TAO – 5

1845 Kata
Dua tahun kemudian ... Dua tahun sudah usia Reza Perdana—putra pertama Sandi dan Cici. Sandi pun sudah memutuskan untuk berhenti bekerja di tempat lamanya dan sekarang pria itu sudah mendapatkan pekerjaan baru di kota Pekanbaru—tidak jauh dari lokasi tempat ia tinggal. Santi dan Herman juga perlahan mulai menyelesaikan rumah mereka yang berada tepat di sebelah rumah Sicilia. Orang tua Cici memang sudah menyiapkan dua kavling tanah untuk ke dua putri mereka—Cici dan Santi. Kavling tanah itu posisinya bersebelahan. Mendiang ayah Cici dan Santi sengaja membeli tanah itu bersebelahan dengan tujuan agar ke dua putrinya bisa terus bersama dan saling menjaga. Namun yang terjadi malah sebaliknya, keputusan yang sudah dibuat oleh mendiang ayah mereka malah akan menjadi petaka untuk putri bungsunya. Walau rumah Herman belum selesai sempurna, namun ia dan istrinya sudah memutuskan untuk menempati rumah itu. sebenarnya bukan mereka berdua, sebab Santi masih ada rasa enggan untuk menempati rumah yang belum selesai itu. namun suaminya tetap memaksa dan Santi tidak bisa berbuat apa-apa. “Kak, rumah kita’kan belum selesai. Baru bagian depannya saja. Sementara bagian belakang masih terbengkalai begitu, bagaimana bisa kita tempati?” protes Santi ketika suaminya memaksa pindah ke rumah mereka. “Tidak apa-apa, nanti setiap minggu akan kakak angsur bangun sendiri. Kebetulan kakak dapat beli kayu-kayu sibiran murah. Untuk sementara bagian belakang kita pakaikan kayu-kayu sibiran saja. Pak Imam katanya juga mau memberikan seng-seng bekas mereka kepada kita. Lumayan banyak, jadi untuk sementara kita pakai itu dulu.” “Mengapa terburu-buru? Bukankah kita nggak ngontrak juga? Rumah ini juga cukup nyaman kok dibandingkan dengan rumah kita yang masih terbengkalai itu.” Santi terus berupaya meyakinkan. “Walau sederhana, akan lebih nyaman tinggal di rumah sendiri dari pada tinggal di rumah orang lain walau tidak perlu membayar uang sewa. Lagi pula kakak sudah segan lho sama yang punya rumah.” “Segan kenapa? Bukankah mereka baik-baik saja? Mereka juga senang rumahnya kita jaga.” “Kakak segan saja. Lagi pula mereka tahu jika rumah kita sudah dibangun. Menurut kakak bagus kita segera pindah agar sekalian bisa bantu Cici jagain mama dan anak-anaknya.” “Kalau kakak tetap memaksa, aku ikut saja.” “Memang istri harusnya ikut sama suami. Nanti sore kita akan lansung cicil angkat-angkat barang.” Santi mengangguk, “Iya, Kak.” “Kalau begitu kakak mau pergi kerja dulu.” “Iya, Kak. Hati-hati di jalan.” Herman pun pergi meninggalkan rumahnya menuju pabrik tempat ia bekerja. Namun sebelum menuju pabrik, pria itu menyempatkan diri untuk mampir melihat rumahnya sekalian mampir ke rumah Cici. “Herman, mana Santi?” Yeni melihat menantunya baru saja datang dan memberhentikan motornya tetap di depan rumah yang belum selesai di bangun. “Ada di rumah, Ma. Herman ke sini mau intipin Reza dulu sebelum pergi bekerja.” Heman memberi alasan. Di dalam hatinya, bukan Reza tujuan utama untuk ditemuinya melainkan ibu dari pria kecil bernama Reza itu. “Owh ....” jawab Yeni seraya melanjutkan pekerjaannya menjemur pakaian. Herman pun masuk ke rumah Cici tanpa permisi. “Bang Herman.” Cici kaget mendapati kakak iparnya itu sudah berada di belakangnya ketika ia tengah membereskan meja makan. “Sandi mana?” tanya Herman seraya mengambil sepotong gorengan yang terletak di atas meja. “Bang Sandi sudah pergi kerja, Bang. Abang gak kerja?” “Iya, mau berangkat kerja. Mampir sebentar mau lihat Reza. Reza masih tidur ya?” “Iya, Bang.” “Cici sendiri nggak kerja?” “Sebentar lagi. Cici’kan masuk jam sembilan, jadi tidak terlalu terburu perginya.” “Owh, ini Cici yang masak ya?” Herman memerhatikan aneka lauk pauk yang masih tersedia di atas meja. Cici baru saja selesai memberekan piring-piring kotor. “Bukan, Bang. Itu tadi mama yang masak.” Pria itu pun duduk di salah satu kursi makan dan terus memerhatikan gerak gerik Cici yang masih mengenakan piyama berbawahan panjang tanpa penutup kepala “Kak, kok masih di sini?” Herman tersentak. Tiba-tiba saja suara wanita yang tidak asing baginya menggema di ke dua telinga. Herman menoleh, “Santi?” “Kenapa kakak belum berangkat kerja?” “Hhmm ... kakak ingin lihat Reza sebentar. Kebetulan di sini ada gorengan, jadinya kakak duduk makan gorengan dulu. Kamu duduk juga, makan gorengan sama-sama.” Herman berusaha bersikap santai. Tanpa curiga, Santi pun duduk di salah satu kursi makan yang berbeda. Ia melihat adiknya tengah mencuci piring bekas sarapan Cici dan keluarga. Setelah menghabiskan gorengan yang ada di tangannya, Herman pun bangkit dan pamit. “Santi, kakak berangkat kerja dulu. Ci, abang pergi dulu.” Cici menoleh, “Iya, Bang.” “Hati-hati, Kak.” Herman mengangguk dan melangkahkan kakinya meninggalkan rumah Sicilia. “Ci, tadi bang Herman ngomong sesuatu?” tanya Santi. Cici yang sudah selesai dengan piring-piring kotornya, menghampiri Santi dan duduk di kursi makan berbeda. “Enggak, memangnya kenapa?” “Tidak ada. Kakak pikir tadi bang Herman ada mengatakan sesuatu kepada Cici?” Sicilia menggeleng seraya menenggak segelas air mineral. “Ci, ada simpanan gak? Kakak mau pinjam dong.” “Buat apa?” “Buat bikin warung kecil-kecilan di depan rumah.” “Rumah yang ini atau rumah yang di belakang?” “Buat rumah yang ini, Ci.” “Kakak jadi pindah?” “Iya, abang kamu memaksa nanti sore mau cicil barang. Mengenai pinjaman itu, ada’kan Ci?” “Memangnya kakak butuh berapa?” “Satu juta, buat beli kayu dan triplek saja. Kakak mau coba-coba jualan di sini. Mana tahu ada rezekinya’kan?” “Hhmm ... Insyaa Allah ada. Kapan kakak butuhnya?” “Sekarang, bisa?” “Cici belum ambil uang, Kak. Nanti sore gimana?” “Boleh dech ....” “Ya sudah, nanti sore Cici ambilkan.” “Reza mana? Masih tidur?” “Iya, Kak. Biar Cici bangunkan sebentar. Cici akan mandikan dulu sebelum Cici berangkat kerja.” “Nggak usah, biar kakak saja nanti yang mandikan. Cici siap-siap saja pergi kerjanya.” “Kakak nggak repot?” Cici memerhatikan netra kakaknya. “Sejak kapan kakak merasa repot menjaga Reza, ha?” “Hehehe ... iya juga sih. Ya sudah, Cici siap-siap dulu ya ... nanti sore akan Cici ambilkan uangnya.” “Iya, bulan depan akan kakak ganti. Kebetulan bulan depan kakak terima arisan.” “Iya, Kak. Cici mau siap-siap dulu.” Sicilia pun meninggalkan Santi di meja makan sendirian. Wanita yang kini sudah berusia dua puluh empat tahun itu bersiap menuju kantornya, bekerja sebagai tenaga administrasi di salah satu perusahaan otomotif. - - - - - Hari demi hari berlalu, bulan demi bulan pun terlewatkan. Kini, enam tahun sudah usia Reza dan itu artinya sudah empat tahun Sicilia bertetangga dengan kakak kandungnya sendiri—Santi. Sandi pun sudah satu tahun diangkat menjadi ASN di sebuah instansi pemerintahan dan Cici Sudah sembilan bulan berhenti bekerja dan fokus mengembangkan usaha. Sandi yang menyuruh Cici berhenti bekerja karena kini mereka sudah memiliki anak ke dua yang usianya sudah menginjak delapan bulan. Kehidupan perekonomian Sandi dan Cici lumayan membaik namun hubungan rumah tangga mereka semakin memburuk semenjak Herman dan Santi tinggal tepat di sebelah rumah mereka. Rumah yang dulunya tenang dan damai, kini terasa panas dan sesak. Sicilia dan Sandi juga harus siap mendengar keributan di sebelah rumah mereka yakni rumah kakak kandung Cici sendiri. Tidak hanya keributan, Cici yang lebih senang hidup nyaman dan tenang, harus terbiasa dengan suara bising yang memekak telinga setiap harinya. Santi memang terbiasa menyetel suara musik dengan volume maksimal. Musik dari pengeras suara di rumah Santi bahkan mengalahkan musik pengeras suara organ tunggal. Jam dinding baru menunjukkan pukul tujuh pagi, namun dari sebelah rumah itu, sudah terdengar nyanyian dangdut yang menggema memekak telinga. “CICI ... CICI ....” sayup-sayup, Sicilia mendengar suara teriakan dari dalam kamarnya. “CICI!!” Kembali terdengar teriakan itu sebab Sicilia belum juga menjawab atau menyusul sumber suara. “IYA, SEBENTAR!” Huft ... kak Santi ini, masih pagi sudah meyetel musik dengan sangat keras. Bikin bising saja. Aku jadi tidak bisa mendengar suara bang Sandi. Cici menggerutu seraya berjalan menuju kamarnya. “Abang manggil Cici?” “Iya, kamu itu tulí ya ... Sudah berapa kali saya panggil dan kamu tidak menjawab!” Sandi berkata dengan kasar. Ya, pria itu memang berubah semenjak Herman dan Santi menjadi tetangga mereka. Terlebih semenjak Sandi diterima menjadi ASN, ia semakin kasar terhadap istrinya. “Abang nggak dengar kalau suara musiknya kak Santi terlalu keras. Jadi Cici nggak dengar suara abang.” “Halah! Alasan kamu saja.” “Bang, Cici mohon, jangan cari ribut pagi-pagi begini.” “Siapa yang cari ribut? Kamu tu yang banyak alasan.” Sicilia menghela napas, ia tahu pagi ini akan berakhir dengan tidak baik. “Ada apa abang memanggil Cici?” “Siapa ini?” Sandi memberikan ponsel Cici dengan kasar. “Mana Cici tahu, ‘kan nggak ada nomornya.” “Barusan ia menelepon. Pas diangkat suaranya laki-laki, lalu tiba-tiba ia matikan.” “Kenapa nggak abang telepon lagi saja kalau abang memang penasaran.” Cici terlihat cuek. Sandi memegang bahu istrinya dan menatap wajah itu, tajam, “Pasti ada yang kamu sembunyikan dari abang, iya’kan?” “Sembunyikan apa? Abang jangan aneh-aneh dech. Ini masih pagi ya dan jangan mulai pertengkaran lagi.” Sicilia berusaha menghindar. Wanita itu melangkahkan kaki dan berniat keluar dari kamar. Namun Sandi dengan cepat menyambar lengannya dan memegang lengan itu dengan kasar. “Cici, jangan bohongi abang.” “Siapa yang sudah bohongi abang? Abang jangan aneh-aneh dech.” “Cici, abang serius.” “Aku juga serius, Bang! Mau kamu itu apa sich, Bang. Kamu suruh aku berhenti bekerja, aku turuti. Kamu tidak membolehkan aku ikut berbuka bersama teman-teman kantor, aku ikuti. Kamu tidak mengizinkan aku berbaur dengan teman-temanku, aku ikuti. Semua perintahmu aku sudah ikuti, Bang. Tapi mengapa kamu masih seperti ini?” “Itu karena kamu sudah membohongi abang.” “Bohong apa?!” “Jangan mengelak, Sicilia!” “Terserah!” Sicilia kembali berusaha menghindar. “Jangan pergi, Cici!” “Apa lagi, Bang? Cici mau siapin sarapan untuk kita.” “Abang masih belum selesai bicara.” “Mau bicara apa lagi? mau nuduh Cici yang bukan-bukan lagi? iya?” “Hari ini ponsel kamu abang bawa.” “Jangan gilɑ kamu, Bang!” Sicilia merampas ponselnya dari tangan Sandi. “Kenapa tidak boleh?” “Bukannya tidak boleh, tapi kamu berlebihan. Lagi pula apa buktinya kalau aku sudah membohongi kamu.” “Itu tadi, siapa yang menelepon?” “Mana aku tahu.” Cici mengangkat ke dua bahunya. “Abang akan bawa ponsel kamu.” “Kalau gitu abang juga harus tinggalin ponsel abang.” “Cici, kamu mulai melawan?” “Aku capek bertengkar terus sama kamu, Bang!” Sicilia keluar dari kamar dengan cepat. Sandi menyusul, ia belum puas dengan jawaban istrinya. namun di depan pintu kamar, ia berpapasan dengan ibu mertuanya—Yeni. Yeni menatap anak menantunya dengan tatapan penuh tanda tanya. Wanita paruh baya itu juga merasa ada aura yang aneh di rumah mereka beberapa tahun belakangan ini. Rumah yang sebelumnya sangat nyaman dan bahagia, kini terasa panas dan gerah. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN