Sicilia kembali menangis seraya menyiapkan sarapa untuk keluarganya. Hanya itu yang bisa dilakukan oleh Sicilia sebab ia eggan untuk meladeni pertengkaran yang dibuat oleh suaminya.
“Nak ....” Yeni datang menghampiri seraya mengelus pelan bahu putrinya.
“Cici nggak apa-apa kok, Ma.”
“Sabar ya ....”
Sicilia mengangguk, “Cici hanya heran saja. Mengapa beberapa tahun belakangan Cici dan bang Sandi sering sekali bertengkar. Apalagi semenjak bang Sandi lulus PNS, sikapnya mulai berubah.”
“Mungkin saja Sandi lelah dengan pekerjaannya, Cici harap memaklumi saja.” Yeni berusaha menghibur putrinya.
“Dulu juga kerjanya capek, tapi nggak pernah seperti ini.” Cici meyeka air matanya yang terus menetes.
“Sabar, Nak. Cici jangan terpancing emosi. Memangnya Cici mau seperti Santi dan Herman yang setiap hari ribut terus?”
Sicilia menggeleng, “Sesekali saja sudah membuat Cici pusing, Ma. Apalagi setiap hari, Cici tidak akan sanggup.”
“Makanya mama bilang, Cici harus sabar. Jangan terpancing emosi. Kalau Cici dan sandi bertengkar, mama juga ikut pusing nanti, hehehe ....” Yeni kembali menguatkan putrinya seraya membantu Cici di dapur.
Sicilia seketika memeluk ibunya. Wanita paruh baya itu adalah sumber kekuatan Cici selain ke dua buah hatinya.
Tidak lama, sarapan pun sudah terhidang di meja makan. Pagi ini, suasana meja makan kembali kaku dan canggung. Sikap Sandi membuat Sicilia kehilangan gairɑh pagi ini.
Berbeda dengan Santi kakaknya, walau bagaimana pun ribut dan sakit hatinya, Cici tetap melayani suaminya dengan baik. Wanita itu berusaha untuk tetap bersikap biasa saja di depan anak dan ibunya.
Sandi terus memerhatikan istrinya yang diam seribu bahasa. Tangan Cici tetap bergerak melayani semua kebutuhan Sandi namun wajahnya datar dan bibirnya sama sekali tidak bersuara.
Setelah menyelesaikan sarapannya, Sandi pun bangkit dan segera beranjak menuju teras rumah. Sicilia tetap menghampiri dan menyalami suaminya itu dengan takzim.
“Hati-hati di jalan, Bang,” lirih Cici seraya mencium punggung tangan suaminya.
“Cici, kamu beneran nggak ada bohongi abang?”
“Bang, Cici mohon jangan mulai lagi. Demi Allah, Cici nggak pernah bohongi abang. Yang ada, abang terus yang bohongi Cici.” Sicilia tertunduk. Wanita itu tidak menyadari jika ada sepasang mata yang terus mentapnya dari jarak beberapa meter.
“Abang akan berusaha percaya.” Sandi membelai puncak kepala Cici dan mencium ujung kepala itu dengan sayang.
Sepasang mata yang ada di rumah sebelah, kembali memanas melihat sikap Sandi dan Cici yang terlihat nyata di depan matanya.
“Bunda, Reza sekolah dulu ya ....”
“Iya, Sayang ... belajar yang rajin ya, biar jadi anak hebat.”
“Iya, Bunda ....” Reza menyalami ibunya itu dengan takzim.
“Abang dan Reza pergi dulu. Nanti akan abang hubungi lagi.”
Sicilia mengangguk, “Hati-hati, Bang.”
Sandi dan Reza pun pergi. Sicilia mulai membenahi halaman rumahnya dan menyirami bunga-bunga yang tumbuh di halaman depan rumah itu.
“Kak, nggak jadi pergi kerja?” Herman yang tengah melamun menikmati wajah cantik Cici dari kejauhan, dikejutkan oleh kehadiran istrinya.
“Kakak nggak enak badan.” Herman berusaha mengelak, bangkit dan masuk lagi ke dalam rumahnya.
“Nggak enak badan gimana? Bukankah tadi baik-baik saja? Kakak jangan banyak alasan, Kak. Ayo pergi kerja, kalau kakak nggak kerja hari ini, gaji hari ini nggak akan diterima. Aku mau bayar hutang pakai apa nantinya?” Santi tetap memaksa suaminya.
“Tapi kakak ini sedang sakit, Santi.”
“Aku tidak mau tahu, kakak harus tetap pergi kerja!”
“Kamu ini memang beda sekali sama Cici. Lihat itu Cici, bagaimana pun suaminya ia tidak pernah bersikap kasar seperti ini.”
“Mengapa kakak banding-bandingkan aku dengan Cici? Tentu saja Cici bisa bersikap seperti itu, mama sayang padanya, suaminya pun memiliki pekerjaan bagus. Sementara kamu? Kamu hanya buruh bangunan, sok banding-bandingkan aku dengan Cici.”
“Santi, sudah cukup menghinaku seperti itu!”
Santi menatap suaminya tajam, ia berkacak pinggang, “Apa? Kamu mau apa, ha? Kamu tidak lihat, anak kamu ini empat yang harus kamu kasih makan. Dulu saja waktu aku bekerja, kamu marah-marah. Kamu sembunyikan ijazahku hingga benar-benar hilang sampai sekarang. Jadi salah siapa sehingga aku tidak bisa ikut bekerja, ha?”
Herman mendengus kesal, pria itu masuk ke dalam kamar dan membanting pintu kamar itu dengan kasar.
“KAKAK!! BUKA PINTUNYA!!” teriak Santi dengan suara keras menggelegar. Suara wanita itu bahkan mengalahkan suara musik yang sudah ia setel dengan volume maksimal.
“Ini lagi, WOI! BANGUN! Dasar anak malas. Anak dan bapak sama saja, sama-sama pemalas. ADI, BANGUN! KERJA!”
Lagi-lagi, Santi ribut dengan putra sulungnya—Adi,21 tahun. Herman semakin pusing mendengar keributan yang terjadi di luar kamarnya.
Sementara di rumah sebelah, Cici dan Yeni kembali saling berpandangan mendengar keributan yang terjadi di rumah sebelah. Lagi dan lagi, rumah itu terasa panas dan gerah.
“Ma, kak Santi ribut lagi?”
“Entahlah, Nak. Setiap hari seperti itu terus, mama juga tidak paham lagi.”
Cici melihat sebuah gurat kesedihan di mata ibunya. Santi tidak hanya dikenal kasar dan arogan pada suami dan anak-anaknya, akan tetapi juga sering melawan kepada Yeni—ibu kandungnya sendiri. Santi merasa dibedakan dengan Cici, padahal Yeni memperlakukan anak-anaknya sama. Hanya saja, Cici yang tinggal bersama beliau tentu memiliki ikatan emosional yang berbeda dengan Santi yang sudah berpisah semenjak ia menikah.
PRANK!!
KLUNTANG!!
Kembali terdengar suara berisik dari rumah Cici. Suara panci terbang dan teriakan, beriringan dengan suara musik yang sangat keras.
“Ci, coba lihat Dhea. Apakah Dhea terjaga?” Yeni memegangi dadanya mendengar keributan yang terjadi di rumah Santi.
Cici mengangguk dan berjalan perlahan menuju kamarnya. beruntung, kamar Cici berada di sisi berbeda dengan rumah Santi dan kamar Cici juga sedikit kedap suara, sehingga keributan yang terjadi dan suara musik yang sangat keras, tidak terlalu menganggu nyenyaknya tidur bayi delapan bulan yang kini sudah hadir di tengah-tengah Cici dan Sandi.
Setelah memastikan putrinya dalam keadaan tenang, Cici kembali keluar dan menutup pintu kamarnya secara perlahan.
“Astaghfirullah ....” Yeni kembali memegangi dadanya ketika mendengar kembali suara benda melayang.
“Mama, mama nggak perlu pikirkan apa pun. Bukan’kah kita sudah terbiasa mendengar semua itu beberapa tahun belakangan ini?”
“Iya, tapi tetap saja mama tidak tahan, Nak.”
“Mau gimana, kalau kita susul ke sana yang ada nanti mama dan aku yang jadi sasaran amukan kak Santi. Cici nggak mau melihat mama dimarah-marahi sama kak Santi seperti tempo hari.” Cici memeluk ibunya yang mulai tidak nyaman.
“Entahlah, Nak. Dari dulu Santi memang seperti itu. Tidak pernah mau berubah. Bahkan ketika papa masih hidup saja, Santi tidak segan melawan papanya.”
Cici menghela napas. Apa yang dikatakan ibunya memang benar. Santi semakin hari semakin bringas semenjak semakin dekat dengan yang namanya dukun dan ilmu hitam.
Di rumah Santi, lagi-lagi Herman tidak tahan mendengar keributan yang tercipta. Ia sudah malu dengan para tetangga. Dimana pun ia tinggal selama ini, tetap saja insiden seperti ini selalu terjadi.
Herman keluar dari kamar dan menemui istrinya, “SANTI, CUKUP! KALAU KAMU TIDAK BERHENTI JUGA, AKU AKAN MENINGGALKANMU!!”
“Keluar juga kau akhirnya, Kak. Lihat itu anakmu. Pulang sudah pagi, disuruh kerja tidak mau. kalian berdua ini sama saja!”
“Baiklah, aku akan berangkat bekerja.”
Herman yang memang sedikit flu, meraih kantong plastik yang berisi bekal makanan yang sudah disiapkan oleh Santi. Tanpa permisi, pria itu pun pergi meninggalkan rumahnya mengendarai sepeda motor kredit yang sudah menunggak tiga bulan.
Sebelum berangkat, Herman kembali melirik ke pintu rumah Sicilia, berharap bisa melihat wanita itu. namun sayang, Cici tidak keluar rumah. Herman menghela napas berat. Pria itu pun pergi mengendarai motornya dengan perasaan kesal yang memuncak.
Di tengah perjalanan, Herman berubah pikiran. Pria itu urung pergi ke tempat kerjanya. Herman malah membelokkan motornya ke rumah seorang wanita—masih saudaranya juga. Wanita bersuami yang sudah menjalin kasih bersama Herman secara diam-diam. Tidak ada seorang pun yang tahu mengenai hubungan terlarang itu.
Sesampainya di rumah itu, Herman mengetuk pintu rumah yang masih tertutup sempurna. Tidak lama, seorang wanita berusia tiga puluh sembilan tahun keluar dari dalam rumah. Wanita itu tengah mengenakan daster tipis tanpa pengaman bagian dalam. Herman seketika memanas menatap wanita yang berdiri di depannya.
“Bang Herman?” Sang wanita terkejut sekaligus senang melihat pria itu datang.
“Rosi, abang lagi bingung. Boleh abang numpang bersantai di sini dulu ya?”
“Masalah sama Santi lagi?”
“Iya ....”
“Ya sudah, silahkan masuk.”
“Suami kamu belum pulang?”
“Abang tahu sendiri kalau pulangnya hanya setiap Sabtu saja, Minggu balik lagi.” Wanita bernama Rosi meruncingkan bibirnya.
“Hhmm ....” Herman bergumam, pria itu menyandarkan punggungnya di sandaran sofa ruang tamu Rosi.
“Rosi buatin minum dulu ya ....”
Herman mengangguk. Pria itu berasa beruntung punya tempat untuk bersantai di saat dirinya dipusingkan oleh masalah Santi.
“Silahkan minum dulu, Bang.” Rosi datang membawa secangkir kopi panas.
“Terima kasih.” Herman menyeruput kopi panasnya secara perlahan.
“Bang, kalau memang abang sudah tidak cocok lagi dengan Santi, mengapa abang tidak ceraikan saja? Buat apa tetap dipertahankan sementara abang sudah tidak bahagia?”
“Kalau abang bercerai, nanti anak-anak abang bagaimana? Lagi pula, kalau abang bercerai, nanti abang tidak bisa sering main ke sini lagi. orang-orang pasti akan curiga, ngapain duda datang ke rumah wanita yang selalu ditinggal suaminya, hahaha ....” Herman terkekeh. Netranya tertuju pada belahan yang menyembul hebat dari balik daster yang dikenakan Rosi.
Rosi tersipu malu tatkala melihat tatapan Herman. Wanita yang masih memiliki hubungan darah dengan Herman itu, sedikit salah tingkah dan tersenyum kecil.
“Rosi cantik ... jauh berbeda dengan Santi,” lirih Herman menggeser duduknya.
“Halah, dulu saja kata abang Santi wanita paling cantik.”
“Dulu, sekarang enggak. Apalagi semenjak berubah jadi monster, abang jadi semakin hilang selera.”
“Jadi monster’kan juga gara-gara abang. Abang yang sudah memberinya ramuan-ramuan aneh.”
“Bukan salah abang, salah si Indra yang salah memberikan ramuan.”
“Salah abang juga dong. Ke Indra abang minta, ke pak Jonu di kampung, abang juga minta. Kasihan tahu bang si Santi, tubuhnya sudah dipenuhi penunggu-penunggu aneh.”
Herman semakin mendekat. Kini tidak ada lagi jarak antara dirinya dan Rosi, “Biarin, abang tidak peduli. Kalau abang bosan, abang’kan bisa ke sini.” Herman mulai melancarkan aksinya. Menyentuh pinggang Rosi dengan penuh rasa.
Rosi bukannya mengelak, malah membiarkan Herman menyentuh tubuhnya. Ia juga sudah candu dengan suami Santi itu. tidak peduli jika mereka masih ada hubungan saudara. Justru hal itu membuat hubungan mereka seakan tidak ada penghalang. Tidak ada orang yang curiga, termasuk suami Rosi.
***