53. Berusaha Menjauhkan Diri Meski Terasa Perih

2225 Kata
“Jen, lo ada di mana? Gue udah ada di depan gedung!” Seorang lelaki tampan dengan perawakan lebih kecil nan tinggi itu tampak berdiri tepat menghadap pintu masuk Mabes Polri. Ia memegang ponsel di tangan kanannya sambil menempelkan di telinga. Sesekali lelaki itu menatap ke arah dalam gedung mencari keberadaan sang adik yang tidak kunjung keluar. “Sebentar, Bang. Gue dikit lagi sampai!” balas Jenny tergesa-gesa keluar dari elevator. Seketika gadis itu menatap kehadiran seorang lelaki yang berdiri tepat di depan pintu masuk. Fajrian tampak mematikan panggilan tepat kedua matanya mengarah pada kedatangan seorang gadis cantik berlarian mendahului beberapa petugas polisi yang hendak kembali pulang. “Bang Faj ke sini enggak pake bilang dulu, sih? Untung aja gue pas banget mau pulang!” protes Jenny mengembuskan napasnya sedikit kecewa melihat kakak keduanya datang tanpa memberi kabar lebih dulu. Kalau saja sesuatu sedang terjadi di timnya, mungkin Jenny harus membiarkan sang kakak kembali sendirian. Akan tetapi, siapa sangka kalau bertepatan dengan Jenny yang kembali lebih cepat. Bahkan gadis itu sampai meninggalkan seluruh timnya yang masih berada di dalam ruangan. “Tadinya gue mau ngabarin lo ke sini, tapi kata Bang Bian lebih baik langsung datang aja. Karena lo bisa jadi lagi ke TKP atau markas,” balas Fajrian merangkul bahu sang adik dan membawanya menuruni beberapa anak tangga. “Ya udah, marahnya ditunda dulu. Sekarang kita ke rumah sakit!” “Siapa yang sakit?” tanya Jenny bingung, tetapi tidak dapat dipungkiri gadis itu masuk ke mobil milik kakak keduanya yang sudah dibukakan pintu oleh lelaki tersebut. Sejenak Fajrian membungkukkan tubuhnya dengan berpegangan pada pintu mobil, lalu menyamai tingginya sepadan Jenny dan menjawab, “Bang Bian masuk ke rumah sakit.” “Lukanya atau ada insiden lagi!?” Jenny melebarkan matanya terkejut. “Tenang aja, Bang Bian masuk ke rumah sakit bukan karena insiden, tapi luka jahitannya mendadak kebuka lagi. Jadi, sekarang lagi dirawat biar enggak keras kepala dulu buat istirahat,” jawab Fajrian menghela napas panjang menyadari sang kakak benar-benar tidak bisa ditebak. Mendengan hal tersebut, Jenny pun langsung bergegas mengenakan sabuk pengaman tepat sang kakak keduanya ikut beranjak masuk. Lelaki itu tampak mengenakan sabuk pengaman, sama seperti yang dilakukan Jenny beberapa saat lalu sebelum akhirnya mereka berdua bergerak meninggalkan pekarangan Mabes Polri menggunakan mobil sport mewah dengan bagian atasnya tertutup rapat. Tak lama kemudian, mobil sport mewah milik Fajrian berhenti tepat di basement rumah sakit tempat Debian dirawat. Lelaki itu sengaja mengambil parkiran khusus manajemen rumah sakit, agar tidak bercampur dengan kendaraan pengunjung lainnya. Terlebih kebanyakan dari mereka keluar dan masuk, sehingga memang jauh lebih aman berada di tengah-tengah kendaraan pribadi milik beberapa karyawan rumah sakit. Sejenak Jenny membuka pintu mobil dengan membiarkan barang bawaannya masih berada di dalam. Ia hanya membawa ransel kecil berisikan beberapa catatan penting sekaligus barang yang memang perlu dibawa pergi ke mana pun. Sedangkan Fajrian hanya menenteng tas kerja sebesar laptop membuat Jenny yang menyadari kedatangan sang kakak langsung mengerutkan keningnya penasaran. Terlebih lelaki itu jarang sekali membawa tas tanpa berisikan sesuatu yang penting. “Bang, bawa tas juga? Mau ngapain?” tanya Jenny menyuarakan rasa penasarannya yang tidak terbendung, terlebih pada kakak keduanya yang terlihat sedikit aneh. “Gue mau nengok Bang Bian sekaligus ngisi shift di sana selama empat jam. Jadi, mau enggak mau harus bawa jas, ‘kan?” jawab Fajrian memperlihatkan tas kerjanya dengan santai, kemudian meraih pergelangan tangan sang adik dan membawanya masuk. “Ayo, langsung masuk aja! Jangan kelamaan di luar, nanti malah jadi ngerepotin petugas parkir karena keberadaan kita di sini.” Dengan patuh, Jenny pun mengikuti setiap langkah kaki sang kakak keduanya yang mulai membuka pintu kaca transparan menuju lorong bernuansa serba putih tanpa ada satu barang pun di sana. Semuanya terasa hampa dengan langkah kaki mereka berdua menggema. Selama beberapa saat melangkah, keduanya menaiki elevator yang berada tepat di ujung lorong. Sayang sekali kegiatan di gedung atas terlihat sibuk sampai benda berbahan logam ringan itu berhenti beberapa kali sepanjang lantai yang dilaluinya, sebelum berhenti tepat di hadapan Fajrian dan Jenny. “Bang, sedari tadi lo habis dari mana? Gue tanya sama Bang Bian lagi ngurus rumah sakit yang di Bogor,” tanya Jenny membuka percakapan selama beberapa saat hening di dalam elevator. Fajrian menoleh dengan tersenyum lebar, lalu menjawab, “Lo ‘kan tahu selama ini gue selalu ngambil pimpinan di rumah sakit Bogor. Jelas gue tadi ada di sana. Memangnya kenapa?” “Sebenarnya enggak apa-apa juga.” Jenny menggeleng beberapa kali, sebelum akhirnya gadis itu menatap sang kakak keduanya penuh. “Tapi, jangan mendadak juga, Bang. Setidaknya lo harus ngabarin Yuni dulu kalau mau pergi. Apalagi lo kemarin ngasih perhatian lebih sama dia. Jangan sampai lo berakhir seperti Delvin. Udah disukai malah ditolak. Sekarang giliran nyesel, mau ajak damai jadi canggung.” “Memangnya Yuni pernah suka sama Delvin?” tanya Fajrian terlihat penasaran sekaligus terkejut menyadari banyak hal yang belum dirinya tahu selama pergi lima tahun penuh. Apalagi hubungan Yuni dengan orang-orang tidak terduga, seperti sahabatnya. “Udah lama juga, Bang,” jawab Jenny tertawa pelan. “Tapi ..., you know-lah kalau kecanggungan itu pasti berasal dari hati yang kecewa. Jadi, bisa dibilang hubungan mereka sekarang serba salah. Yuni ngerasa udah enggak ada harapan sejak ditolak, sedangkan Delvin masih kurang nyaman pas tahu hatinya ternyata memiliki Yuni.” Mendengar hal tersebut, Fajrian tidak bisa menutupi keterkejutannya sekaligus nyaris tidak mempercayai saingannya termasuk dari sahabat Jenny sendiri. Membuat lelaki itu merasakan hal yang sama untuk meresmikan hubungan sekedar lebih dari teman. Saat mereka berdua hendak memperpanjang percakapan, sayang sekali pintu elevator terbuka memperlihatkan dua orang pengunjung rumah sakit membuat Fajrian dan Jenny memilih untuk diam. Selebihnya kakak beradik itu hanya menatap ke atas layar digital yang memperlihatkan nomor lantai keberadaan mereka. Tepat keluar dari elevator meninggalkan beberapa pengunjung rumah sakit lainnya, Jenny tampak mengembuskan napas lega. Gadis itu menoleh ke arah sang kakak keduanya yang tersenyum lebar memperhatikan raut wajah dirinya menunjukkan kelegaan. “Kenapa, Bang? Malah ketawa ngelihatin gue,” tanya Jenny sedikit protes melihat sang kakak yang begitu menyebalkan. Fajrian menyingkirkan sejumput rambut sang adik yang mulai turun dari ikatannya sembari menjawab, “Wajah lo lucu banget pas di dalam tadi. Ngerasa tertekan padahal lagi enggak ngapa-ngapain.” *** “Nona Bel, siapa yang tadi mengajakmu berbincang tadi?” Max terlihat menaruh cup coffee berukuran medium dengan berisikan topping ice cream float rasa cokelat hingga luber memenuhi gelas bagian luar. Membuat Bel langsung mengambil minuman kesukaannya dan mulai menyedot beberapa saat hingga menangkap bola bubble berwarna hitam yang begitu kenyal. “Dia lelaki yang pernah aku ceritakan dulu,” jawab Bel berusaha terlihat acuh tak acuh, agar Max tidak berniat untuk memberi tahu sang ayah. Meskipun lelaki itu telah menjadi pengawal pribadinya sejak lama, tetapi tetap saja urusan kesetiaan tidak akan pernah sebanding dengan kepatuhan Max terhadap Adsila dalam penjagaan Bel. “Bukankah dia kakak pertama dari Jenny?” tanya Max mengernyitkan keningnya penasaran. “Mengapa Nona Bel memiliki hubungan dengan dia?” Bel menghela napas kasar, lalu menjawab, “Sudah aku bilang tidak ada hubungannya! Aku mengenal Debian akibat kita berdua pernah berada di Amerika dan saling berkenalan sebelum mengetahui satu sama lain.” “Maafkan aku, Nona Bel,” sesal Max merasa bersalah. “Sebenarnya bukan karena aku ingin melapor pada Tuan. Hanya saja aku merasa penasaran dengan hubungan Nona. Lagi pula selama ini Nona hampir tidak pernah berada di Indonesia.” Bel mengangguk singkat secara perlahan bangkit dari tempat duduknya, kemudian menekan sedikit baku Max agar lelaki itu tetap duduk di tempat. Lain halnya dengan seorang wanita cantik bercelana pendek, ia sudah berganti pakaian tepat sampai di rumahnya. Sejenak wanita cantik dengan rambut dikepang rapi menyamping sebelah kiri itu memperhatikan jendela besar bagian samping rumah miliknya yang memperlihatkan beberapa mobil box pengiriman mulai berbaris masuk. Ia sesekali menikmati minumannya yang hanya bisa dikonsumsi sebanyak empat kali dalam satu bulan. “Apakah pengirimannya lancar?” tanya Bel membalikkan tubuh dengan menatap serius. “Jangan sampai pergerakan kita terbaca oleh polisi. Karena aku akan sangat membenci siapa pun yang telah mengacak-acak isi rumahku.” Ancaman yang dilontarkan oleh Bel dengan serius diam-diam membuat Max merasa sedikit takut. Sebab, semudah apa pun sikap wanita itu untuk dibohongi, tetap saja Bel mengalir kental darah ayahnya yang begitu kejam. Sehingga tidak menutup kemungkinan didikan keras lelaki itu akan tetap mempengaruhi setiap tindakan yang dilakukan oleh Bel. “Tenang saja, Nona. Semua truk box yang keluar terlihat seperti mobil pendingin pengiriman makanan beku, jadi tidak ada yang akan mencurigainya datang dan pergi dalam waktu bersamaan,” balas Max bangkit dari tempat duduk. “Baiklah, kamu awasi lagi semua karyawan di sana jangan sampai ada kesalahan. Aku ingin berada di sini tanpa gangguan siapa pun.” Bel kembali menatap ke arah jendela besar yang berada di ruang kerjanya membuat Max mengangguk patuh, kemudian lelaki itu melenggang keluar meninggalkan anak majikannya yang selama ini telah dijaga dari kecil hingga beranjak dewasa dan nyaris menikah. Sayangnya Bel membatalkan pertunangan akibat calon suaminya ternyata berselingkuh membuat sang ayah langsung membuat perhitungan dengan memenggal seluruh kepala keluarga dari pihak calon suaminya tanpa ampun. Jelas saja tindakan itu sama sekali tidak memberikan efek bagi Bel, karena memang pada awalnya ia tidak pernah mengiakan perintaan sang ayah. Karena semua gerak-gerik calon suaminya dapat dilihat jelas hanya menginginkan harta keluarganya saja. Membuat lelaki itu harus membayar penuh terhadap kemauannya sendiri tanpa berpikir panjang. Sepeninggalnya Max yang memberikan ruang untuk Bel bernapas tanpa cemas, akhirnya wanita itu kembali mendudukkan diri di meja kerja tanpa merasa khawatir. Ketika wanita itu meminta waktu sendirian, maka tidak ada yang berani mendekat, kecuali Bel telah membuka pintu ruang kerjanya hanya untuk sekedar memberikan kode bahwa wanita itu sudah merasa lebih baik. Kini suasana hati Bel sedikit tidak beraturan sejak dirinya bertemu dengan Debian tanpa sengaja di rumah sakit. Untung saja lelaki itu tidak mempertanyakan status Max yang berdiri di sampingnya hendak memberikan serangan, tetapi diurungkan ketika Bel lebih dulu memberikan sikap ketus pada lelaki tersebut. “Andai saja kita berdua ditakdirkan tanpa menjadi musuh, Bian. Mungkin gue bakalan menjadi orang yang paling bahagia di dunia ini,” gumam Bel tersenyum getir. “Memang orang yang diyakini bisa dijadikan sebagai kekasih bukan berarti benar-benar menjadi seperti keinginan. Nyatanya ada beberapa hal di luar kendali yang malah menyakiti diri sendiri.” Tanpa sadar ponsel pribadi milik Bel yang berada di dalam kotak bergetar pelan memperlihatkan sebuah nomor tanpa nama, tetapi sayangnya pemilik benda pipih tersebut tampak menyandarkan tubuh dengan tenang. Bahkan wanita itu tampak tidak mengalihkan perhatiannya sama sekali dari pikiran yang menggelut tanpa permisi. Memang apa yang dilakukan oleh Bel sangat bertentangan dengan keinginan sang ayah, meskipun wanita itu hanya berniat untuk menjalin asmara dengan seorang lelaki seperti Debian. Bukan karena lelaki itu berasal dari keluarga dengan reputasi yang baik, melainkan pekerjaan rahasia Debian membahayakan bisnis keluarganya. Membuat Bel sangat ditentang untuk memiliki hubungan bersama Debian. Selama beberapa saat memejamkan mata tanpa melakukan apa pun, akhirnya Bel pun bangkit dari tempat duduk. Wanita cantik itu tampak membuka salah satu lemari pajangan yang berada di dalam ruangan. Ia mengambil salah satu kotak musik dengan pajangan bergambar dirinya ketika masih kecil mengikuti beberapa les balet hasil didikan sang ayah. Wanita itu tampak mengeluarkan secarik kertas yang tersimpan beberapa lama di sana membuat Bel mengembuskan napas lega, kemudian menaruhnya kembali agar tetap terjaga tanpa diketahui oleh siapa pun. Namun, Bel yang sudah lama tidak menyentuh ponsel pribadinya pun mulai mengambil benda pipih tersebut dari dalam brangkas rahasia. Hanya memasukkan kode melalui sidik jari milik Bel yang sudah dibuat secara khusus. Sehingga benda tersebut tidak akan bisa dibobol oleh siapa pun, kecuali atas permintaannya sendiri untuk dibuka. Bel menatap nomor ponsel yang masih diingat di luar kepala. Wanita itu termenung menatap tanpa menggeser layar sama sekali. Membuat nomor tersebut kembali menghubungi dirinya, tetapi kali ini Bel tidak bisa menahan diri untuk tetap membiarkan menyala tanpa jawaban sama sekali. Wanita itu memegang benda pipih di tangan kirinya dengan menatap lamat-lamat. Bel secara perlahan mulai menggeser ikon telepon berwarna hijau tersebut membuat panggilan mereka tersambung selama satu detik. “Halo, Bel!” sapa seorang lelaki di seberang sana yang terdengar serak basah sekaligus berat. Bel tanpa sadar menitikkan air matanya kembali. Ia menangis dalam diam dengan tatapan matanya tetap datar. “Halo, Bel! Ini kamu, ‘kan?” ucap Debian berusaha memastikan. Lagi-lagi wanita itu tidak menjawab. “Oke, aku mau kamu dengarkan semua perkataan ini,” tukas Debian terdengar serius. Namun, Bel langsung tersadar akan tindakannya sendiri. “Jangan, Bian. Kita berdua sudah tidak ada apapun yang perlu dipertahankan. Masa lalu akan tetap menjadi kenangan.” “Tapi, Bel, kita bisa mengubah semuanya!” balas Debian terdengar begitu yakin membuat Bel mendadak tertawa geli sampai lelaki itu terdiam dengan wajah mematung tidak percaya. “Jangan bercanda!” Bel mendesis sinis. “Hubungan kita berdua memang sudah kandas sejak kamu berselingkuh, Bian. Harapan untuk kembali hanyalah semu. Kita memiliki jalan lain untuk saling berjuang, jangan pernah bermimpi hubungan ini akan tetap berlanjut. Karena cerita tentang kita sudah berakhir. Terimalah dengan lapang d**a tanpa merasa kecewa, itu hanya akan menyakiti perasaanmu saja.” “Tapi, Bel ....” “Ini perkataan terakhirku untukmu, Bian.” Bel menghela napas sesak di relung hatinya. “Jangan pernah bersikap seolah mengenalku, kita hanya akan menjadi orang asing di luar. Karena ketika kita berdua bertemu lagi, tidak akan ada perdamaian yang terjadi. Sekali menjadi musuh, maka akan tetap menjadi musuh.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN