangan pangeran sekolah mereka. Melupakan kejadian-kejadian beberapa hari yang lalu. Saat Aiden bersikap manis dan perhatian padanya. Toh pemuda itu tak menganggap perhatiannya apa-apa.
"Udah belum, Sis?" Airi kembali menatap Siska. Sahabatnya itu menyeka keringat di pelipisnya. Pasti Siska kepedasan. Siska meminta Bu Imas untuk memberikan sambal yang banyak tadi dipesanannya.
"Bentar lagi." Siska mengipas-ngipas wajah dan lehernya menggunakan tangan kiri. Tangan kanan memegang gelas minumannya.
"Lama aku tinggal nih!" Ancam Airi.
Bergegas Siska menghabiskan minumannya. Dia tak ingin kejadian beberapa hari yang lalu terulang. Saat Airi meninggalkannya di kantin dan membuatnya kelimpungan mencari sahabatnya itu.
Airi terkekeh melihat Siska yang minum dengan cepat. Gadis itu berdiri setelah Siska meletakkan gelas teh es yang sudah kosong ke meja.
***
Aiden merasakannya! Bukan hanya dia yang menghindar, tetapi juga Airi. Gadis itu tak pernah lagi sendirian. Airi selalu terlihat berdua dengan sahabatnya. Dan jujur saja, itu sangat mengganggu Aiden. Dia memang ingin menjauhi Airi, tapi tidak langsung menjauh seperti sekarang. Airi seolah menutup celah untuknya. Dan Aiden tidak suka itu. Dia sudah terbiasa dengan Airi yang perlahan memasuki kehidupannya. Mungkin bukan Airi yang merangsek masuk, tapi dia yang mencoba memasukkan gadis itu dalam kehidupannya. Agar hidupnya lebih berwarna.
Aiden mengusap wajah frustasi. Sudah hampir dua minggu ini dia tak lagi berbicara dengan Airi. Gadis itu bersikap seolah dia tak ada. Setiap kali Aiden menatapnya, Airi selalu membuang muka. Sikap Airi juga sudah kembali seperti dulu. Suka membuat ribut saat kelas mereka sepi. Untuk yang satu itu Aiden bersyukur, setidaknya Airi masih mau menunjukkan diri padanya. Meskipun gadis itu kembali bersikap seperti mereka baru memasuki sekolah ini dulu.
Aiden dan Airi memang selalu satu kelas dalam hampir dua tahun mereka sekolah di sini. Itu yang membuat Aiden mengenal dan terbiasa dengan Airi. Lagipula hanya Airi yang terlihat. Gadis itu tidak mengelu-elukannya seperti gadis-gadis lain. Airi terlihat cuek dan biasa-biasa saja padanya. Makanya Aiden tertarik untuk mendekati. Dan itu baru berani dilakukannya beberapa minggu yang lalu. Itu pun karena Airi yang memulai. Dan kemudian Aiden menjauh setelah mereka mulai dekat. Sikap biasa-biasa saja Airi yang membuatnya mengambil keputusan itu. Airi hanya menganggapnya teman tak lebih. Dari mana Aiden tahu? Dari gerak-gerik Airi tentu saja. Sikap Airi padanya sama saja dengan sikap gadis itu pada teman-temannya yang lain.
Aiden sadar dia egois dengan menginginkan Airi bersikap lebih padanya. Maka dari itu Aiden memutuskan untuk tak lagi mendekati Airi. Selain karena dia tak ingin ada perasaan yang baru dikenalnya, tentu saja.
Aiden mendesah. Entah kenapa dia merasa sangat merindukan Airi sekarang.