“Itu hanya kecelakaan dan aku sedang dalam keadaan mabuk. Sama sekali tak berarti apa pun!” lantang Noah pada sosok cantik yang berdiri di seberang meja kerjanya.
“Tapi bukan itu yang kurasakan, Noah. Kedekatan kita, keluh kesahmu tentang pernikahan kalian, dan ciuman itu membuktikan bahwa ...”
“Lalu apa yang kauinginkan?” potong Noah dengan sinis. Ia benci mengingat malam itu. Mengingat ciuman yang bahkan tak bisa ingat dengan benar.
“Pengakuanmu.”
“Pengakuan?”
“Mamamu mengatakan tentang perceraianmu dengan Naya.”
“Dan kauingin menggantikan posisi Naya?” sengit Noah. Kali ini dengan muak.
Ralia terdiam sebagai jawaban ya. Dengan tanpa malunya ia mengemis cinta, ia sudah tak memedulikan harga dirinya. Setelah semua usaha demi mendekatkan diri dengan Noah, tentu tidak mudah berhasil membuat retakan begitu besar di rumah tangga Noah dan Naya. Membangun reputasi-reputasi di hadapan umum bahwa hanya ialah yang pantas bersanding di sisi Noah. Lalu, setelah semua hasil usaha itu berada di genggaman tangannya, tiba-tiba Noah mendepaknya dengan tanpa ampun dan membawa Naya kembali melekat seperti parasit di kehidupan sempurna Noah. Sungguh ia belum siap dengan kekecewaan tersebut. Tak akan pernah siap.
“Kau ingin aku bertanggung jawab untuk sebuah ciuman yang bahkan aku lupa bagaimana rasanya di bibirku karena pengaruh alkohol?” Noah mendecih. Berkata dengan nada dan ekspresi menjijikkan. “Harga yang sangat mahal untuk sebuah ciuman, Ralia. Sama sekali tak sepadan dengan apa yang kudapatkan.”
Rahang Ralia mengeras. Kalimat terakhir Noah benar-benar mengoyak hatinya. Tapi ia berhasil menguasai diri dengan sangat baik akan rasa terhina yang melintas di wajahnya. Bagaimana dirinya yang sempurna bisa dibandingkan dengan seorang Naya yang hanya wanita miskin dan pengeruk kekayaan? Mereka berada di derajat yang berbeda, dan tentu Naya bukan saingan yang sepadan untuknya. Ia bisa menyingkirkan wanita itu dengan mudahnya karena Kinaya Magaly bukanlah siapa-siapa.
“Jika kau mengukur sebuah kepantasan menjadi istriku dari sentuhan fisik, kau berada jauh di bawah Naya, Ralia. Aku menguasai setiap inci kulit Naya dari ujung kepala hingga ujung kakinya. Aku bahkan tak bisa melupakan setiap rasa manis seperti candu ketika aku mencecapi tubuhnya. Kau sama sekali bukan apa-apa dibandingkan istriku. Dan hanya istrikulah yang berhak mendapatkan semua itu dariku. Apa pun yang terjadi di antara kita yang kauanggap berlebihan hanya untuk dirimu sendiri, bagiku hanyalah sebuah kesalahan.”
Kedua tangan Ralia terkepal hingga kuku wanita itu melukai telapak tangannya. Kali ini tidak bisa menahan ekspresi terhina memenuhi wajahnya. Seumur hidupnya, ia belum pernah dihinakan serendah ini.
“Sebaiknya kau keluar. Sekarang.” Noah menyela sebelum Ralia sempat membuka mulut untuk menyumpahi dirinya. “Sebentar lagi istriku datang dan aku tak ingin mengulangi kesalahanku untuk kedua kalinya.”
“Lalu, apa yang kaupikirkan jika istrimu mengetahui kebohongan keduamu ini?”
“Yang pasti, aku tahu darimana dan siapa yang harus kucari,” ancam Noah. Dalam sekejap kegelapan membayangi wajah Noah akan keseriusan dalam ancaman pria itu. “Pikirkan itu sebelum kau mencoba merencanakan ide busukmu pada Naya.”
Ralia tersentak. Kemarahannya kini berubah menjadi ekspresi ketakutan yang membekukan tubuh dan bibirnya. Tatapan tajam pria itu menusuknya dengan kejam dan membuat tubuhnya merinding. Sebelum pria itu berniat memanggil keamanan untuk menyeret dirinya, Ralia berdesis, “Kau tahu aku tak akan berhenti sampai di sini, Noah.”
“Maka kau hanya akan melukai dirimu sendiri,” ucap Noah lebih dingin lagi.
“Ya, tidak ada luka, tidak ada kemenangan.” Ralia mengakhiri perbincangan tegang mereka dan berbalik menuju pintu. Baru tiga langkah ia keluar dari ruangan Noah, ia melihat Naya yang sedang berjalan ke arahnya.
Sejenak ia terkejut, lalu ide itu muncul dan ia mendekati Naya dengan senyum manis yang ia tata seapik mungkin demi menutupi kepalsuannya. “Hai, Naya.”
Naya berhenti. Tersenyum dengan kaku dengan sapaan seseorang yang asing tersebut. Matanya mengamati Ralia dari atas ke bawah. Wanita itu sangat cantik. Dengan tinggi semampai, rambut gelombang memenuhi punggung. Penampilan wanita itu sangat sempurna dan tiba-tiba membuatnya berkecil hati. Noah memang pantas dikelilingi wanita-wanita sesempurna itu.
“Bagaimana kabarmu? Aku mendengar tentang kecelakaanmu. Maafkan aku tak sempat menjengukmu.” Ralia memasang ekspresi sesedih mungkin bercampur penyesalan yang dibuat-buat. Benar-benar kebetulan yang menguntungkan bertemu Naya di tempat ini.
Naya mengangguk. Tak tahu harus berkata apa karena wanita itu terasa begitu asing. Apakah ia bahkan punya teman secantik ini? Dari cara berpakaian pun mereka berada di level yang berbeda.
“Aku ...”
“Sebelah sini, Nyonya.” Seorang pria dengan setelan berwarna hitam menuntunnya menjauh dari Ralia. Membukakan pintu untuknya. Naya memutar kepala melihat wanita yang baru saja menyapanya. Wanita itu pergi begitu saja. Sama sekali tak terlihat tersinggung ketika terang-terangan pengawal Noah mengusirnya.
“Siapa dia?” tanya Naya pada pengawal Noah.
“Tuan Noah sudah menunggu Anda.” Pengawal itu tidak memberinya jawaban. Membuatnya mengerutkan kening, tapi rasa penasarannya teralihkan ketika matanya menemukan sosok Noah.
Noah tersentak ketika pintu ruang kerjanya terbuka dan Naya masuk dengan membawa kotak makanan tersenyum untuknya. Wajahnya memucat, Ralia keluar hanya beberapa detik sebelum Naya masuk. Kedua wanita itu pasti berpapasan di lorong. Namun, matanya berbicara dengan pengawal yang masih berdiri di ambang pintu. Pengawal itu memberinya isyarat anggukan dan membuat paru-parunya bernapas dengan lega karena sudah mengurus kekhawatirannya yang satu itu.
“Sepertinya kau memiliki tamu?” Naya membuyarkan kontak mata Noah dengan pengawal yang berdiri di belakangnya.
“Ya, beberapa.” Noah berusaha menutupi kegugupannya. Berdiri dari kursinya dan memutari meja menyambut tubuh Naya dalam rangkulannya. Menghadiahkan satu kecupan singkat di bibir sebelum ia membawa wanita itu duduk di set sofa paling dekat dinding.
“Siapa wanita itu?”
“Kenapa?” Jantung Noah berhenti berdetak karena terkejut.
“Apakah aku mengenalnya? Wanita itu menyapaku dan aku tak sempat meminta maaf karena tak mengenalnya. Maksudku mengingatnya. Karena pengawalmu ...”
Ketakutan menghiasi mulut dan menggelapkan mata Noah. Ralia ternyata mencoba menantang dirinya. “Dia bukan siapa-siapa. Kau tak perlu memikirkannya,” sela Noah dengan cepat.
Naya mengerutkan kening penuh selidik dengan jawaban Noah. “Bukan siapa-siapa hanya menunjukkan bahwa wanita itu memiliki arti lebih, Noah.”
Tulang punggung Noah menegang dan keringat dingin seakan membasahi seluruh tubuhnya. “Dia model brand ambassador perusahaan. Dan bagiku itu bukan apa-apa.” Noah menjaga agar suaranya tak bergetar. Berusaha menutup-nutupi hanya akan akan mengundang kecurigaan Naya.
“Woww.” Naya merasa takjub. Seumur hidup, ia tak pernah memikirkan akan bertemu apalagi mempunyai kenalan seorang model terkenal.
“Aku melihat ketidakpercayaan diri dalam pertanyaanmu, Naya. Aku tidak suka. Itulah sebabnya aku menjawab sesingkat itu, dan bukan berarti dia mempunyai arti lebih saat di belakangmu.” Noah menjelaskan dengan tulus, meskipun ada harapan kata-kata itu dapat melibas kecurigaan Naya tentang Ralia dan dirinya.
Naya mengangguk-angguk mengerti. Sambil mulai membuka kotak makanan, ia berucap tak kalah tulusnya. “Aku memercayaimu, Noah.”
Sungguh, ketulusan Naya terasa seperti beban ribuan ton yang dijejalkan di dadanya. Menghimpitnya dengan cara paling kejam. Bahkan diamnya pun terasa seperti sebuah kebohongan. “Sebaiknya kau menjauh saat dia mendekatimu. Dia bukan orang yang baik.”
“Hmm, jadi kau berbisnis dengan orang yang tidak baik?”
Noah mematung. Sekali lagi jantungnya berhenti berdetak.
“Kenapa wajahmu sangat pucat, Noah? Aku hanya bercanda.” Naya tertawa.
Noah tersenyum tipis. “Apa yang kau masak? Tiba-tiba perutku terasa lapar,” katanya mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Tidak banyak.” Naya menunjukkan kotak berisi tumis udang dan nasi putih.
“Hanya ini?”
“Ya, cukup untuk kita berdua.”
Noah tahu Naya tidak terlalu pintar memasak, tapi masakan istrinya tak cukup buruk rasanya. Dan baginya, makanan apa pun yang dibuat oleh tangan Naya, adalah masakan terbaik.
***