12. Bersama, Bukan Bersatu

1261 Kata
Kemarahan Tari rupanya tidak sehari dua hari, biasanya nggak bakal separah ini, cukup sehari maka gadis itu akan mood gadis itu akan pulih. Hendra merasakan kekalutan yang amat saat anak gadisnya itu tak ikut makan bersama mereka, mogok bicara, dan parahnya tidak ingin keluar kamar. Sudah tiga hari, namun setiap berpapasan dengan Hendra ataupun Humaira, tak sepatah kata pun keluar dari mulut Tari. Masalahnya, tak ada seorang pun yang berani menyentuh Tari jika sudah seperti ini, marahnya Tari memang seperti itu sejak dulu, diamnya adalah bentuk dari kemarahannya, tidak peduli, dan bertindak sendiri. Gadis itu hanya menginginkan beberapa orang untuk membantunya, selebihnya ia tak peduli pada manusi-manusia di rumahnya sana. "Sarapan dulu, Tar." Nilam yang paling dekat dan tak memiliki batasan apapun, Hendra tak keberatan dengan kedekatan dan kebebasan seorang Nilam di rumahnya meski ia adalah anak pembantu. Baginya, Nilam adalah pengantar pesan untuk Hendra disaat genting seperti Tari ngambek seperti ini. "Taruh aja dulu di situ, Mbak, ntar aku makan." Nilam meletakkan nampannya di atas meja kecil, sementara Tari terlihat serius dengan laptop di depannya. Gadis itu tampak tak terganggu dengan keberadaan Nilam yang masih saja berdiri di belakangnya. Seolah ingin menyampaikan sesuatu namun segan karena Tari masih saja menulis. Gadis itu menatap lewat ekor matanya, melihat kesepuluh jemari Nilam saling bertaut sementara mulu gadis itu terkunci rapat seolah ketakutan berbicara. Tari menghela napas panjang. "Ada apa?" Nilam mengulas senyum lebar, senang akhirnya Tari menoleh dulu dan bertanya, karena jelas banget Nilam tengah kebingungan harus berbicara dari mana jika tiba-tiba ia meminta Tari untuk menemui ayahnya. "Kamu nggak bosen apa, Tar, di kamar mulu. Liatin laptop terus?" Tari langsung melengak, mencureng pada Nilam yang sudah jelas pasti lagi ada maunya, karena nggak mungkin gadis itu tiba-tiba banget ngomong kayak gitu sama Tari, gadis itu tahu banget kalau Nilam juga mendukung hobi menulis Tari. Salah satu pembaca berat n****+-n****+ Tari dan berkomentar seperti tadi kayaknya Nilam lagi ngajak ribut sama Tari yang sudah ribut sejak kemarin. "Jadi, ayah nyuruh kamu ngapain? Nggak mungkin, kan nganter sarapan doang?" selidik Tari membuat Nilam nyengir lebar. Nilam ikut duduk di kasur Tari, melihat tulisan gadis itu dengan saksama lalu menatap gadis itu lekat-lekat. "Ayah kamu pengen bicara, Tar, abis sarapan langsung ke galeri Soedjatmiko aja, kamu udah ditunggu sama Ayah," pesan Nilam sembari membelai rambut Tari. Salah satu trik yang kerap digunakan oleh Tari adalah mendekat dengan halus dan membuat gadis itu jinak dengan kelembutan, Tari tuh mirip kucing. Harus diperlakukan lembut maka ia akan membalasnya dengan lembut. "Setelah gagal memaksaku menikah dengan Abi apa sekarang dia juga maksa biar aku bisa melukis?" sarkas gadis itu. Nilam menipiskan bibirnya, ini memang Tari banget. Gadis itu adalah pribadi yang nggak suka jika semuanya diatur dan ia nggak akan segan marah sekalipun pada ayahnya jika tahu pemaksaan itu nggak baik. Dari jawabannya, ia masih enggan menemui ayahnya yang hampir saja berhasil membuatnya bertunangan dengan Abimanyu. "Temui dulu deh, Tar. Kayaknya nggak baik buat orangtua menunggu, apalagi ayah kamu keliatan banget sedihnya," bujuk Nilam sekali lagi. Tari menghela napas panjang, menutup laptopnya dengan sekali hentakan cukup keras lalu melihat sepiring nasi kuning kesukaannya bertabur dengan abon dan berbagai lauk. Ia tahu Nilam sudah bersusah payah membujuknya, sebenarnya di sini yang banyak berkorban jelas Nilam, bukan ayahnya, apalagi ibunya. Jelas banget Nilam adalah pesuruh yang melakukan banyak inisiatif untuk membujuknya. Hanya Nilam dan ibu yang tahu kesukaan Tari adalah nasi kuning dengan abon. Lalu segelas s**u jahe yang disajikan di pagi hari saat gadis itu masih sibuk menulis. Jelas, justru yang banyak tahu kesukaannya, hobinya adalah Nilam. Bukan orangtuanya, jangankan untuk tahu makanan favoritnya, ayahnya justru benci banget sama satu hobi Tari. Menulis! Bila Ibunya pandai dalam bidang menari, ayah pandai dalam perwayangan, menjadi dalang, pelukis, pemahat, dan membatik kain, maka Tari hanya mewarisi dari sekian banyak keterampilan ayahnya. Hanya menulis yang ia bisa, itu pun dilarang keras. Perempuan selain membatik maka menari. Pemikiran kuno dari mana yang mengharuskan seperti itu, sungguh menyebalkan. "Turun aja dulu, aku bakal nemuin ayah." Akhirnya kata itu lah yang mengakhiri perjuangan Nilam dengan sukses, setidaknya Nilam tidak diamuk oleh Hendra itu cukup, jangan sampai Tari membuat luka di bagian tubuh pembantunya itu. *** Yang dinamakan galeri Soedjatmiko isinya bukan cuma lukisan, ada set gamelan, wayang kulit dari berbagai tokoh, dewa sampai buta. Dari yang terlihat, galeri itu dominan dengan wayang-wayang koleksi ayah. Tari bahkan sampai hafal betul, nama dan letak wayang yang tak pernah berganti dari ia kecil. Sementara itu, Tari melihat ayah tengah duduk di pojok ruangan, menatap deretan wayang dengan mengelus dagunya. Begitu melihat Tari datang, ayah langsung mengambil dua tokoh wayang di sana. "Duduk sini, Tar di samping ayah, dengerin cerita ayah sebentar sebelum nanti malam tampil," pinta ayah sembari menepuk space kosong di samping pria tua itu. Tari duduk dengan ogah-ogahan, menatap kebingungan pada ayahnya yang justru mengibaskan dua tokoh wayang yang amat dikenalnya. Ayah menoleh sekilas lalu mulai menggerakkan wayang di tangan kanannya. "Yang kanan ini kamu pasti sudah kenal, ini Basudewa Krishna, Avatar ke delapan yang sempurna dan diakui semua dewa. Dikatakan Basudewa karena ia adalah dewa yang menjelma menjadi manusia di dunia," jelasnya lalu menggerakkan tangan kirinya mengangkat satu wayang lagi. "Yang ini Rukmini, tapi kali ini ayah nggak pengen bahas Rukmini, anggap saja ini Radha. Dalam Hindu, Radha dan Krishna tak terpisahkan. Radha adalah inkarnasi Lakhsmi yang paling sempurna di masanya layaknya Krishna." Hendra mendekatkan kedua wayang tersebut lalu memberikannya pada Tari. "Bagaimana pun juga, kamu adalah Radha, Tar. Yang keras kepala dan tak bisa dipahami, namun sedikit demi sedikit akan luluh pada Krishna. Kamu hanya melupakan jati dirimu sebagai seorang Dewi." Masih belum paham dengan apa yang diucapkan oleh Ayah, gadis itu hanya terdiam. Ia masih marah, tak ingin ayahnya merasa menang saat ia mengeluarkan suara nantinya. Siapa Krishna-nya? "Abimanyu adalah Dewa. Pribadinya memang menyebalkan, Tar. Tapi, kamu harus tau kalo dia bisa berubah lembut saat bersamamu. Dia sudah berulang kali datang ke sini dan minta maaf sama Ayah buat bisa nemuin kamu lagi. Dia suka sama kamu." Tari makin melengos. Kalau sudah seperti ini, namanya membujuk keras Tari buat bisa balikan sama Abimanyu. Cowok itu ternyata belum patah semangat dalam mengejar Tari, dulu mengejar Tari saja, sekarang Abi sudah cukup cerdik meminta Ayah untuk membujuknya. Gadis itu mengembalikan wayangnya pada ayah. "Tari sudah punya pacar!" jawabnya ketus. Ayah menghela napas panjang. "Pacar yang mana? Cowok yang pernah nganter kamu malam-malam itu? Lanangan yang bukan dari kalangan kita?" tanya Hendra mulai menaikkan suaranya. Tari langsung melirik sinis. "Kalo kita lahir dari kalangan orang biasa, apa Ayah masih bisa meminta banyak persyaratan menantu sempurna seperti ini? Kita jadi bangsawan, jadi ningrat juga karena kebetulan, Yah. Kebetulan karena dilahirkan di keluarga ningrat, nggak lebih." "Kamu nggak suka dengan hidup yang serba punya ini? Tapi ayah suka. Ayah bangga menjadi keturunan raja atau seorang penguasa." Tari langsung berdecak. "Kalo Tari boleh bicara, Tari nggak suka sama Abi! Tari suka sama Arya. Dia orang rendah tapi nggak merendahkan orang lain." "Itu bedanya Abi sama Arya-mu itu. Abi hidup dengan didikan keras, berperilaku lembut pada siapa saja dan keras pada siapa saja. Kamu harus tau batasan untuk itu." "Arya punya didikan keras dari orangtuanya, ia berperilaku lembut pada semuanya, baik pada seluruhnya, tapi tidak memandang sebelah mata pada orang di bawahnya." Tari bangkit, menatap Hendra yang masih menenteng kedua wayang di tangannya. Menatap sinis pada kedua wayang kulit itu seolah wayang itu lah yang semakin menambah masalah akan adanya cerita Radha Krishna. "Radha dan Krishna memang bersama, tapi nggak bisa bersatu, jadi nggak perlu susah payah buat menyatukan kita. Aku sama Abi nggak cocok, itu yang pasti." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN