“Kau tahu aku menikahimu karena harta yang kau miliki.”
“Aku sama sekali tidak keberatan dengan hal itu. Berapa pun yang kauinginkan, aku akan memberikannya untukmu.”
“Kau tidak akan memperlakukanku seperti wanita matrealistis jika kau benar baik-baik saja.”
Noah menggeleng. Nampak kalut. Ia benci Naya karena memanfaatkannya, tapi di saat yang bersamaan ia juga tak ingin kehilangan Naya.
“Aku tahu kau pasti sudah muak denganku, maka mari hentikan semua ini.”
“Hentikan apa?”
“Lebih baik kita bercerai.”
Noah tercekat, tapi masih bersikap begitu dingin. “Apakah memang hanya ini yang kau kejar? Uangku?”
Naya mengangguk. “Aku tidak tahan kau menatapku dengan kekecewaan seperti itu meskipun aku sudah berusaha mengabaikannya.”
“Aku tidak akan menceraikanmu.”
“Kenapa?”
“Karena aku mencintaimu.”
Naya terkekeh. Lalu merogoh tas tangannya di meja dan melempar beberapa lembar foto ke hadapan Noah. “Kau pernah.”
Noah tercengang menemukan gambar dirinya dan Ralia sedang b******u di kelab malam. Kepalanya mencerna, kapan dan di mana kejadian itu bisa terjadi. Ah, ia ingat. Hari itu, mamanya memojokkannya tentang tagihan kartu kredit Naya yang lagi-lagi melewati batas. Wanita itu bukan tipe wanita yang suka berbelanja. Hampur setahun menikah, dan ialah yang lebih banyak mengisi lemari pakaian Naya. Hingga Mamanya mengatakan bahwa Naya memanfaatkan dirinya dan sengaja menguras harta keluarga mereka demi kesejahteraan keluarga Naya. Ia tak punya sepatah kata pun untuk menentang argumen Mamanya. Dan Naya sama sekali tak berbicara mengenai kartu kredit itu.
Ia terlalu kecewa dengan kebohongan yang Naya sembunyikan, memilih pergi ke klub malam alih-alih langsung pulang ke rumah seperti biasanya. Karena, meskipun dengan keadaan rumah tangga mereka yang berada di ujung tanduk, ia tetap tak bisa menahan diri untuk tidak pulang ke rumah. Enggan melewati waktu jam kerjanya semnit pun hanya demi menatap wajah istrinya yang selalu mengatakan bahwa ia telah berubah.
Di sana ia bertemu dengan Ralia. Keduanya berbincang sambil menghabiskan beberapa gelas minuman. Mungkin saat alkohol mulai memengaruhi kesadarannya itulah, entah dirinya, entah Ralia yang memulai, ia tak ingat. Kedua bibir mereka saling bersentuhan. Namun, ia bersumpah, itu hanya berlangsung beberapa detik saja. Ia tersadar, mendorong tubuh Ralia menjauh, dan bergegas pulang dengan suasana hati yang semakin kacau.
Sesampainya di rumah, Naya pun memberinya kabar yang tak kalah mengejutkannya tentang kabar kehamilan tersebut. Sungguh ia tak bermaksud bersikap sedingin dan sebrengsek itu untuk kabar gembira yang ia tunggu selama pernikahan mereka berlangsung.
Hingga seminggu kemudian, ia menemukan kebenaran bahwa kartu kredit Naya diambil secara paksa oleh Meisya, kakak perempuan Naya yang serakah dan istrinya terlalu takut mengatakan hal tersebut karena ancaman ibu mertuanya yang tak kalah serakahnya. Namun, egonya terlalu enggan meminta maaf atas kesalahpahaman dirinya terhadap wanita itu. Yang mengakibatkan hubungan mereka semakin berada di ambang kehancuran. Saat inilah puncaknya.
“Ba … bagaimana kau mendapatkan semua ini?”
Naya sama sekali tak tertarik membahas hal itu dan bukan itu yang terpenting. “Aku sudah menandatangani surat percerain kita seperti yang Mamamu inginkan. Kau bisa mengonfirmasinya sendiri pada Mamamu. Malam ini aku akan menginap di rumah temanku sebelum menemukan tempat yang tepat.”
“Apa?!” Kali ini Noah bukan hanya tercengang, Tubuhnya melemah dan jantungnya seolah ditikam dengan cara paling mengerikan yang tak pernah ia bayangkan akan pernah ia rasakan. Dan Nayalah sebagai pelakunya.
Naya beranjak. Semua yang ingin ia katakan pada Noah sudah ia ungkapkan semua. Keinginannya sudah ia lepaskan pada pria itu. Semua sudah selesai. Kisahnya dan Noah sudah berakhir sampai di sini saja.
Noah ikut beranjak, menahan lengan Naya sambil menguasai kepanikan yang mulai melumuri hatinya. “Bagaimana dengan anak kita?” tanyanya dengan kepanikan yang mulai naik ke tenggorokan dan bercampur dengan suaranya yang bergetar. Oleh kecewa dan sakit hati.
Sesaat Naya terpaku. Dadanya sesak oleh ganjalan yang begitu besar dan menahan napasnya. Dengan suara sedatar es dan setenang air di danau, ia menjawab, “Aku sudah menggugurkannya. Kau tak perlu merasa cemas dengan ikatan yang akan menjeratmu seumur hidupmu. Perceraian ini adalah akhir dari semuanya.”
Noah pikir, mungkin ia bisa membalik meja kaca yang memisahkan mereka berdua. Menunjukkan pada Naya bagaimana hancur hatinya. Bagaimana kejamnya wanita itu menghancurkan perasaannya. Naya bahkan melenyapkan anaknya demi lepas dari ikatan pernikahan dan hidup tenang. Mengusirnya dari hidup wanita itu seperti kotoran.
“Jangan terlalu terkejut, Noah. Kau mengatakan keputusan ada di tanganku, bukan?”
Naya benar-benar memberinya pukulan telak. Malam ketika Naya memberitahukan tentang kehamilan wanita itu kembali berputar di benaknya. Penyesalan yang ia rasakan tepat setelah ia mengatakan tanggapannya tentang kehamilan wanita itu, kini berlanjut dan merasuk ke dalan tulang sumsumnya sampai detik ini. Dan Noah pikir penyesalan itu tak akan pernah lenyap seumur hidupnya.
Hingga ia merasa tak berdaya meskipun hanya untuk menyanggah tubuhnya sendiri, dan mengabaikan harga dirinya ketika mengatakan kalimat menyedihkan. “Setelah memanfaatkanku, akhirnya sekarang waktu yang tepat untuk membuangku?”
Naya tak ingin menyangkal meskipun ia ingin. Biarlah Noah berpikir sesuka pria itu jika itu bisa membuat Noah membenci dan melupakan dirinya. Melupakan kisah mereka yang telah usai.
Ingatan itu kembali berputar dengan sangat jelas di kepala Noah. Terkadang ia ingin mengingatnya dan terkadang ingin melupakannya. Aborsi yang dikatakan wanita itu dengan keji, perceraian yang diinginkan wanita itu dengan penuh kebencian. Semata hanya kebohongan yang membungkus pertahanan diri wanita itu karena merasa terkhianati olehnya. Pengkhianatan yang dilakukan Naya sengaja ditujukan untuk membalas pengkhiatannya, menyiksanya, dan itu berhasil. Ia hancur setelah Naya melayangkan gugatan perceraian itu. Mencari Naya ke mana pun seperti orang gila. Hingga seminggu kemudian, dengan bantuan ayahnya, ia menemukan Naya di apartemen pria b******k itu.
Rasanya hatinya sudah tak bisa lebih hancur lagi, tapi itu tak menghentikannya untuk mendapatkan Naya kembali. Itu lebih baik daripada membayangkan harus menghabiskan hidup tanpa Naya dan mati karena memikirkan orang lain telah memiliki Nayanya. Naya hanya miliknya. Tak ada siapa pun yang bisa memiliki Naya kecuali dirinya. Wanita itu lebih baik daripada harus menjadi milik orang lain.
Pengkhianatan wanita itu, pengkhianatannya sendiri, rumah tangga mereka tak akan berhenti hanya karena kemarahan sesaat. Nyatanya, cinta Naya untuknya tak berkurang sedikit pun. Tidak seperti pikiran-pikiran pengecut yang mengelabui otaknya hingga ia melakukan kelalaian yang menghancurkan pernikahan mereka. Dan merenggut satu-satunya kebahagiaan yang mereka miliki. Anak mereka.
“Noah?”
Noah menoleh. Ingatan-ingatan pahit itu menguap ketika ia melihat senyum Naya yang selalu mampu mencerahkan dunianya. Seakan semua ingatan buruk itu tak pernah terjadi. Dan berharap ingatan itu tak akan pernah kembali dalam hidup Naya dan pernikahan mereka.
“Aku ingin menghubungi Arfa, tapi aku tidak mengingat nomor dan di mana ponselku yang dulu.”
“Ya, ponselmu hancur saat kecelakaan itu, dan aku juga tidak menyimpan nomor Arfa.” Satu kali, dua kali, dan tiga kali berbohong. Noah merasa telah terbiasa menumpuk kebohongan dengan kebohongan yang lain. Ialah yang menghancurkan ponsel Naya ketika polisi menemukan beberapa barang mereka di mobil itu. Dan bahkan ia menyuruh salah satu kaki tangannya untuk menghancurkan mobil itu. Seolah hal itu akan membuat bahwa semua yang terjadi sebelum kecelakaan itu tak pernah terjadi.
Naya mengerut. Kenapa Noah tidak mempunyai nomor Arfa? Apa adik dan suaminya tak pernah saling kontak? Apa hubungan Arfa dan suaminya tidak baik? Pertanyaan itulah yang pertama kali muncul di kepalanya karena jawaban Noah.
“Kami hanya saling mengetahui lewat dirimu. Tak punya cukup waktu untuk saling mengenal sebelum dia pergi ke luar negeri. Setelah pernikahan kita, aku sibuk dengan pekerjaan kantor. Maaf jika aku tidak terlalu memedulikan keluargamu.”
Naya menggeleng, menepis rasa bersalah Noah sekaligus dirinya sendiri. Noah benar, Noah dan Arfa tak cukup saling mengenal dan pria itu pasti sibuk dengan urusan kantor. Punggung Naya meluruh ke punggung sofa dan ekspresi kecewa melenyapkan segala senyum yang baru beberapa detik lalu menghias di sana.
“Aku akan berusaha mencari tahu. Kau hanya perlu menunggu.” Noah mengelus rambut Naya, tak lupa kecupan singkat untuk menyemangati istrinya.
Naya mengangguk, memberikan senyum tipisnya pada Noah walaupun masih berpikir keras tentang Arfa dan Noah. “Terima kasih.”
Pintu diketuk, salah satu sekretaris Noah masuk ketika pria itu mempersilahkannya dengan terpaksa karena Naya bersikeras tak ingin mengganggu pekerjaan Noah.
Sambil menunggu Noah menyelesaikan urusan apa pun di meja kerja, Naya memungut majalah yang bertumpuk dibawah meja. Mencari salah satu yang menarik perhatiannya dan memangkunya sebelum membuka mencari kesibukan lain sembari memberi waktu bagi Noah untuk pekerjaan.
Tepat ketika Noah menyerahkan berkas yang sudah ia tanda tangani pada Lita dan menginstruksikan untuk membatalkan semua jadwal janji temu atau urusan mendadak hari ini. Ponsel di meja bergetar. Noah melirik nama Arfa sebagai pemanggil di layar ponselnya. Entah panggilan ke berapa puluh kali yang ia abaikan hari ini. Melihat Naya yang sibuk membaca majalah di pangkuan wanita itu, ia berdiri. Menuju dinding kaca untuk menjaga jarak sejauh mungkin dengan Naya sambil menggeser tombol hijau.
“Hallo...”
“Akhirnya, apakah butuh seribu kali panggilan untuk berbicara dengan pewaris sah Samudra Group?” Nada mencemooh yang disengaja terasa begitu kental dalam setiap kata-kata yang keluar. Dipenuhi sindiran yang terang-terangan ditujukan sebagai bentuk kebenciannya.
“Ya, aku sedikit sibuk.” Noah sama sekali tak peduli dengan kata-kata kasar Arfa. Bahkan telinganya tak sungguh-sungguh mendengarkan dengan baik.
“Sibuk menghindariku?” Siara Arfa menajam. “Apa yang kaulakukan pada kakakku?”
Pandangan Noah melirik ke arah Naya. “Dia baik-baik saja.”
“Aku tahu ada masalah serius dengan rumah tangga kalian.”
Seprtinya adik iparnya cukup tahu lebih banyak. “Kami sudah memperbaikinya,” jawabnya singkat.
“Aku ingin bicara dengan kakakku.”
“Dia sedang sibuk.”
“Aku tahu kau melakukan sesuatu pada kakakku, dan itu bukan hal baik.”
“Aku sangat mencintainya, dan aku tidak mungkin melakukan sesuatu yang akan menyakitinya.” Suara Noah melirih tapi tak mengurangi ketajaman dan kejelasan dalam setiap kata-katanya.
“Kau sudah menyakitinya,” tandas Arfa dengan geraman terselip di sela-sela giginya.
Noah kehilangan jawaban, tapi tidak untuk keyakinan pada cintanya dan Naya yang pasti akan berakhir bahagia. “Apa kau sudah selesai?”
“Aku pastikan aku akan menyelamatkan kak Naya dari cengkeramanmu, Noah. Ingat itu!”
Noah memutus panggilan sebelum Arfa menyelesaikan umpatannya. Menghela napas dengan keras. Beruntung adik iparnya itu berada di dunia bagian lain. Sehingga ia tak harus lebih repot lagi menjelaskan pada Naya kenapa Arfa begitu membencinya. Terutama sekarang.
Setelah menghubungi seseorang untuk mengawasi pergerakan Arfa lewat panggilan, Noah mengirimkan data lengkap Arfa. Hanya butuh beberapa menit, lalu ia kembali mendekati set sofa bergabung dengan Naya. “Apa kauingin keluar?”
“Bukankah kau harus bekerja?”
“Aku punya banyak waktu luang.”
Naya berpikir sesaat lalu menggeleng.
“Kenapa? Apa kau tidak bosan menunggu di sini?”
“Aku lebih bosan menunggu di rumah. Keluar pun aku tak tahu harus ke mana. Tadi pagi aku meminta sopir mengantar ke supermarket dan aku tersesat selama satu jam karena melupakan jalan kembali. Beruntung sopirmu menemukanku lebih cepat.”
“Apa?” Noah membelalak panik. “Lain kali, kau harus memberitahuku ke mana pun kau ingin pergi, Naya. Aku akan meyuruh orang untuk mengantar.”
Naya mengangguk. “Aku mulai mengingat beberapa tempat.”
Kali ini Noah menegang. Tercengang dengan kalimat Naya entang ‘mengingat’. “Apa ingatanmu kembali?”
Naya menggeleng. “Bukan. Aku hanya ... entahlah. Meskipun tak cukup membantu, kakiku terasa seperti mengenali jalanan yang kulalui. Mungkin aku sering berbelanja di sana. Itu yang dikatakan sopirmu.”
Noah merasa kembali bernapas dengan lega. Sepertinya ia harus memberitahu sopirnya untuk mengganti tempat berbelanja Naya. Semua masa lalu Naya harus ia kubur dalam-dalam. Ia harus memberi Naya ingatan baru yang lebih bahagia dari sebelumnya. Termasuk mengubur nama Arfa dalam ingatan wanita itu.
***