Gadis musim semi bertubuh dan berwajah imut itu menguap sekali lagi. Pelajaran geografi termasuk pelajaran yang tidak disukai Airi. Sangat membosankan. Apalagi kalau sudah mengenai garis lintang dan garis bujur, Airi akan angkat tangan. Ditambah lagi peta buta. Gadis itu lebih memilih makan sayur, yang merupakan makanan yang paling tidak disukainya, daripada harus mengerjakan peta buta.
Kapan selesainya nih peta? Airi menguap untuk kesekian kali. Gadis itu menidurkan kepala di atas tangannya yang terlipat di atas meja. Sungguh, dia sangat bosan. Pelajaran yang diterangkan oleh Bu Atika tak ada satu pun yang dapat ditangkap otaknya. Dia terlalu payah pada pelajaran geografi.
Ekspresi Airi dari awal gadis itu memasuki kelas sampai pada jam pelajaran ketiga seperti sekarang tak luput dari pengawasan Aiden. Pemuda tampan itu sering terlihat mencuri pandang ataupun melirik ke arah tempat duduk Airi. Hanya sekilas, sehingga tak ada yang menyadari kelakuan Aiden. Lagipula, semua murid terlalu fokus pada materi yang diterangkan Bu Atika yang terkenal galak. Tidak ada seorang pun yang berani bersuara kalau Bu Atika sudah berada di depan kelas. Kegalakan Bu Atika sudah terkenal di kalangan semua siswa. Bahkan guru cantik itu sering disamakan dengan Pak Rustam, guru matematika mereka. Kedua guru itu sama-sama berjuluk guru killer dan sama-sama ditakuti oleh sebagian banyak siswa.
Tapi tidak dengan Airi. Gadis itu terlihat tenang. Napasnya juga tampak teratur. Apa Airi tertidur di kelas lagi? Aiden berdecak kesal, menyesali kecerobohan Airi.
Bel tanda istirahat pertama meraung keras. Seluruh siswa di kelas Aiden mengembuskan napas lega. Mereka terbebas dari salah satu guru killer di sekolah mereka. Bergegas para siswa merapikan barang-barang mereka. Setelahnya berhamburan keluar kelas. Kecuali Airi.
Airi masih tetap di posisinya semula, kepala tersimpan di meja. Untung saja tadi Bu Atika tidak melihatnya, kalau tidak pastilah Airi mendapatkan hukuman berjemur di tiang bendera sambil menghormat.
"Ai..."
Siska mengguncang bahu Airi. Cukup kuat untuk ukuran membangunkan teman tidur. Membuat tubuh Airi hampir terguling ke bawah. Siska memekik keras. Saat itulah Airi terbangun. Gadis itu berdiri cepat sambil mengucek mata.
"Bu Atika udah cabut?" tanya Airi dengan suara serak khas bangun tidur.
Siska berdecak. Apalagi dilihatnya Airi kembali menguap. Airi bahkan kembali duduk. Kepala cantik itu nyaris saja menyentuh meja lagi kalau tidak ditahan oleh Siska.
"Bangun, Ai." Siska menarik Airi berdiri. "Ngapain sih lo tidur mulu?" sungutnya kesal. "Gue laporin nyokap lo, mampus!"
"Eits, jangan dong." Airi berdiri tegak. "Liat nih, gue udah bangun "
"Denger kata Mama lo aja lo takut, Ai." Siska menggeleng pelan. "Sama guru killer nggak ada takut-takutnya masa?"
Airi hanya mengangkat bahu cuek. Setelahnya melangkah keluar kelas tanpa sadar sepasang mata terus mengawasi gerak-geriknya sejak tadi.
***
Aiden mengacak rambut hitamnya frustasi. Tak percaya dengan apa yang baru saja dilakukannya. Untuk apa dia mengawasi Airi? Seperti orang yang tidak punya pekerjaan saja. Walau nyatanya Aiden memang tidak punya pekerjaan. Belum bekerja tepatnya. Dia masih berstatus sebagai pelajar kelas sebelas IPA 1 SMU Rajawali.
Aiden berdecak. Pemuda itu melangkah menuju taman samping sekolah yang jarang di jamah oleh siswa-siswi di sekolah ini. Hutannya yang terlalu rimbun membuat para siswa sedikit takut untuk bersantai di tempat itu. Padahal tempatnya sangat indah, masih asri dengan pepohonan hijau yang menaungi. Aiden sangat menyukai tempat itu, karena di situ, dia dapat 'menyembunyikan' diri dari kejaran gadis-gadis 'gila' itu.
Langkah kaki Aiden terhenti begitu memasuki gerbang taman. Seorang gadis yang sudah tidak asing lagi terlihat duduk santai di bawah salah satu pohon. Sejenak Aiden ragu untuk melanjutkan langkah. Tapi rasa penasaran mengapa dan bagaimana Airi ada di sini membuatnya menarik kaki untuk berjalan mendekati gadis yang tampak sedang menikmati cemilannya.
Aiden berjengit mendapati Airi hanya sendirian. Bukankah Airi tadi bersama sahabatnya yang Aiden tidak tahu namanya? Lalu ke mana sahabat gadis ini tadi?
Aiden memang tidak tahu nama dari gadis-gadis lain teman sekolahnya kecuali Airi. Hanya nama dan wajah imut Airi yang diingatnya. Kenapa yang lain tidak? Karena baginya tidak penting mengingat apalagi mengenali gadis-gadis yang sungguh, sangat tidak enak dilihat. Lalu apakah Airi penting sehingga Aiden mengingatnya? Entahlah. Yang pasti Airi sudah memberi warna pada hidupnya.
Pelan dan hati-hati Aiden duduk di sebelah Airi. Dia tak ingin mengagetkan gadis ini dengan duduk semaunya.
"Ngapain kamu di sini?"
Pertanyaan itu membuat Airi menoleh cepat. Wajahnya memerah begitu tahu siapa yang duduk di belakangnya. Cepat Airi membalik tubuh, saking cepatnya dia hampir terguling kalau saja Aiden tidak menangkap pinggangnya. Duduk di akar pohon yang menyembul di tanah sangat beresiko ternyata.
Mata bulat Airi mengerjap. Wajah mereka terlalu dekat, sampai-sampai dia dapat merasakan embusan napas hangat Aiden menerpa wajahnya. Juga dia dapat melihat dirinya di mata cokelat pemuda itu.
Eh? Apa? Aiden? Napas? Mata?
Seketika Airi tersadar. Mata bulatnya membelalak. Refleks didorongnya Aiden sekuat tenaga. Tapi bukan Aiden yang menjauh, justru dia yang terjungkal. Airi meringis, mengusap bokongnya yang baru saja berciuman dengan tanah. Untung saja tanah di sini ditumbuhi rumput tebal, sehingga bokongnya tidak terlalu sakit.
"Aiden, apaan sih? Sakit tau!" sungut Airi seraya berdiri. Gadis itu menepuk-nepuk pelan rok sekolahnya di bagian belakang, khawatir kalau ada kotoran yang menempel.
"Bukannya kamu yang dorong aku ya?" balas Aiden cuek. Pemuda itu menyandarkan punggung pada batang pohon yang didudukinya.
Airi cemberut, bibir mungilnya mengerucut lucu. Membuat siapa pun yang melihatnya gemas untuk mencubit atau mencuri sebuah ciuman di bibir pink itu. Tak terkecuali Aiden. Pemuda itu menatap lekat bibir Airi. Membayangkan bagaimana kalau bibir mungil itu bertemu dengan bibirnya.
Stop, Ai!
Bersamaan dengan kata-kata yang terlontar hanya di dalam kepalanya itu, Aiden menggeleng. Mengusir pikiran-pikiran yang baru pertama kali memasuki otaknya.
"Iya sih." Terdengar suara lirih Airi. Gadis itu kini duduk bersimpuh di depan Aiden. "Tapi kan harusnya kamu yang jatuh bukan aku."
Airi kembali cemberut. Pipinya kembali menggembung. Dan itu membuat Aiden tidak tahan untuk tidak mencubit pipi gembil itu.
Airi membola. Tak menyangka pangeran sekolah yang sangat dingin mencubit pipinya. Airi makin cemberut, matanya melotot menatap Aiden.
"Sakit!" bentak Airi sambil mengusap pipinya yang memerah. Entah karena malu atau memang karena benar-benar sakit, Airi tak tahu. Yang pasti sekarang pipinya terasa panas.
Aiden hanya mengangkat bahu cuek. Pemuda itu kembali menyenderkan punggung ke batang pohon. Raut wajahnya tetap datar seperti biasa, meski sebenarnya Aiden mati-matian menahan tawa. Airi yang cemberut dengan mata melotot terlihat sangat lucu.
"Kamu ngapain di sini?" Aiden mengulang pertanyaannya setelah diam beberapa saat. "Terus kok sendiri, bukannya tadi kamu sama..." Alis Aiden terangkat sebelah. Pemuda itu berusaha mengingat nama sahabat Airi. Mungkin saja kan dia pernah mendengar Airi atau siapa pun menyebut nama gadis itu.
"Siska?"
Aiden mengangguk. "Hn."
Airi memonyongkan bibir ke kanan. Matanya menatap Aiden lekat. Sebenarnya dia juga bingung dan ingin menanyakan pertanyaan yang sama pada pemuda di depannya. Aiden itu seperti hantu, selalu ada di mana pun dia berada. Aiden juga terlalu banyak bertanya hari ini. Bukankah biasanya pemuda itu tak bersuara walaupun ditanya?
Eh?
"Kamu juga ngapain di sini?"
Aiden mengembuskan napas. Pemuda itu bersedekap. Menatap Airi dengan sebelah alis yang tetap terangkat.
"Tempat favorit di sekolah setelah perpus."
Jawaban Aiden membuat Airi melongo. Dia kurang paham dengan jawaban itu. Apakah maksudnya Aiden menyukai tempat ini seperti dirinya?
"Kalo kamu?"
"I-itu..." Airi tergagap. Mata tajam Aiden yang selalu menatap wajahnya membuatnya gugup. Gadis itu tak bisa lagi menyembunyikan rona merah di pipinya.
"Kamu ngikutin aku ya?" tuduh Aiden asal.
Lagi, Airi cemberut. Tak terima dengan tuduhan Aiden. Untuk apa dia membuntuti Aiden? Dia memang menyukai Aiden, tapi tak akan bersikap seperti gadis-gadis cabe yang selama ini mengidolakan Aiden. Membuang waktu baginya. Toh Aiden juga tak pernah menanggapi. Lagipula, bukankah tadi dia yang lebih dulu berada di sini? Aiden datang belakangan. Jadi, sekarang siapa yang mengikuti?
"Kenapa nggak nanya itu ke diri kamu sendiri?" tanya Airi kesal. Wajah cantiknya menekuk.
Aiden menarik napas. Pemuda itu menyugar rambutnya. "Kan aku udah jawab. Kamu yang belum." Mata Aiden tak lepas dari wajah imut gadis di depannya.
"Aku juga udah jawab."
Aiden menggeleng. Kembali menyugar rambut yang membuat Airi menahan napas. Sumpah demi Siska yang tergila-gila pada Aiden, pemuda itu tampak berkali-kali lipat lebih tampan kalau sedang begitu. Airi menatap Aiden tak berkedip.
"Kamu belum jawab, Ai." Sebelah sudut bibir Aiden terangkat membentuk seringai. Airi yang tak berkedip terlihat lucu. Apalagi mata cokelat itu tampak berkilat. Sungguh, Aiden sangat gemas dibuatnya. "Ai?"
Airi tak menyahut. Matanya tetap fokus pada wajah tampan pemuda di depannya. Alis tebal, hidung mancung, bibir sexy, rahang tegas. Fix, Aiden memang perwujudan dewa-dewa Yunani.
"Airi?"
Airi masih diam. Aiden mengerutkan kening. Apa yang sebenarnya sedang dipikirkan gadis itu sehingga tak menanggapi panggilannya? Kesal, Aiden melempar botol air mineral miliknya yang sudah kosong ke pangkuan Airi.
"Huwaaaa!" Airi berteriak kencang. Serta-merta gadis itu berdiri. Menatap takut pada botol yang tergeletak tragis di tanah, dan melongo saat mendengar suara tawa dari pemuda yang duduk di bawah pohon sana.
Airi termangu. Tak menyangka akan mendapatkan jackpot hari ini. Aiden yang tertawa adalah sebuah pemandangan yang sangat langka. Karena selama dia bersekolah di sekolah ini, tak pernah sekali pun dia melihat Aiden tertawa. Baru kali ini, dan salahkah dia kalau menganggap dirinya spesial di mata Aiden?