43. Debian Turun Tangan Langsung Dalam Penyelidikan Kecelakaan Jenny

2141 Kata
Berita tentang kecelakaan yang menimpa Jenny pun tersebar luas. Banyak media mulai meliput maupun memenuhi rumah sakit untuk mempertanyakan semua kejadian. Sebab, dalam kamera pengawas terdapat mobil yang dikendarai oleh Jenny melaju begitu kuat sebelum akhirnya dihantam mobil lain berada di jalur lawan arah. Tentu saja semua video yang beredar itu pun menghebohkan jagat maya, meskipun Jenny tidak terekspose jelas akibat terlempar cukup jauh dan mendekati titik buta kamera pengawas. Akan tetapi, banyak spekulasi yang mengatakan bahwa Jenny pihak bersalah telah mengambil putar balik tanpa melihat situasi lebih dulu. Sontak hal tersebut membuat Alister langsung bergegas ke kantor polisi. Ia hendak meminta keterangan pada Delvin mengenai situasi yang telah terjadi. Entah kenapa lelaki itu merasa semua orang dipermainkan, seakan-akan Jenny yang bersalah. Dengan menghentikan mobilnya sembarang arah, Alister pun beranjak dari mobil dan berlari masuk meninggalkan Akhtar dan Ayres yang saling berpandangan. Mereka bertiga memang sudah berada di markas ketika mendengar begitu tersebut dari salah satu media yang melakukan siaran langsung. “Gimana sama dashboard camera Jenny?” tanya Akhtar menyadari benda yang menjadi kunci di balik semua kecelakaan itu memang tengah ditahan oleh pihak kepolisian. “Belum ada kabar sama sekali dari polisi pihak sana,” jawab Ayres menggeleng pelan. “Ya udah, sekarang susulin Alister dulu!” ajak Akhtar beranjak keluar diikuti Ayres di belakangnya. Kini Alister tengah melangkah dengan lebar memasuki polsek yang memperlihatkan banyak orang tengah berdebat. Namun, pandangan lelaki itu langsung mengarah seorang lelaki yang baru saja keluar dari ruangan. Bertepatan Delvin baru saja menerima laporan kecelakaan lalu lintas sahabatnya, lelaki itu pun berbalik hendak kembali ke ruangan. Namun, pandangan Delvin langsung berhenti menyadari kedatangan Alister yang berdiri tidak jauh dari jaraknya. “Pak Alister, kebetulan sekali. Ikut saya sebentar! Ada yang harus disampaikan!” Delvin mengangguk meyakinkan sebelum lelaki itu melenggang pergi lebih dulu. Sedangkan Alister yang merasa sedikit lebih tenang itu pun langsung mengikuti langkah kaki Delvin. Disusul dua orang lelaki yang berada di belakang. Keberadaan mereka memang sedikit mencolok, sebab tidak ada siapa pun yang tidak mengetahui jabatan mereka berdua dulu. Sesampainya di ruangan rapat yang terlihat kosong, Delvin pun meminta tiga orang lelaki yang baru saja datang itu pun melenggang masuk, sebelum akhirnya dikunci dengan rapat agar tidak ada seorang pun mendengar perbincangan mereka. Sejenak Delvin mendudukkan diri tepat di hadapan Alister yang terlihat memasang ekspresi serius, sedangkan dua lelaki lainnya terlihat memandangi seisi ruangan baru tersebut. Mereka berdua memang pernah beberapa kali datang, tetapi tidak sampai memasuki beberapa ruangan. “Saya dengar kasus kecelakaan Jenny membesar,” ungkap Delvin membuka percakapan. Alister mengangguk singkat, lalu berkata, “Sebenarnya ini juga yang menjadi tujuan kita datang ke sini. Apakah sudah ada kabar dari kepolisian lalu lintas? Mereka yang pertama kali tiba di tempat kejadian.” “Ada yang aneh dalam kasus ini,” gumam Delvin pelan. “Saya mendapatkan bukti baru kalau Jenny melaju cukup kencang detik-detik sebelum memutar balik.” Ketiga lelaki itu pun langsung menatap ke arah laptop yang memperlihatkan video berdurasi singkat mengenai speed kilometer milik Jenny begitu kencang, nyari menyentuh 100 km/jam. Pantas saja tindakan yang dilakukan Jenny mendapatkan kecaman dari banyak orang. Tidak dapat dipungkiri bukti kamera pengawas tersebut bukanlah menjadi satu-satunya petunjuk yang mereka lakukan. Terlebih kecelakaan lalu lintas ini melibatkan banyak saksi yang tepat berada di sana, sebab suasana pagi yang begitu ramai dengan aktivitas banyak orang. “Bagaimana dengan penyelidikannya? Sudah mendapat dashboard camera milik Jenny?” tanya Akhtar sejak tadi terdiam mulai bersuara. “Sudah diberikan dibagian IT, tapi sampai hari ini belum bisa diambil. Entah apa yang mereka lakukan sampai membutuhkan waktu lama hanya untuk membongkar isi rekaman hari ini,” jawab Delvin menggeleng lemas tanpa tenaga. Seketika Alister menyandarkan tubuhnya lelah sembari memijat pangkal hidung beberapa kali. “Delvin, apa kamu merasa kalau masalah ini terlalu sederhana?” “Sederhana seperti apa itu?” Delvin mengernyit tidak mengerti. “Seperti ... Jenny mencelakai orang banyak tanpa sebab, setelah kita meneleponnya untuk tidak ke markas, melainkan ke tempat kejadian pembunuhan yang kalian selidiki,” timpal Ayres mengangguk meyakinkan. Delvin menggeleng pelan, lalu menjawab, “Semuanya terjadi begitu cepat. Kita semua baru mendapatkan kabar setelah satu hari kejadian, jadi memang semuanya terasa dihambat oleh seseorang.” “Bagaimana kalau kita menyerahkan semua ini sama Pak Listanto?” usul Akhtar secara menyejutkan. Sontak hal tersebut membuat seluruh pandangan petugas polisi langsung menatap penuh ke arah seorang lelaki yang jarang sekali berbicara, tetapi sekalinya memberi usulan benar-benar mengejutkan. Sampai Ayres yang terlihat sedang memandangi berkas pun terbatuk-batuk menahan sesak akibat salah mengambil napas, hingga terselit di tempat yang tidak seharusnya. “Hei, Akhtar. Lo kekurangan minum apa!?” seru Ayres tidak percaya. “Kalau masalah ini sampai ke Pak Listanto, bakalan dipandang apa kepolisian?” “Itu satu-satunya cara biar semua yang bermain kotor jera, Res!” balas Akhtar mengangguk yakin. “Gue rasa lo emang udah gila,” kecam Ayres menggeleng pelan sembari tersenyum remeh. “Gue tahu niat lo bantu, tapi kalau masalah ini sampai atasan itu, bukan cuma Jenny yang bakalan dibenci. Tapi, kita semua yang terlibat! Lo udah bosen hidup?” “Res, gue tahu lo enggak rela kalau masalah ini menjadi beban buat kita nyelidikin kasus. Tapi, ini tentang keselamatan manusia yang enggak bisa kita hindari. Lo yakin nyerahin semua kasus ini sama pihak sana?” Penuturan yang dilakukan oleh Akhtar membuat Alister yang sejak tadi terdiam mendengarkan diskusi kedua sahabatnya pun mengangguk mengerti. Lelaki itu pun bangkit dari tempat duduk. “Diam. Gue tahu apa yang harus dilakuin sekarang!” cetus lelaki itu tersenyum miring. Secara spontan Delvin dan Akhtar yang tidak mengerti maksud dari Alister pun mengernyit bingung. Tidak dapat dipungkiri memang semua perkataan Alister terdengar tidak masuk akal, tetapi kemungkinan besar memang saling terhubung satu sama lain. Tepat mengatakan hal tersebut, Alister pun bergegas keluar meninggalkan kedua sahabatnya. Menjadikan Akhtar dan Ayres secara bersamaan menyandarkan tubuh lelah. Akan tetapi, pergerakan Alister terhenti dan membalikkan tubuh menatap kedua sahabatnya yang terlihat menyandarkan tubuh dengan Delvin menatap ketiga lelaki yang menjadi senior di kepolisian mengernyit bingung. “Tar, Res, lo enggak ada yang mau ikut gue?” tanya Alister mendadak tidak mengerti. “Sebenarnya lo mau ke mana, Ster?” Ayres menegakkan tubuh dengan berbalik tanya. “Gue perlu nyamperin Bang Bian!” jawab Alister lugas. Kali ini yang terkejut adalah Delvin. Lelaki itu mengernyit sesaat menyadari nama yang tidak asing di telinganya. “Bang Bian di sini?” tanya Delvin terkejut. *** Sesampainya di depan gedung perkantoran yang menjulang tinggi, ketiga lelaki tampan dengan profesi sebagai polisi itu pun beranjak turun. Mereka bertiga tampak mengagumi gedung di depannya yang sangat mengagumkan. Sedikit tidak percaya bahwa Jenny memiliki seorang kakak yang begitu sukses sampai memiliki gedung perusahaan milik keluarga besar dan tinggi. “Wah, gue enggak nyangka ternyata Bang Bian punya perusahaan sebesar ini,” gumam Ayres terkagum-kagum melihat perusahaan yang dipenuhi oleh penjaga berpakaian serba hitam. “Ini baru satu abang aja yang kita tahu, Res. Gimana kalau misalnya abang kedua dia lebih daripada ini?” timpal Akhtar menggeleng tidak percaya. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa pilihan Jenny menjadi seorang polisi bukanlah perkara yang mudah. Pasti gadis itu memiliki banyak keyakinan sampai diizinkan untuk bekerja di bawah perintah orang lain. Meskipun Jenny bisa saja bekerja sebagai direktur ataupun sekretaris untuk sang kakak pertamanya. “Setiap orang punya mimpi tersendiri,” balas Alister tersenyum bangga menyadari pilihan Jenny yang luar biasa. “Terkadang apa yang diirikan orang lain, justru malah menjadi penghalang terbesar. Ingat, untuk bekerja sebagai polisi dengan usaha keluarga yang begitu besar bukanlah perkara mudah. Membutuhkan banyak keyakinan dan bukti untuk memperlihatkan bahwa pilihan Jenny tidak pernah salah.” Tepat selesai mengatakan hal tersebut, Alister pun melangkahkan kedua kakinya memasuki gedung perusahaan. Ia menatap banyak karyawan yang berlalu-lalang membawa berkas ataupun melayani beberapa klien. Sama seperti perkantoran pada umumnya, sebab lelaki itu bisa melihat kegiatan sibuk dari mereka tanpa kenal lelah. Padahal tidak sedikit wajah dari mereka memancarkan aura kelelahan yang menyedihkan. Sampai harus bertahan ketika waktu pulang kerja tiba. “Tadi Bang Bian nyuruh ke lantai berapa?” tanya Ayres mendadak melupakan perkataan yang sempat terdengar tadi. “Lantai 45,” jawab Alister melangkah mendekati seorang pengawal bertubuh besar. Kedatangan tiga lelaki dengan pakaian menarik perhatian itu pun membuat sang pengawal langsung melangkah mendekat. Pengawal sewaan milik Debian tampak memperhatikan tampang Alister yang berada tepat di hadapannya. “Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?” tanya pengawal tersebut sopan. “Kita ingin bertemu dengan Pak Debian,” jawab Alister tersenyum singkat. “Sudah membuat janji lebih dulu?” “Iya, sudah. Kita disuruh ke lantai 45,” sahut Ayres mengangguk meyakinkan. Sejenak lelaki pengawal bertubuh besar terdiam sesaat, lalu berkata, “Dengan Saudara Alister, benar?” Alister mengangguk pelan. “Saya Alister, dan ini kedua sahabat saya teman Jenny.” “Baik, silakan masuk! Anda sudah ditunggu oleh Pak Mike di depan pintu lantai 45,” pungkas lelaki bertubuh besar tersebut menempelkan kartu pekerjaannya di mesin pintu masuk untuk menghindari beberapa penyusup yang datang. Sejenak Ayres mengagumi pengamanan yang berada di perusahaan tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa seluruh pengawal di sana benar-benar bekerja sama dengan baik dalam menjalankan setiap tugasnya. Bahkan tidak sedikit dari mereka tetap saling berkomunikasi jika terjadinya kecurigaan. Dengan menaiki elevator menuju lantai yang dituju, Alister tampak sesekali memperhatikan penampilan para karyawan di hadapannya. Tidak dapat dipungkiri wajah mereka sedikit mengganggu, terlebih beberapa make up terlihat begitu tebal sampai retak dibagian pipi dan bibirnya. Tak lama kemudian, pintu elevator terbuka memperlihatkan seorang lelaki yang mengenali Alister. Akibat mereka berdua pernah bertemu tidak sengaja di pesta ulang tahun perusahaan yang digelar oleh Arkanio. Demi membantu penyelidikan yang dilakukan oleh Alister dan timnya. “Mari ikuti saya! Tuan Bian sudah menunggu sejak tadi!” ajak Mike melangkah lebih dulu menuju ruangan yang berada tepat paling ujung dan mengarah pada tembok kaca besar. Memperlihatkan halaman depan perusahaan, sewaktu-waktu jika terjadi hal tidak terduga. Akhirnya, ketiga lelaki tampan itu pun mengikuti Mike dari belakang. Sesekali mereka tampak menatap ke arah sekeliling lantai yang cukup sepi. Membuat Ayres menatap bosan, terlebih sangat sunyi untuk ukuran lantai yang kemungkinan menjadi tempat para eksekutif berkumpul. “Silakan masuk! Tuan Bian ada di dalam!” titah Mike membukakan pintu memperlihatkan ruangan pertemuan dengan meja panjang berisikan tujuh kursi termasuk yang kini diduduki oleh Debian. Dengan sopan Alister melenggang masuk lebih dulu, disusul oleh Akhtar dan yang terakhir Ayres. Tak lupa Ayres menyempatkan diri untuk berterima kasih atas bantuan yang diberikan oleh Mike, lain halnya dengan Alister dan Akhtar yang terlihat melenggang masuk menghampiri seorang lelaki tampan dengan gaya kepemimpinan begitu khas. “Pak Bian!” panggil Alister membuat seorang lelaki tampan itu pun mengalihkan perhatiannya dan tersenyum singkat. “Duduklah! Ada beberapa hal yang perlu dibahas,” titah Debian tersenyum singkat, kemudian mengambil remote control di sampingnya. Di saat Debian menyalakan proyektor sekaligus menurunkan layar putih untuk memulai penyelidikan, Alister terlihat menatap seluruh interior ruangan yang benar-benar diperhatikan setiap detailnya. Bahkan setiap sudut tampak diisi oleh hiasan ataupun dibiarkan kosong dengan beberapa pajangan mulai mengisi. “Masalah berita Jenny yang beredar hari ini, saya sudah mendengarnya dan mencari tahu ternyata dari perusahaan saingan saya,” ungkap Debian memperlihatkan berkas yang menjadi penyelidikan Mike. Alister menatap penuh takjub menyadari lelaki di hadapannya begitu berhati-hati setiap tindakan. Entah apa yang tengah disembunyikan, tetapi Alister bisa merasakan bahwa Debian bukanlah sekedar pengusaha, lelaki itu memiliki sesuatu yang besar tengah dijalankan. “Bagaimana dengan tanggapannya, Pak Debian?” tanya Ayres penasaran. “Lima menit lagi akan mereka takedown,” jawab Debian menghela napas panjang. “Saya tidak tahu masalah ini akan menjadi begitu besar, karena seharian ini saya benar-benar sibuk sampai tidak memperhatikan keberadaan Jenny. Dia baik-baik saja, ‘kan?” “Tenang saja, Pak! Jenny sudah dijaga dengan baik oleh Yuni.” Alister mengangguk yakin. “Pagi ini kita juga sudah bertemu Delvin untuk menanyakan masalah dashcam.” “Tidak perlu! Saya sudah tahu pelakunya,” balas Debian cepat, kemudian menyerahkan amplop berwarna cokelat yang berisikan beberapa foto memperlihatkan detik-detik mobil tersebut menghantam Jenny bertepatan ketika gadis itu memutar balik. “Pelakunya adalah Jonathan. Seorang pengusaha ikan yang belakangan ini mengalami kerugian. Sampai dia terlilit utang yang cukup besar. Saya curiga kalau dia melakukan ini atas suruhan seseorang untuk melunasi semua utangnya.” “Maksud Pak Bian ... ternyata pelakunya orang lain dan bukan dari kepolisian?” sahut Akhtar terdengar sedikit lega. “Bukan,” balas Debian menggeleng singkat. “Saya tidak bisa berspekulasi lebih banyak, karena kalau dilihat dari satu sisi memang ada kaitannya dengan polisi. Tapi, saya akan menyelidikinya sendiri.” Mendengar hal tersebut, Ayres pun meringis pelan dan menyenggol lengan Akhtar singkat. Lelaki itu tampak menggeleng pelan, seakan mengkode pada sahabatnya untuk tidak melakukan apa pun, terlebih tatapan Debian tampak sangat serius. “Lantas, apa rencana Pak Bian selanjutnya?” tanya Alister menatap penuh pada seorang lelaki yang tidak bisa ditebak dapat mengambil banyak rencana tanpa sepengetahuan siapa pun. 0o0
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN