Dua hari sejak kejadian di kantin lalu, Revan selaku abangnya Tia jelas merasa penasaran atas adiknya. Laki-laki tersebut beranjak dari kasurnya, dan bergegas menuruni anak tangga sambil memakai jaket levisnya. "Mau kemana kamu Van?" tanya Rifan.
Revan menghampiri sang ayah yang berada diruang keluarga. "Mau pergi ke cafe` teman dulu Yah," balas Revan lalu mengecup singkat punggung tangan sang ayah.
"Yasudah kamu hati-hati," kata Rifan.
"Siap laksanalan Yah," balas Revan seraya menghormat ke arah sang ayah, Rifan hanya menggelengkan kepalanga pelan.
Laki-laki tersebut lalu melangkahkan kakinya keluar rumah dan kebetulan sekali berpapasan dengan sang ibu, Caca lantas bertanya, "Mau kemana kamu Van?"
"Eh Bubu, mau ke cafe` teman, Revan pamit ya," ucap Revan sambil mengecup singkat tangan sang ibu, Caca hanya menggelengkan kepalanya menatap kepergian sang anak.
Revan kini menaiki motornya, ia memakai helm fullface-nya lalu melajukan motornya dengan kecepatan standar keluar dari perkarangan rumahnya. 25 menit kemudian, ia telah sampai di sebuah cafe` sang sahabatnya. Revan memarkirkan motornya, ia melepas helm fullface-nya lalu melangkah masuk ke cafe`.
"Rega," ucap Revan.
Rega yang tengah membersihkan meja lantas menoleh lalu berkata, "Eh Van, tumben kesini. Ada apa nih."
"Gue perlu bicara," balas Revan dengan raut wakah serius, Rega lantas mengerutkan keningnya menatap lurus ke arah sahabatnya.
Rega berkata, "Kayanya serius nih, yaudah lu duduk. Gue beresin ini dulu." Revan lantas mengangguk, ia melangkah ke sofa yang berada didepan meja pemesanan.
Revan lantas memainkkan handphone seraya menunggu, tak beberapa menit kemudian Rega datang membawakan es kopi yang biasa dipesankan oleh sahabatnya. "Nih minum," kata Rega lalu duduk di hadapan sahabatnya.
"Thank," balas Revan dengan senyuman tipis, ia lalu menyeruput minuman yang telah disediakan sahabatnya.
"Ada apa Van? Lu enggak mungkin sampai kesini kalau enggak nanya yang serius," kata Rega, Revan terdiambsejenak sambil menyeruput minuman.
Revan menaruh kembali minuman di atas meja, ia menarik nafasnya dalam-dalam sebelum berkata, "Iya, ini emang serius banget." Rega lantas mengernyitkan dahinya menatap lurus ke sahabatnya.
"Biar gue tebak, soal Tia?" tanya Rega.
"Iya," balas Revan.
Rega tersenyum tipis, lalu bersandar di sofa. "Bukannya lu abangnya Tia, kok lu malah mau nanya adik lu ke gue," ujar Rega.
"Gue enggak sepenuhnya kenal Tia," balas Revan, lawan bicaranya hanya manggut-manggut saja sambil tersenyum tipis.
"Menurut lu gue kenal sepenuhnya adik lu?" tanya Rega, Revan hanya menatap lurus saja ke sahabatnya, seolah tidak tahu akan menjawab apa.
Revan menyela, "Seenggak lu tahu lebih banyak di banding gue sebagai abangnya sendiri."
"Apa yang mau lu tahu dari adik lu sendiri?" tanya Rega.
Laki-laki tersebut menatap lurus ke arah sahabatnya, ia mengaduk-ngaduk minumannya sebelumn ber, "Sebenarnya seperti apa Tia?" tanya Revan dengan raut wajah serius, Rega yang raut wajahnya tenang kini berubah menjadi tegang.
"Seperti apa? Tia ya adik lu lah, emang seperti apa lagi dia," ujar Rega.
Revan menyela, "Lu jelas tahu apa yang gue tanyain Ga?!" Rega jelas terdiam sejenak memperhatikan sorot mata sahabatnya yang menajam.
"Tia sejak kapan belajar bela diri?" tanya Revan.
"Baru-baru ini sama bokap gue, tapi enggak ada salahnya kan Tia bela diri? Itu buat ngelindungin dirinya," jelas Rega.
Revan menyela, "Yang gue permasalahin bukan bela dirinya, tapi auranya dia. Lu tahu dia hampir buat Fiona kehabisan nafas, dan lu jelas tahu seperti apa sosok Fiona. Dia anggota gengster yang terkenal di ibu kota ini. Belum lagi kejadian soal Rika, dia hampir buat darah di kantin." Laki-laki tersebut menarik nafasnya perlahan.
"Jujur sama gue, apa dia bisa ngalahin semua anggota bokap lu pas latihan?" tanya Revan dengan sorot mata yang serius, Rega lantas terkejut atas pertanyaan tersebut.
Rega mengangguk membuat Revan terkejut atas pernyataan tanpa kata dari sahabatnya. "Lu serius?" tanya Revan.
"Van, sebenarnya gue enggak tahu seperti apa Tia, lu sebagai abangnya aja enggak kenal banyak apalagi gue, yang gue tahu dia cewek yang jago bela diri, dia dihormati sama anggota bokap gue, bahkan teman-teman gue segan sama adik lu," jelas Rega, Revan kembali dibuat terkejut atas penjelasaan sang sahabat, Tia dengan raut wajah polosnya disegani bahkan oleh orang yang lebih tua dibanding dirinya.
Revan bergumam, "Ternyata dia penuh dengan kejutan."
"Iya Van, dia emang penuh kejutan, kejadian di kantin sebenarnya belum ada apa-apanya Van," kata Rega.
"Maksud lu?" tanya Revan.
Rega menoleh ke arah ketiga pelayan toko, Revan lantas mengikuti dengan raut wajah bingung. "Wa, sini," kata Rega, seorang laki-laki dengan wajah tampan dan alis tebal tersebut menghampiri Rega.
"Dia Jawa namanya," kata Rega, Revan lantas manggut-manggut saja seraya mengerti.
Jawa - yaps itu nama panggilannya. "Kenapa Ga?" tanya Jawa.
Rega tanpa pikir panjanjang langsung membuka lengan yang menuntup bekas jahitan luka yang cukup dalam. Revan lantas mengerutkan keningnya lalu bertanya, "Bekas jahitan?"
"Iya ini bekas jahitan, luka yang dibuat sama adik lu," ujar Rega lalu menutup kembali lengan baju tersebut.
Revan terkejut atas perkataan sahabatnya, ia memperhatikan Jawa dengan lekat seolah mempertanyakan. "Ini luka tanpa sadar Tia, ini luka kalutnya dia disaat gue mencoba nahan biar dia enggak ngelukain parah lawannya," jelas Jawa.
"Sampai di jahit?" tanya Revan dengan penasaran, Jawa hanya mengangguk menjawab pertanyaan tersebut.
"25 jaitan," ujar Jawa.
Revan bertanya, "What?! 25 jahitan?!" Rega mengangguk seraya mengiyakan pertanyaan sahabatnya.
Laki-laki tersebut benar-benar tidak habis pikir oleh kenyataan yang baru saja ia dapat, ia menggelengkan kepalanya pelan sambil sesekali menjambak pelan rambutnya. "Gue tahu lu pasti terkejut, tapi ini yang lu mau ketahui soal adik lu," cetus Rega.
"Ntar dulu, gue pernah dengar Dragons itu bukan hanya cafe` tapi salah satu geng motor yang di takuti," kata Revan, Rega hanya manggut-manggut saja.
Rega bertanya, "Gue tahu, pasti lu mau nanya siapa ketuanya kan?" Revan mengangguk pelan dengan sorot mata yang penasaran, Rega tersenyum tipis membuat sahabatnya mengerutkan keningnya.
"Jangan bilang–" Rega mengangguk membuat Revan menutup mulutnya karena terkejut.
"Cukup lu aja Van, gue yakin Tia enggak akan terima kalau gue ceritain ini semua ke abangnya," ujar Rega.
Revan menyela, "Kenapa gue sebagai abangnya bahkan enggak mengetahui apapun!"
"Enggak ada yang tahu persis gimana Tia Van, gue, lu, dan termasuk keluarga besar lu, dia pintar dalam menyembunyikan ini semua, menurut lu yang gue kasih tahu ini adalah semuanya dari Tia? Menurut gue enggak Van, masih banyak kejutan tapi kita enggak tahu kapannya," jelas Rega.
Revan terdiam sejenak mendengarkan penjelasaan dari Rega. "Iya Ga, gue rasa juga gitu," ujar Revan.
"Maka dari itu kenapa gue selalu ngelarang lu dan yang lain buat ikut campur, karena kita enggak tahu mode amarah Tia itu kapan," ucap Rega.
Revan berkata, "Ga, gue mohon jangan libatin Tia dalam hal bahaya apapun termasuk keurusan geng motor."
"Gue enggak bisa janji Van, karena Tia selalu lebih dulu tahu dibanding gue soal urusan apapun itu," kata Rega, Revan memejamkan matanya sambil menjambak pelan rambutnya.
"Tapi gue usahain Dragons akan ngejagain ratunya," lanjut Rega.
Revan mendongak lalu berkata, "The Boys harus jagain dia juga." Rega mengangguk seraya setuju atas perkataan sahabatnya.
"Van, jangan nanya apapun soal Tia, biar adik lu sendiri yang cerita nantinya, pura-pura lu enggak tahu soal dia," kata Rega.
"Iya Ga, gue akan tutup rapat-rapat. Terimakasih udah mau ceritain soal adik gue," balas Revan.
"Santai aja," ujar Rega.
Revan menarik nafasnya perlahan sebelum berkata, "Jujur gue masih kaget banget dengar cerita dari adik gue sendiri." Rega yang mendengar lantas tersebut tipis saja.
"Lu harus siap-siapin diri soal adik lu sendiri, kita enggak tahu teka-teki apalagi yang ada di dirinya Tia," ujar Rega.
Sedangkan di sisi lain, Tia yang baru saja bangun dari tidurnya kini memposisikan dirinya duduk di kasur sambil merentangkan kedua tangannya. "Gue kira udah sore," gumam Tia ketika melihat jam dinding yang menunjukkan jam 11 siang.
Gaids tersebut kini beranjak turun dari kasurnya dan melangkah ke kamar mandi untuk menyegarkan dirinya. 10 menit kemudian, ia telah selesai dengan aktifitas mandinya sambil bernyanyi seraya konser. Tia kini memakai celana levis hitam, dan baju biru dongker, setelah mengoleskan lip balm, ia memakai tas selempangnya dan memasukkan handphonenya.
"Sekarang ku tahu kau bukan milikku lagi, uwo hooo." Tia menuruni tangga dengan kata-kata yang ia buat seraya bernyanyi.
"Astaga Kak, suara kamu bagus banget," kata Caca.
Tia tersenyum bangga namun sebelum berkata, Caca melanjutkan perkataannya, "Tapi lebih baik lagi kamu nyanyi tanpa suara Kak."
Tia yang berada di anak tangga terakhir menekuk wajahnya cemberut sambil melangkahkan kakinya mendekat ke arah kedua orang tuanya. "Yah, Bubu tuh nakal banget," ucap Tia sambil mengadu ke Rifan, ia memeluk sang ayah dari belakang.
"Kamu mau kemana sayang?" tanya Rifan ketika melirik ke arah sang anak.
Tia membalas, "Mau pergi Yah, ke cafe` Rega."
"Mau Ayah anterin?" tanya Rifan.
"Enggak usah Yah, Tia bawa motor aja," balas Tia.
Caca menyela, "Kamu tuh Kak suka banget bawa motor, mentang-mentang dibeliin sama Abang kamu."
"Iya harus dong Bu, itukan pemberian bang Rey," balas Tia sambil menaikkan kedua alisnya membuat Caca hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum tipis.
Tia lalu berpamitan kepada kedua orang tuanya, ia melangkah keluar dari rumahnya. "Hati-hati kamu, jangan ngebut," teriak Caca, Tia hanya mengangkat tangannya yang membentuk Ok.
Gadis tersebut lalu melangkah ke arah motor yang terparkir di depan pintu rumahnya, ia lalu menaiki motor serat memakai helm fullface-nya, Tia lalu melajukan motornya dengan kecepatan standar setelah menutup kaca helmnya. "Let's go baby black!"