Di Java Cafe aja ya, Tar. Aku jemput.
***
Kalau Tari boleh memilih ingin dilahirkan dari rahim ibu bermarga apa, maka cukup satu yang diinginkan Tari. Ia cuma ingin lahir dari keluarga yang biasa, ingin mempunyai Ibu yang bahkan tidak memaksanya untuk duduk berlutut ketika berbicara dengan ayahnya.
Atau ia juga tidak ingin lahir dengan nama belakang yang dirasa bagaikan mempunyai beban berton-ton saking beratnya marga di belakang namanya itu.
Karena dengan nama lengkap Mentari Lakshmi Soedjatmiko ini terasa berat banget pemirsa! Kalian nggak bakalan tahu kalau belum mencobanya sendiri, setiap kali ada pertemuan besar keluarga Soedjatmiko, jangankan kalian bisa lenggang kangkung dengan dress panjang yang bisa pamer belahan da-da.
Pokoknya jangan pernah sekali-kali berpikiran bahwa pertemuan keluarga, rapat intern, punya hajat besar menjadi salah satu ajang tebar pesona untuk para tamu laki-laki yang bakalan datang. Jangankan bisa tebar pesona, bisa napas lega ditengah kemben, jarik wiron (kain batik sebagai rok), dan sanggul segede kebon yang dipakai dalam acara— masih bagus kalau nggak dibilang ondel-ondel— adalah anugerah luar biasa.
Tari itu anak milenial yang terkena arus modernisasi, pengennya meskipun lahir dari keluarga ningrat, berdarah biru, setidaknya tidak terkungkung dalam peraturan aristokrat keluarganya.
Susah emang jadi keturunan bangsawan, ada banyak hal yang sebenernya ingin diprotes oleh Tari saat tahu hak-hak perempuan di keluarga mereka. Terlalu miring, timpang, nggak seimbang gitu!
Misal saja, perempuan harus manut sama suaminya. Harus tunduk, sungkem, dan tidak membangkang.
Poin kedua, perempuan berumur lebih dari 21 tahun dianggap perawan tua bila masih berstatus lajang, single. JOMBLO! Minimal itu ya sudah punya tunangan atau setidaknya sudah mempunyai rencana masa depan menikah dengan pria yang bakalan menggantikan tanggung jawab ayahnya.
Masalahnya ya ini, masalahnya Tari tuh punya riwayat masalah kronis pada kaum cowok! Bukan karena gadis itu dari kasta tertinggi yang tinggalnya di istana agung Soedjatmiko lalu selektif banget sama yang namanya cowok, justru karena gadis itu pernah dibuat bucin sama cowok sampai satu kejadian bikin Tari langsung menarik mundur perasaannya.
"Mau kemana, Tar?" Ibunya— Raden Ayu Humaira Soedjatmiko, wanita paruh baya berparas ayu itu baru saja meletakkan satu keranjang buah-buahan pencuci mulut yang baru saja dibeli Mbak Nilam— anak pembantunya dari pasar. Langkah Tari yang awalnya cepat-cepat pengen kabur dari rumah langsung terhenti begitu panggilan Humaira berhasil membuat tamu orangtuanya itu menyorot padanya.
"Duduk dulu sini, Tar, ayah kenalin sama Om Tama." Kali ini ayahnya yang meminta gadis itu mendekat. Kalau sudah Tuan Soedjatmiko yang bersuara, itu artinya tak ada penolakan meskipun saat itu Tari lagi ada panggilan alam sekalipun yang nggak bisa diganggu gugat lagi.
Demi sebuah kesantunan bak keturunan ningrat yang lain, Tari mengangguk sebagai keformalan tata krama saja.
"Wedalaah, ini pantes kalo namanya Mentari Lakshmi, anaknya ayu tenan, rek," puji Om Tama.
"Tari ini bukannya seumuran sama Abimanyu ya, Yah?" tanya istri Om Tama yang belakangan Tari tahu namanya Rukmini.
"Iya, ini yang pas kecilnya suka banget dibuat nangis sama Abimanyu," kekeh Om Tama lagi.
Dan Tari bersumpah nggak bakalan lihat ekspresi Ayah ataupun ibunya, karena sudah pasti raut kedua orangtuanya bikin Tari pengen tenggelam saja ke dasar bumi.
"Kebetulan banget, Tar, Ibu liat Abi ada di depan, tadinya sih main hape, nggak mau ngobrol bentar, Tar?" Humaira menyikut lengan Tari. Itu kayak ngomong, temuin-aja-atau-ayahmu-bakalan-marah!
Tari melotot pada Humaira, nggak bisa, karena sekarang ia harus secepatnya pergi supaya nggak ada drama perjodohan yang kesekian kalinya. "Buuu," cicitnya lemah.
Nasib emang, nasib jadi cewek yang nggak kerja, nggak kuliah, dan nggak laku-laku. Bawaannya dipromosikan terus.
Dengan anggukan lemah, gadis itu mengangguk pasrah, Tari celingukan, gadis itu melongokkan kepalanya ke teras dan menemukan seorang pria tengah duduk santai memainkan ponselnya.
Gadis itu mengempaskan tubuhnya di samping Abi. Memejamkan matanya sejenak, berharap seorang Abimanyu nggak sesaklek orangtua mereka yang kuno.
"Bete banget ya, Tar?"
Makhluk di samping Tari ini masih bisa bersuara padahal itu cewek sudah bete banget. Nget. Nget. Dan nggak mau diajak ngobrol siapapun.
"Kamu pikir kira-kira masih mau apa dijodohin kayak zaman Siti Nurbaya?"
Abi tertawa kencang. Pria di samping Tari ini cukup tampan, oh, jangan hanyut sama gantengnya aja, kalau di belakang sana perilakunya sama bangsatnya gimana?
"Jujur aja aku udah ada pacar di kampus," kata Abi pede banget.
Ucapannya barusan seolah bisa membuat telinga Tari jadi budek saking sakit hatinya. Padahal bukan sekali ini ada cowok yang dikenalin ke Tari.
"Bagus dong, kalo gitu biar aku bilang sama Ayah aja, nggak usah jodoh-jodohin aku sama kamu, beres." Baru saja hendak beranjak, pria itu menahan lengan Tari dengan raut sebal.
"Ngapain? Pengen nambah ceramah lagi? Nggak denger mereka lagi ngomongin apa di dalem?"
Sayup-sayup memang terdengar pembicaraan yang cenderung serius, Tari nggak tahu lagi kenapa ia harus terjebak dalam kecantikan yang menyengsarakan ini.
Gadis itu melihat Abi yang kini jelas-jelas sedang menatapnya dengan sorot geli, ada sesuatu yang tampaknya lucu di mata pria itu. Entah bagian Tari yang mana membuat ia tersenyum geli.
"Ngapain liat kayak gitu?"
Abi menggeleng kecil. "Kamu tuh lebih manis daripada Grace pacarku, cantik juga, kalau diajak kencan juga nggak malu-maluin, malah bikin orang iri kali ya, tapi sayang banget nggak kuliah ya?"
Tari mendengkus. Lelucon apa lagi ini? Martabat seseorang bisa diukur lewat apakah ia kuliah atau enggak? Punya nama? Aktivis?
Gadis itu menoleh, ayahnya nggak bakalan setuju kalau akhirnya dia tahu calon menantu yang dikenalkannya ini berpotensi besar bikin mental anak kesayangannya down. Pastinya, ayah nggak bakalan rela kalau akhir hidup anaknya adalah bunuh diri akibat jadi istri tukang bully, kan?
Tari menepuk punggung tangan Abi dengan perhatian. Tatap mata gadis itu seolah tidak terintimidasi sedikit pun dengan cara pandang Abi.
"Kamu tau, Bi? Kamu kuliah palingan isinya molor, lulus nggak mesti langsung dapet kerja. Buang-buang waktu, sedangkan aku, nggak usah ngabisin duit buat dapet gelar, warisan Soedjatmiko udah bisa buat beli omongan songongmu!"
Sebuah motor bebek berwarna biru merapat di pinggir jalan, seorang pria berjaket putih tampak melambaikan tangannya pada Tari yang kegirangan begitu melihat kedatangannya.
Aromanya sih ini orang spesial, namun Abi merasa familier pada cowok yang menjemput Tari kali itu. Seperti sudah mengenalnya bertahun-tahun.
"Mau kemana?" tanya Abi menghentikan langkah Tari lagi.
Gadis itu berdecak kesal. Malas berdebat dengan cowok yang songongnya minta ampun, lagipula sejak awal ia memang menunggu kedatangan Arya.
"Arya udah jemput, aku pergi dulu, kalo ditanya kemana bilang aja aku dijemput Lesti ya?" Tari menepuk pundak Abi pelan, terasa bersahabat banget padahal rasanya pengen nyekik leher cowok itu aja.
Mendengar satu nama yang benar dikenalnya, lalu kepergian Tari yang tampak terburu-buru, agaknya ia mulai percaya pada Arya yang dimaksud Tari.
Arya yang dimaksud gadis itu adalah orang yang sama. Cowok yang sampai sekarang punya masalah pribadi dengannya, sejak dulu.
Iya, itu Arya Wijaya.
Bersamaan lenyapnya Tari, muncul wajah Humaira di ambang pintu, celingukan mencari anaknya yang sudah dibawa kabur beberapa detik oleh pria lain.
"Tari kemana, Bi?"
Abi mengulas senyum. Nggak mungkin kalau bilang anak gadis Humaira sudah dibawa pergilah cowok yang pasti belum dikenalkan pada orangtua gadis itu.
"Pergi sama Lesti, Tan," jawabnya singkat sembari melirik jalan tempat Tari menghilang.
Humaira mendesah pendek, lalu menggamit lengan Abi ke dalam, cowok itu langsung pasang muka polos melihat empat wajah di depannya terlihat girang banget. Firasat Abi sih udah memburuk sejak Tama— ayahnya memintanya duduk di samping pria itu.
Hal yang paling jarang dilakukan kecuali kalau ada acara penting. Dan ia nggak tahu, apakah reuni kecil mereka kali ini juga sangat berarti bagi kedua orangtuanya.
"Setelah dihitung weton pasanganmu sama Tari, hasilnya lumayan bagus, Bi. Dapatnya Pesthi." Ibunya mengusap lengan Abi kalem.
Tuh, kaaan, dibilang juga apa. Orangtua Abi juga sebelas dua belas sama Tari, niat banget jodohin anaknya padahal Abimanyu tuh cowok dengan taraf ganteng tinggi, baru senyum udah bisa bikin cewek kejang. Masa iya susah cari jodoh?
"Mau kan, jalan sama Tari dulu, Bi? Duh, anaknya manis tenan gitu."
Jalan sama Tari? Agaknya Abi meremehkan gadis yang sempat ditolaknya tadi. Begitu melihat gadis itu jalan sama Arya Wijaya, Abi mulai penasaran dengan sosok Tari.
"Mau, Bu. Kalo harus tunangan juga nggak apa-apa."
***
Lesti di depannya sudah membelesakkan mukanya ke bantalan sofa cafe. Gadis itu ngakak ketika mendengar cerita Tari pagi ini. Seperti yang sudah-sudah, selalu saja gadis itu akan datang dengan cerita fantastis perihal kelakuan orangtuanya yang ajaib itu.
"Kemarin Nakala, Adhinata, Rama, sekarang siapa? Kurawa? Dursasana? Apa Sengkuni?" Lesti nggak bisa menyembunyikan tawanya mengingat nama-nama yang disebutnya tadi.
Hidup di jaman modern masih saja menemukan wayang hidup. Nama cowok yang dikenalkan pada Tari selalu saja yang bermarga, minimal sederajat sama-sama keturunan bangsawan, baik bibit bebet bobotnya, dan weton pasangannya cakep.
Arya tersenyum kecil. "Akibat nggak cepetan nyari cowok ya gitu, Tar," sahut cowok itu sambil menggigit apel merahnya.
Tari melirik tajam. "Kok kamu gitu sih, Ar, tambah bete aku ih."
"Orangtua kamu punya tipe mantu idaman yang tinggi loh, Tar, jadi nggak asal milih cowok buat kamu, pastinya orangtua kamu sudah menjamin kesejahteraan hidupmu sampe tua nanti."
Arya tuh cowok idaman Tari dari dulu sampai sekarang, tapi ia juga lupa kalau sudah bertemu dan baikan seperti ini, cowok itu juga nyebelin banget, seneng banget jadi lawan debat Tari. Apa itu cowok udah nggak suka sama Tari lagi?
"Lo pikir enak gitu dijodohin? Nikah sama orang yang nggak lo cinta? Masih bagus kalo tampangnya secakep kelakuannya, kalo belakangan gue tau suami gue tukang pukul, tukang marah, nggak bahagia banget hidup gue."
Arya langsung kicep. Hafal banget kalau sudah pakai kata gue-elo itu artinya Tari dongkol banget apalagi ngomongnya sama Arya, pria itu nggak pernah bikin Tari marah sejak tiga tahun mereka berpisah, sekarang baru ketemu sudah bikin gadis itu nanjak-nanjak.
"Tar, aku nggak maksud bikin kamu marah loh—" Ucapan Arya melembut, cowok itu memiringkan kepalanya untuk melihat wajah Tari yang memerah marah.
Dulu, saat masih sekolah, saat masih pacaran Arya dan Tari juga sering bertengkar kecil kayak gini, sering banget bikin Tari mewek. Lupa kalau Tari itu punya bad habits yang satu itu, mewek.
Dia sendiri yang marah, dia pula yang mewek, kalau sudah begitu yang bisa dilakukan oleh Arya adalah satu.
Arya menarik lengan Tari yang memunggunginya, dengan wajah bersalah pria itu menundukkan kepalanya di depan Tari seperti kebiasaannya dulu.
"Pengakuan dosa, boleh dijitak, dipukul, dijambak, atau dielus juga boleh." Arya meringis dengan kata terakhirnya. Ia kembali mendekatkan kepalanya lalu menggelengkannya di depan Tari.
Tari seperti dilemparkan ke masa lalu dengan kebiasaan Arya yang satu ini, gadis itu menjitak kepala Arya pelan. Kalau sudah begitu, barulah Arya bisa memeluk gadis itu dengan tenang tanpa berontak.
"Udah sini, janji nggak bakal maksa kamu lagi buat nerima perjodohan ini."
"Aku nggak suka sama cowoknya. Lagian cowok tuh bangsad semua," adu Tari pada Arya mirip anak kecil.
"Iya bangsad semua cowok tuh, kalo masih dipaksa buat nikah, bilang aja semua cowok bangsad kecuali aku."
Tari menggeplak lengan Arya keras. "Berani bicara depan Ayah?"
Arya langsung memejamkan matanya dengan wajah ketakutan yang dramatis. "Ampun, Kanjeng Romo Hendra Soedjatmiko!"
Tari tertawa, pria itu mengusap pipi Tari yang sempat dibuatnya mewek, kepala gadis itu masih berada dalam pelukannya, menenangkan sejenak sebelum akhirnya gadis itu menatap Arya sekali lagi.
"Semua cowok emang bangke, kadal buluk, tukang ghosting, sok cakep, keparaaat—"
Arya langsung menutup mulut Tari dengan tangannya. "Heh, anak cewek nggak baik ngomong kasar kayak gitu, minta ditutup pake tangan apa mulut nih?"
"Pake mulut juga oke," jawab Tari sableng.
Lesti langsung terbatuk. Sialan, kan, di sana cuma jadi patung liberty, apa enaknya sih nemenin orang pacaran kayak gini?
"Anjir, kan, masih bisa tebar kemesraan depan gue. Nyesel jadi obat nyamuk nggak ngajak Chiko."
***