Chapter 3 - Love of Her Life

2337 Kata
Kinanti datang ke kantor tempat Rido bekerja. Ia membawakan rantang berisi nasi beserta lauk pauknya untuk suaminya itu. Rido sangat senang dengan perubahan sikap Kinanti padanya. Akhir – akhir ini, Kinanti sudah mulai mau berbicara cukup banyak padanya. Ia dan Kinanti menikah bukan atas dasar saling mencintai. Ia mencintai Kinanti, namun wanita cantik itu tidak mencintainya. Wanita itu menjalin kasih dengan pria yang merupakan salah satu anak dari orang terpandang di daerah asalnya. Tentu si orang tua laki – laki itu tidak menyetujui hubungan mereka karena latar belakang Kinanti yang hanya berasal dari keluarga menengah ke bawah. “Terima kasih ya, Kin. Kamu gak perlu repot – repot datang ke sini. Mulai besok, aku beli makan siang di kantin saja. Atau kalau memang kamu mau buatkan makan siang untuk aku, kamu siapkan saja bekalnya pagi – pagi, jadi bisa langsung aku bawa ke kantor.”, ujar Rido. “Itu ibu yang masak. Bukan aku.”, balas Kinanti yang malas mendengar ocehan suami yang tidak ia cintai itu. “Iya, maksud aku, besok aku bawa bekal masakan ibu saja dari rumah, jadi kamu gak perlu repot – repot datang ke sini.” Kinanti menatap Rido. Hal yang sangat jarang ia lakukan. Ia tidak pernah mau memandang suaminya itu. Namun, kali ini, ia tatap Rido dengan tatapan penuh kebencian yang ia miliki untuk pria itu. “Kamu mau ngurung aku di rumah butut itu selamanya?!”, ujar Kinanti dengan raut wajah murkanya. “Bukan begitu, Kinanti. Aku cuma gak mau kamu capek panas – panasan jalan ke kantor aku.”, balas Rido dengan tenang. Tak pernah sekali pun ia tersulut emosi setiap Kinanti berlaku tidak sopan padanya. “Cepat makan. Gak usah banyak omong!” “Iya. Aku makan, ya. Kamu gak mau makan bareng aku?” “Tidak.”, balas Kinanti dengan ketus. ‘Bisa muntah aku makan bareng kamu!’, lanjutnya membatin. Kinanti tetap duduk di hadapan Rido selama pria itu menyantap makan siangnya. Ia berada di sana bukan karena ingin menemani suaminya itu menyantap makan siangnya, tetapi ia ingin melihat cinta sejatinya. Cinta yang ia miliki seumur hidupnya. “Gak usah buru – buru makannya.”, ujar Kinanti saat melihat Rido sudah menghabiskan setengah makan siangnya, tetapi cinta sejatinya belum juga muncul. Rido tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Pria itu merasa senang karena ia berpikir Kinanti mengkhawatirkannya yang menyantap makanan terlalu cepat. Ia tidak tahu bahwa selama ini, diam – diam istrinya itu memiliki niat terselubung di balik kedatangannya di setiap jam istirahat makan siang. Kinanti menghela nafasnya ketika dilihatnya makanan yang disantap Rido kini tersisa satu per empat. Sepertinya, hari ini ia tidak akan bertemu dengan kekasih hatinya. Namun, tak berapa lama kemudian, orang yang dinantikannya tiba di kantin karyawan itu. Senyum pun terkembang di wajah cantik Kinanti. Kedua matanya berbinar saat orang itu berjalan mendekatinya. Rido dapat menyadari perubahan raut wajah Kinanti. Ia menoleh ke belakang dan menemukan Galih baru saja masuk ke dalam kantin. “Eh, makan, Pak.”, ujar Rido menyapa bos pemilik perkebunan teh tempatnya bekerja. Galih hanya menganggukkan kepalanya saja, lalu memilih duduk di belakang mereka dengan posisi Rido yang memunggunginya. Ia sengaja memilih untuk duduk di sana agar ia dapat melihat dengan jelas wanita yang sudah mengisi hatinya selama dua puluh tujuh tahun. Kinanti dan Galih saling berpandangan tanpa berbicara. Mereka sedang menyalurkan rasa rindu yang begitu mendalam, rasa rindu yang tak pernah terucap, rasa rindu yang telah dipendam selama lebih dari dua puluh tahun lamanya. Rido telah selesai menyantap makan siangnya hingga tandas. Kinanti pun merasa sedih karena ia harus berpisah dengan cinta sejatinya padahal baru saja mereka bertemu. “Kamu udah selesai?”, tanya Kinanti dengan wajah sedihnya yang dapat diketahui dengan jelas oleh Rido. “Belum. Aku mau makan buah dulu.”, ujar Rido agar istrinya tidak merasa kecewa. Benar saja, senyum kembali terkembang di wajah Kinanti. “Kamu mau minum jus?”, tanya Rido yang dijawab dengan anggukkan kepala oleh Kinanti. Wanita itu masih memiliki waktu beberapa menit yang sangat berharga baginya. “Jus apa?”, tanya Rido lagi. “Apel.”, jawab Kinanti singkat. Sementara itu, di balik punggung Rido, Galih terlihat sedang menyantap makan siangnya seraya memandangi Kinanti dengan wajah datarnya. Sudah dua puluh tujuh tahun sejak mereka saling jatuh cinta, tetapi raut wajah itu masih sama seperti dulu. Raut wajah datar yang terkesan dingin dan angkuh, tetapi terasa hangat di dalam lubuk hati Kinanti yang terdalam. “Hmm.. Kin, aku harus antar dokumen nih.”, ujar Rido saat jam istirahatnya hampir saja berakhir, tetapi Kinanti masih saja duduk terpaku di kursinya. “Oh, ya, pergilah. Aku masih mau di sini. Jusnya belum habis.”, balas Kinanti yang berbohong. Ia masih berada di sana bukan karena jus apelnya belum habis ia minum, tetapi karena ia masih belum rela berpisah dengan pria yang sedang memandanginya dari kejauhan. “Ya sudah, aku pergi dulu, ya.”, ujar Rido. Kinanti hanya menganggukkan kepalanya. Lalu, Rido pun berpamitan pada Galih sebelum ia pergi ke area parkir motor khusus karyawan untuk mengantarkan dokumen kepada salah satu vendor perusahaan tempatnya bekerja. Kini, Kinanti dan Galih dapat saling memandang dengan leluasa. Tidak ada penghalang di antara mereka. Tak berapa lama kemudian, Galih menyudahi aktivitas makan siangnya dan kembali ke dalam ruang kerjanya. Kantor masih sepi saat terdengar suara ketukan di pintu ruang kerja Galih. Jam masih menunjukkan pukul setengah satu siang. Para karyawan masih berjejal di kantin dan warung – warung yang berada di dekat kantor perusahaan perkebunan teh itu. “Masuk.”, ujar Galih. Pintu ruang kerja itu terbuka dan masuklah seorang wanita yang sudah ditunggu Galih sejak tadi. Galih segera menutup rapat dan mengunci pintu ruang kerjanya itu. Didorongnya wanita itu hingga tubuh wanita itu terjatuh di atas sofa dan rantang dalam genggamannya terlepas. Segera dilumatnya bibir merah yang terus menggodanya sejak tadi. Dilepaskannya satu per satu kancing kemeja yang dipakai oleh wanita itu agar ia dapat menelusuri tubuh indah itu dengan telapak tangannya. Diremasnya kedua b*******a wanita itu hingga si pemiliknya mendesah tertahan karena lidah pria itu masih menjamah rongga mulutnya.   ***   Galih dan Kinanti berusaha mengatur napas mereka yang terengah – engah seusai mereka b******a. Galih merapikan rambut Kinanti yang berantakan, lalu dikecupinya puncak kepala wanita yang menjadi kekasih hatinya selama ini. Diam – diam, Kinanti meneteskan air matanya. Ia tahu dan sadar apa yang dilakukannya itu salah. Namun, ia tidak bisa membohongi hati kecilnya yang selalu menginginkan Galih, tidak hanya hatinya, namun juga raganya. “I love you, Kinanti.”, ujar Galih seraya menepis air mata yang mengaliri wajah cantik Kinanti. Isak tangis Kinanti semakin jelas terdengar. Dipeluknya Galih seerat mungkin seolah ia takut Galih akan terlepas dari pelukannya. Galih pun membalas pelukan Kinanti dengan lebih erat lagi. Kembali dikecupinya puncak kepala wanitanya itu. Sementara itu, dari luar ruang kerja Galih, tampak Prita, sang sekretaris, sedang merasa gelisah sebab jam dua siang nanti Galih harus menghadiri rapat di kantor sebuah hotel ternama di Bandung. Rencananya, perusahaan yang mengelola perkebunan teh milik keluarga Wirayudha itu akan menjadi pemasok teh di restoran hotel tersebut. Namun, hingga kini, Galih masih juga enggan keluar dari dalam ruang kerjanya. Bahkan, Prita dapat mendengar isak tangis seorang wanita dari dalam ruang kerja bosnya itu. Prita mengetuk pintu ruang kerja Galih untuk yang kesekian kalinya. Ia tidak peduli lagi jika Galih akan benar – benar memarahinya. “Pak Galih, maaf Pak, ini sudah hampir jam dua. Kalau tidak berangkat sekarang, kemungkinan Bapak akan terlambat tiba di sana.”, ujar Prita. Galih menghela napasnya. “Ya, baik. Sebentar lagi saya akan berangkat.” Kali ini, giliran Prita yang menghela napasnya. “Baik, Pak.”, balas Prita yang sudah mulai bosan dengan jawaban Galih yang mengatakan ia akan segera keluar dari dalam ruang kerjanya, tetapi pria itu masih saja mengurung diri di dalam sana. Kinanti bangkit dari atas sofa dan segera memakai pakaiannya kembali. Ia juga membantu Galang kembali berpakaian rapi. “Semangat ya rapatnya. Aku yakin kamu pasti berhasil.”, ujar Kinanti seraya tersenyum. Galih membalas senyuman manis milik Kinanti dan mengecup bibir wanita itu. “Tentu aku akan berhasil. Demi kamu.” Kinanti hanya membalas ucapan Galih itu dengan sebuah senyuman yang dipaksakan. Ia tahu tidak ada gunanya Galih bekerja keras demi dirinya. Ia bukan siapa – siapa Galih. Ia hanya seorang istri dari seorang pekerja yang bekerja di perusahaan Galih karena pria itu menolongnya setelah suaminya kehilangan pekerjaan akibat perusahaan tempat suaminya bekerja dulu gulung tikar. Prita mendesah lega saat pintu ruang kerja Galih terbuka. Ia tersenyum untuk bersiap – siap mengiringi kepergian bosnya menuju tempat klien mereka. Namun, seketika senyumnya luntur saat mengetahui ada seorang wanita yang ikut keluar dari dalam ruang kerja tersebut. Ia mengenali siapa wanita itu. Dia adalah Kinanti. Istri dari pak Rido, sang kurir di tempatnya bekerja. “Prita, saya pergi dulu, ya.”, ujar Galih. “I.. iya, Pak. Hati – hati.”, balas Prita tergagap. Sejujurnya, ingin sekali ia bertanya mengapa Kinanti menangis di dalam ruang kerja Galih. Apa wanita itu mencurahkan perasaannya pada Galih mengenai rumah tangganya dengan Rido? Rasanya tidak mungkin, pikir Prita. Bagaimanalah mungkin seorang istri dari pegawai biasa melakukan sesi curhat dengan salah satu petinggi perusahaan tempat suaminya bekerja.   ***   “Turunin aku di sini aja, Lih. Aku mau naik angkot saja.”, ujar Kinanti saat mobil Galih mulai meluncur di jalan raya. “Aku mau ajak kamu jalan – jalan.”, balas Galih. “Aku gak mau kamu terlambat datang ke rapat.” “Rapatnya besok, bukan hari ini.” “Tapi, kata sekretaris kamu..” “Aku undur rapatnya.”, ujar Galih memotong ucapan Kinanti yang belum menyelesaikan kalimatnya. “Aku mau berduaan dulu sama kamu.” Kinanti ternganga setelah mendengar penuturan Galih. Pria itu meraih tangan kanan Kinanti dengan tangan kirinya, lalu dikecupnya dalam – dalam punggung telapak tangan wanita itu. “I miss you, Kinanti. Meski pun kita sudah bertemu, aku tetap kangen sama kamu.” “Aku juga selalu kangen sama kamu.” “Bagaimana kalau kita memulai lagi dari awal?” “Jangan berharap. Kita sudah memiliki keluarga masing – masing.” “Kita tidak mencintai pasangan kita. Untuk apa dipertahankan? Semakin lama kita mempertahankan pernikahan tanpa cinta itu akan semakin lama juga kita menyakiti pasangan kita.” Kinanti terdiam sejenak. Ia memang sudah sangat muak dengan kehidupan yang dijalaninya. Namun, ia juga tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi padanya dan pada Galih jika mereka mengakhiri pernikahan mereka dengan pasangan masing – masing. “Bagaimana dengan anak – anak kita?”, tanya Kinanti. “Kita akan tetap mengurus dan merawat mereka. Bebaskan mereka untuk memilih dengan siapa mereka mau tinggal. Yang jelas, aku pasti akan membiayai semua kebutuhan anakku dan anak kamu. Bagaimana pun, setelah kita menikah, anak kamu akan jadi anak aku juga, kan?”, jawab Galih mantap. Kinanti kembali terdiam setelah mendengar jawaban Galih yang sangat meyakinkan itu. “Oh ya, siapa nama anak kamu?”, tanya Galih. “Kirana.”, jawab Kinanti singkat. “Kirana? Cantik. Seperti kamu.” “Tapi dia gak cantik.” “Aku yakin dia pasti cantik. Ibunya aja secantik kamu.”   ***   Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Hujan turun dengan sangat deras. Galang sudah menghabiskan seluruh pizza yang dibelikan oleh ibunya. Kini, ia sedang membuka akun f*******: miliknya dan melihat – lihat foto yang diunggah oleh Lena saat jam pelajaran Biologi tadi siang di laboratorium Biologi sekolah mereka. Ia sengaja memperbesar foto bersama dengan teman – teman satu kelas mereka. “Jelek!”, gumam Galang saat memandangi foto seorang gadis dengan dandanan cupu dan pakaian seragam yang terlihat lusuh. Namun, walau menurutnya gadis itu jelek, ia tetap memandangi foto itu tanpa berkedip hingga suara petir yang menggelegar membuatnya terkejut dan tanpa sengaja ponselnya terlepas dari genggamannya. Ia berlari keluar dari dalam kamar tidurnya dan datang menghampiri ibunya yang berada di ruang tamu rumah mereka. “Ma.”, teriak Galang seraya menuruni tangga rumahnya. Azalea segera menghapus air matanya dan menatap anak satu – satunya yang ia miliki dengan senyum terulas di wajahnya. “Sini, Nak.”, ujar Azalea seraya merentangkan kedua tangannya yang segera disambut oleh Galang. Galang duduk di samping Azalea dan memeluk ibunya itu dengan sangat erat. “Gapapa, Sayang. Cuma petir aja kok.”, ujar Azalea dengan sangat lembut. “Suaranya nakutin.”, balas Galang. “Kamu gak boleh selamanya menghindar dari ketakutan kamu, Galang. Kamu harus lawan ketakutan kamu. Kalau tidak, dia yang akan menghancurkan hidup kamu.” “Gak mau. Mama aja yang lawan.” “Gak selamanya Mama bisa nemenin kamu.” Sontak Galang melepaskan pelukannya dan menatap ibunya. “Mama mau ke mana?” Azalea tersenyum dan membelai kepala anaknya. “Semua manusia akan pergi meninggalkan dunia. Kita semua hanya menunggu giliran.” “Tapi Mama gak boleh pergi dulu sebelum Galang besar, kerja, menikah, punya anak dan punya cucu.” “Mama juga mau lihat kamu dewasa dan menikah. Mama juga mau lihat cucu Mama.” “Iya, Ma. Makanya, Mama jangan pergi dulu.” Azalea hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya walau ia ragu ia akan dapat melakukannya. “Galang udah punya pacar?” “Belum.” “Oh ya?” Galang pun menganggukkan kepalanya. “Kenapa? Anak Mama kan ganteng. Masa gak ada yang mau?” “Galang tuh terlalu ganteng makanya cewek – cewek pada minder.” Azalea menghela napasnya dan tersenyum. “Siapa yang minder?” “Kirana.” Kedua mata Azalea terbelalak saat mendengar nama seorang gadis yang disebut oleh putranya itu. Galang pun ternganga saat menyadari bahwa ia salah berucap setelah melihat raut wajah ibunya yang sangat terkejut. “Ma, Galang tidur dulu, ya.”, ujar Galang yang berusaha kabur dari ibunya yang diduga akan menginterogasinya dengan berbagai pertanyaan tentang gadis jelek itu. “Gak boleh. Jawab dulu Kirana itu siapa?”, ujar Azalea yang sesuai dengan prediksi Galang. “Bukan siapa – siapa.”, balas Galang. “Cantik?”, tanya Azalea yang mulai menggoda anaknya. “Enggak!”, jawab Galang yang sewot dengan pertanyaan ibunya. “Kirana itu artinya cantik.” “Tapi dia jelek, Ma.” “Kalau emang jelek, kenapa kamu suka sama si Kirana?” “Galang gak suka sama Kirana.” “Kenapa?” “Dia jelek. Seleranya juga rendah.” “Seleranya rendah?” “Iya. Dia suka sama cowok paling culun di sekolah.” Azalea pun terkekeh setelah menyadari bahwa putranya sedang merasa cemburu. “Kamu harus jujur sama perasaan kamu, Galang. Kalau kamu aja gak jujur, ya gimana Kirana tau kamu suka sama dia?” “Galang gak suka sama Kirana!” Azalea berusaha menahan tawanya agar tawanya tidak meledak walau tingkah anaknya itu sangat menggelikan. “Ya udah, iya deh. Kirana itu jelek dan Galang gak suka sama Kirana. Ya kan?” Galang menganggukkan kepalanya dengan sangat mantap. “Tapi, emang ada yang suka sama cowok yang takut sama petir?” Galang pun cemberut mendengar pertanyaan ibunya. Ia hanya memeluk ibunya dengan erat. “Ma, papa belum pulang, ya?” “Belum. Mungkin papa lagi nunggu hujan reda.”   ***   Entah sudah berapa lama Kinanti berada di bawah kungkungan Galih. Tak sedetik pun pria itu melepaskannya. Bahkan, Galih sengaja menon aktifkan ponsel mereka agar tidak ada panggilan telepon yang mengganggu keintiman mereka. “Galih..” “Ehm..” “Aku mau pulang. Anak aku pasti udah nungguin aku di rumah.”, ujar Kinanti dengan terbata – bata. Galih tidak mempedulikan rengekan Kinanti. Ia terus mengurung wanita itu di bawahnya hingga ia merasa puas atas pencapaiannya pada titik tertinggi dari percintaan mereka. Ia mengambrukkan tubuhnya di samping Kinanti dan merapikan rambut wanita itu yang sudah sangat berantakan. “Ayo, kita pulang. Kita selesaikan semuanya malam hari ini.”, ujar Galih. Perlahan, Kinanti membuka kedua kelopak matanya dan menatap Galih. Dianggukkan kepalanya dengan gerakan lemah karena tenaganya terkuras habis setelah Galih menidurinya seharian. Tekad mereka sudah bulat. Mereka akan mengakhiri ikatan pernikahan mereka dengan pasangan masing – masing. Setelah itu, mereka akan menikah dan membangun keluarga baru.   ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN