Sekeras apapun hati manusia, akan ada waktu untuk bisa berubah, Tari mengembuskan napasnya sekali lagi. Untuk yang satu ini ia tak yakin apakah bisa membuat hati ayahnya lebih melunak padanya.
Ibu jelas ada dalam genggamannya, namun ayah, pria itu tak pernah sekalipun melarangnya, marah, memaki kecuali beberapa jam yang lalu sebelum akhirnya ia melarikan diri ke luar.
Duduk bego di taman tanpa tahu harus berbuat apa selain melamunkan kisah cintanya dengan Arya. Bagaimanapun juga ia sudah lama menginginkan bersama dengan pria itu.
Padahal sudah banyak purnama dihabiskan Tari untuk berhenti mencintai, namun tetap saja rasa itu tumbuh di ujung hati, ia pernah berpacaran dengan Ahim dan berujung disakiti. Hal itu membuat Tari kembali mengingat, kisah cintanya mungkin ditakdirkan serumit itu.
Ia mencintai Arya, namun selalu ada saja batu sandungan yang membuat mereka tak kunjung bisa bersama. Nggak perlu memikirkan Abimanyu, karena sejak awal dipertemukan, Tari sudah tidak ingin bersama pria itu.
Ia tak pernah bisa membuka hati apalagi pada pria yang bahkan tak pernah tahu apakah ia dicintai atau hanya untuk disakiti, dipermainkan?
Bagi Tari semua cowok sama saja setelah ia kehilangan Arya dan disakiti Ahim. Lalu, menyerahkan diri pada Abi yang sejak dahulu menjadikannya sebagai bahan candaan?
Come on, apa mungkin pernikahan mereka juga bakal jadi candaan?
"Minum dulu, biar kamu tenang." Arya mengulurkan satu cup coklat panas di hadapan gadis itu.
Tari menerimanya, pria itu duduk di samping Tari, melepas jaketnya lalu melingkupi Tari dengan jaket tersebut. Belum cukup, Arya melingkarkan lengannya di sekitar pundak Tari.
Tari melirik, terdiam tak berkomentar atas satu perlakuan Arya malam itu. "Dingin, jadi biar kamu anget. Kamu juga belom makan, kan tadi?"
Tari menganggukkan kepalanya saat Arya ikut menyuapkan sepotong bakso bakar ke mulutnya.
"Ayah kamu bakal marah kalo tau anaknya malah berduaan dengan cowok yang dibencinya, Tar," ucap Arya sembari menatap langit.
Tari mendongak, menatap mata Arya yang tajam namun bersorot lembut. Pria itu tak pernah berubah, sejak dahulu sampai sekarang selalu menyalahkan dirinya atas berbagai hal yang menimpa pada Tari.
Termasuk kali ini, saat Tari mengirimkan pesan, 30 menit kemudian, Arya betulan datang ke taman meski wajahnya tampak lelah sekali.
"Ar," panggil Tari menggenggam tangan pria itu, merasakan hangat melingkupi tubuhnya sampai ke hati. "Kenapa kita harus kayak gini? Dari dulu kita ditentang banyak orang, sekarang justru terhambat dengan ayahku."
Arya menundukkan kepalanya, menatap mata Tari yang berpendar di malam hari. "Dulu aku pernah ninggalin kamu karena nggak tau harus melindungi kamu dengan apa, Tar. Sekarang, aku bisa melindungi kamu dengan tanggung jawab yang nggak bakal bikin mereka kecewa."
"Kalo masih berkeras ingin menjodohkanmu, aku akan seratus kali lebih keras memperjuangkanmu. Itu janjiku."
Tari meremang, untuk sebuah kalimat manis yang nggak pernah didengarnya dari pria lain, ia menemukan sesuatu yang membuatnya ingin melayang.
Kalau boleh, ia ingin meminta waktu berhenti dan bersama Arya dalam kenyamanan yang membuatnya lupa akan pelik hidup ini.
"Aku pengen ikut kamu pulang, Ar," rengek Tari. Mata Arya melotot. Ikut pulang bersamanya?
Bukan. Bukan masalah besar jika hanya membawa Tari pulang, tapi akan memperbesar masalah saat ia memulangkan Tari ke rumahnya.
"Ayah kamu bakal marah besar kalo sampe tau aku yang ngajak kamu pulang ke rumahku Tar." Pria itu mengusap pelan rambut gadisnya, lalu menimang kepala Tari pelan. "Kita udah ketemu itu cukup untuk saat ini."
Iya, cukup bertemu Arya, namun bagaimana ia bisa bertemu lagi kalau setiap harinya mereka hanya berkomunikasi lewat maya?
Betapa susahnya menjalani hubungan jarak jauh seperti ini. Bukankah semua cowok yang dekat dengannya juga satu kota dengan Arya? Jelas. Tapi, terkhusus Abimanyu— anak Sultan itu bahkan lebih dari cukup untuk membeli satu rumah di kompleks seberang Tari.
Tidak mungkin ia meminta Arya untuk membeli satu rumah di kotanya agar mereka bisa bertemu? Sangat mustahil.
"Terus sekarang kamu pengen pulang gitu?" tanya Tari melihat Arya yang kelihatan tenang menghadapi situasi ini.
Arya menggeleng. "Kalo kamu masih pengen sama aku, Tar, aku bakal nemenin kamu sampe kamu tidur. Tapi, jangan di sini, kita ke rumah Lesti aja ya?"
"Ayah bakal tau kalo aku pergi dari rumah, dan rumah pertama yang dituju pasti milik Lesti, aku nggak mau pulang dulu, Ar," rengek gadis itu lagi.
Baiklah, untuk malam ini, ditengah bulan sabit dan satu bintang yang bersinar di atas mereka, sementara angin berembus gila-gilaan, dan Tari kedinginan. Arya memeluk gadis itu kuat, hanya untuk melawan angin yang mungkin bisa membuat Tari sakit keesokan paginya, meski sudah berada di gazebo yang tertutup, tetap saja semilir itu menyusup dari celah kayu.
"Aku bakal nemenin kamu, kamu nggak usah takut, tidur aja ya cantik," kata Arya sembari meletakkan kepala Tari di pangkuannya, membelai gadis itu, lalu menggenggam erat kedua tangan Tari dalam satu genggaman hangat tangannya.
Tak ada yang boleh menyakiti Tari-nya, sejak dahulu ia gila-gilaan mencari Tari yang menghilang. Seolah ditelan bumi, semua akun, nomor gadis itu mendadak hilang. Ia kehilangan sebagian dari dirinya, bahkan kehadiran perempuan yang sempat dekat dengannya tak bisa menggantikan sosok Tari.
Gadis itu sudah mengikat erat hati Arya tanpa ampun, bahkan untuk melupakan saja ia butuh tidur beberapa jam agar bisa terlelap dalam mimpinya dan melepas sejenak otaknya dari memikirkan Tari.
Lalu, bertemu dengan gadis ini di saat semua keputus asaan menyergapnya adalah anugerah Tuhan, ia mulai percaya bahwa takdir jodoh itu ada.
Meski harus ditentang, ia tak akan surut membawa Tari dalam penjagaannya.
"Kalo aku harus bertarung buat dapetin kamu, Tar, bakal aku lakuin. Apapun itu agar kita bisa bersama seperti semua rencana kita sejak dulu," bisik Arya pada gadis itu.
Mata Tari terpejam tenang, sementara Arya mengamati dengan cermat, wajah gadis itu dalam pangkuannya. Sudah berapa banyak rencana saat mereka bersama nanti.
"Kamu bilang, kalo lagi sedih harus dipeluk, dijaga, dan dicium," kekeh Arya begitu menyelesaikan kalimatnya. "Sekarang, aku pengen banget kali nyium kamu, tapi kayaknya enggak. Aku harus nahan buat nggak lepas kendali di depan kamu."
Wajah teduh Tari berubah saat Arya melihat senyum gadis itu terulas tiba-tiba. Arya terkejut, lebih terkejut lagi saat dua lengan Tari sudah melingkar di belakang tengkuknya, menarik kepala Arya cepat.
Gadis itu memagut cepat bibir Arya di depannya. "Kamu nggak lupa soal itu tapi kenapa malah nahan kayak gini?" bisik Tari serak.
Arya menjauhkan kepalanya, menatap gemas pada Tari yang pura-pura tidur di pangkuannya. "Setelah aku pikir-pikir, kayaknya nggak cocok banget waktu sedih malah ciuman kayak tadi," komentar Arya membuat Tari cemberut.
Tari mengerucutkan bibirnya. "Sekarang udah alim nih, nggak mau ngasih ciuman, dulu aja tiap ketemu nyosor mulu."
Arya tertawa renyah, Tari ikut senyum mendengar tawa milik pria itu. "Aku cuma ngasih kamu waktu biar kita bisa balik kayak dulu lagi, mengingat sekarang kamu takut sama cowok kayaknya nggak baik kalo tiba-tiba aku nyium tapi kamu nabok."
Tari tertawa keras. Gadis itu melingkarkan tangannya di tengkuk Arya, menatap pria itu dengan gemas. "Kenapa aku harus takut sama kamu, Ar?"
Arya menganggukkan kepalanya, kini menatap Tari yang sejak tadi sudah menggodanya, mengusap bibir bawahnya yang masih basah setelah ciuman itu. Arya merapatkan wajah mereka. "Kalo satu ciuman bisa bikin kamu lupa sama masalah ini, aku bakalan lakuin. Tapi, janji jangan sedih lagi."
Tari mengacungkan jempolnya. Arya tersenyum melihat cara gadis itu melupakan kesedihannya. Benar-benar tidak seperti gadis lain yang memilih tangis lalu tiduran di kamar.
"Kamu yang minta, Tar, jadi aku nggak segan lagi buat ngelakuin hal ini," bisik Arya serak. Dan penyatuan bibir itu dimulai.
Saat Arya membalikkan tubuhnya, menjatuhkan Tari dari pangkuannya, lalu mencium gadis itu sama berhasratnya. Tari menutup matanya saat bibir Arya memagutnya berulang kali.
Tari membuang kepalanya ke samping, kehabisan napas saat Arya mengelap bibirnya. "Sudah pacaran sama orang lain tapi masih belum bisa cara ciuman yang bener," kekeh pria itu membuat Tari mencebik.
Jangankan untuk ciuman, saat bersama Ahim saja ia tak tahu momen romantis apa yang pernah ia lalui dengan pria itu selain dibuat menunggu dan menangis.
"Aku nggak pernah ciuman."
Mata Arya melotot. Nggak pernah ciuman? Well, maksudnya ini Tari loh, cewek yang akhirnya bisa mencintai Arya seganas itu namun tak pernah bisa deket dengan cowok manapun selain mereka yang lembut dengan Tari.
Sedangkan, Ahim, selama tiga tahun berpacaran dengan Tari belum pernah mencicipi bibir gadis itu? Pria itu beneran menjaga Tari atau justru karena ia tak pernah suka sama Tari?
"Ahim nggak pernah suka sama aku. Bangsatnya, dia malah ciuman di belakangku dengan cewek lain." Ucapan Tari seperti menjawab kebingungan Arya, gadis itu menoleh, "dia pacaran cuma buat pamerin aku doang ke temennya, katanya aku cantik."
Arya mengepalkan kedua lengannya di sisi tubuh. "Cowok bangsad kayak gitu kenapa dulu kamu terima coba?"
Tari menoleh. "Kalo dari awal tau dia bangsad juga nggak bakalan aku nerima dia, lagipula dia pinter, bisnisnya banyak. Cowok sering banget mainin perasaan cewek karena dia merasa punya segalanya buat dapetin cewek."
"Tapi, aku nggak bakalan mainin perasaan kamu, Tar."
Bukan! Itu bukan suara Arya, karena suara bariton itu Tari kenal jelas milik seseorang, spontan mereka menolehkan kepalanya bersama. Menemukan Abi berdiri melipat kedua tangannya di depan gazebo.
Arya terkejut mendapati Abimanyu. Sementara pria itu justru melambaikan tangannya. "Hai, Ar, long time no see padahal kita satu kota, yeah?"
Tari meneguk salivanya dengan susah payah. Ia tak ingin pulang apalagi bersama Abi, sementara itu Arya menolehkan kepalanya, meminta jawaban atas kedatangan Abi.
"Oh, Tari belom cerita ke kamu kalo aku tunangannya?" sahut Abu membuat alis Arya semakin tertarik ke atas.
Gadis itu mengangguk pada Arya. "Dia yang bakal dijodohin sama aku, Ar. Aku nggak mau," rengek Tari membuat Arya mengembuskan napas.
Arya bangkit, keluar dari gazebo lalu berdiri di depan Abi, menjulangkan tubuhnya yang lebih tinggi dari Abi untuk menguatkan posisinya dalam menjaga Tari.
"Nggak peduli siapa yang bakal dijodohin sama Tari, nggak liat dia takut banget liat kamu dateng kayak gini?" Arya mendengkus. Menatap mata Abi dalam, tajam, dan menusuk.
Pria itu memberikan fokus matanya pada Abi tanpa berkedip sekalipun. "Jangankan kamu, kalo pun ayah Tari yang ngelarang aku, bakal aku perjuangkan gadis itu habis-habisan sampe mereka nggak punya pilihan selain menyerahkan Tari dalam penjagaanku," desis Arya membuat Abi sedikit kehilangan kekuatan kakinya dalam mempertahankan diri di depan Arya.
Pria itu tak pernah terintimidasi oleh apapun, namun bertemu Arya malam ini jelas.menjadi kejutan baginya. "Tari disuruh pulang, nggak mungkin itu sama elo, kan?" tanya Abi akhirnya, cowok itu memilih menahan emosi untuk baku hantam di sini barengan Arya mengingat tugas yang diberikan ayah Tari adalah mencari keberadaan gadis itu.
Arya menoleh, melihat Tari memeluk kedua lututnya dan menunduk enggan menatap perdebatan dua cowok di depannya. Arya menghampiri gadis itu, lalu menyentuh kecil lutut Tari.
"Udah larut, kamu pulang bareng Abi ya?"
Tari menggeleng. "Nggak! Aku nggak mau pulang barengan dia," tolak Tari tegas, gadis itu melotot pada Abi seolah menyuruh pria itu mundur dari tempatnya atau sekalian pergi dari sana. "Aku pengen kamu yang nganterin."
"Ayah kamu bakal marah kalo tau kamu sama aku, Tar," bujuk Arya sekali lagi.
Namun, gadis itu tetap keras kepala menolak Arya. Ini memang Tari banget, keras kepala, tidak mudah dibujuk, dan sifatnya ini jelas membuat Tari bisa mendapatkan banyak bahaya termasuk saat ini.
Abi ikut mendekat, melongokkan kepalanya ke dalam gazebo, melihat Tari yang bersikeras menatap Arya dengan permohonan. "Aku nggak pengen pulang bareng Abi. Titik!"
Cowok itu tertegun. Bahkan belum ia merayu Tari, gadis itu sudah menolak lebih awal, sedikitpun tak digubrisnya kedatangan Abi yang ada di sana.
Abi melirikkan matanya pada Arya. Ada sesuatu yang jelas menyakitinya lebih saat melihat Tari lebih memilih Arya, namun kali ini, gadis itu harus pulang lebih dulu, kesehatannya lebih penting dari apapun.
"Bawa dia pulang."
Dan Arya nggak akan pernah tahu bagaimana keadaan rumah Tari, seperti apa kebencian seorang Soedjatmiko padanya, bagi Arya semua itu semu kala melihat Tari akhirnya memeluk tubuh Arya sepanjang perjalanan.
Sementara Abi mengekori mereka dari belakang.
Arya mengusap lengan Tari yang melingkar di pinggangnya. "Sepulang ini harus cepet tidur, nggak usah banyakan begadang apalagi nulis, besok aja kalo pengen nulis."
Tari mengangguk.
Kalau boleh jujur, perjalanan sepuluh menit menuju rumahnya ini terlalu cepat, bahkan terasa seperti lesatan angin yang tiba-tiba saja membawa Tari kembali pada sangkar emasnya.
Arya menoleh, celingukan saat menemukan ayah Tari justru tengah menyiram tanaman di malam buta seperti ini. Begitu melihat Tari pulang, pria itu datang tergopoh-gopoh, menatap Tari sejenak lalu kembali menatap Arya.
"Cepat masuk ke dalam!" seru Hendra galak. Tari melepas jaket Arya lalu memberikan pada pria itu.
"Thanks ya, Ar, kamu cepet balik ya, udah malem." Tari mengulurkan jaket itu sementara tangan Tari diam-diam mengusap punggung tangan Arya.
Cowok itu mengangguk. "Langsung tidur, gih."
Gadis itu berbalik, menolak jaket yang diberikan Abi sementara pria itu masih mengekor di belakang Tari.
Suasana mendadak mencekam saat Hendra Soedjatmiko menatap Arya dari atas ke bawah. "Siapa nama kamu, le?"
"Saya Arya Wijaya, Om," jawab Arya santun.
Seperti tersengat listrik setelah mendengar nama Arya, Hendra langsung menyiramkan seember air ke tubuh pria itu tanpa disangka-sangka.
"Lanangan kere! Kamu nggak perlu berharap sama Tari. Sudah ada Abi yang bakal jadi mantuku!"
***
Ratih mendesah khawatir, gadis itu mengulurkan handuk pada Arya begitu melihat pria itu pulang dengan badan basah, tangannya sedingin es.
"Kamu tuh disiram air segentong apa gimana sampe nggak kering di perjalanan?" omel Ratih masih tak bisa menyembunyikan khawatirnya.
Ibu Arya sudah tidur, sementara Ratih memang rumahnya pas banget di samping Arya, gadis itu menunggu kedatangan Arya bersama ayah pria itu.
"Mbok ya, kalo sudah nggak direstui kayak gitu jangan maksa bersama?" Ratih kembali lagi dengan satu teh jahe hangat untuk pria itu.
Arya menggeleng, ia membuka kaosnya lalu menyugar rambutnya, Ratih terpana sejenak sebelum mata Arya menatap Ratih tajam.
"Jangan nyuruh aku mundur padahal aku belom berjuang, dan aku nggak bakalan mundur sebelum Tari yang bilang," tandas Arya final.
Pria itu masuk untuk ganti baju. Sementara Ratih terdiam, ayah duduk di samping gadis itu dengan tenang.
"Kamu Ndak pulang, Rat?" tanya Ayah.
Ratih tersenyum. "Arya belum makan, biar Ratih masakin bentar, Yah."
Ratih bukan orang asing dalam keluarga Arya, itu memudahkan gadis itu untuk datang kapan saja, berbuat apa saja. Dan semua keluarga memang sudah paham dengan siapa gadis itu.
"Ayah cuma mau bilang sesuatu, Rat. Dewi Lakshmi itu dewi agung, kekuatannya adalah welas asih, kasih sayangnya, dia dewi cinta yang bisa menggaet siapapun yang dikehendaki. Sedangkan Wijaya Kusuma adalah salah satu simbol dari diri Lakshmi, setiap kedatangan Lakshmi tak lupa Wijaya Kusuma selalu dibawa," ucap Arya membuat Ratih semakin terdiam mendengar kata penuh makna tersirat itu.
"Kamu berjuang keras buat melepaskan Arya dari Lakshmi-nya, padahal takdir membuat mereka selalu bersama. Jadi, pahami dulu kisah ini."
***