Chapter 1 – First Love
Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam. Revan dan Rika baru saja pulang dari perjamuan makan malam di rumah keluarga Revan. Hujan turun cukup deras membuat Revan mengendarai mobilnya dengan hati – hati. Revan menghentikan laju mobilnya ketika lampu lalu lintas memamerkan warna merah yang mengharuskan semua pengendara untuk menghentikan laju kendaraannya. Pria itu menatap istrinya yang tengah termenung memandangi bulir – bulir air hujan yang menghantam kaca mobil suaminya. Revan menggenggam tangan kanan Rika dan membawanya untuk dikecup dalam – dalam.
Sewaktu di rumah keluarga Revan tadi, Rika mendapat sindiran keras dari mertua dan saudara iparnya. Mereka sudah menikah selama lima tahun, namun belum jua diberikan kepercayaan untuk memiliki keturunan. Sudah berbagai upaya mereka lakukan, tetapi belum juga membuahkan hasil.
Rika tak kuasa lagi untuk menahan air matanya yang mendesak untuk dikeluarkan. Tangisnya pecah. Ia memeluk suaminya dengan erat. Sayang, klakson kendaraan di belakang mereka memaksa mereka untuk mengakhiri pelukan itu. Mereka tidak menyadari bahwa lampu lalu lintas sudah berganti warna.
Setibanya di depan pintu pagar rumah mereka, Revan keluar untuk membuka pintu pagar. Samar – samar, ia mendengar suara tangis seorang bayi mungil di tengah – tengah hujan yang semakin deras. Bukannya membuka pintu pagar, Revan justru mencari sumber suara tangis yang memilukan itu. Sementara itu, di dalam mobil, Rika memandangi suaminya dengan kesal. Bukannya cepat membuka pintu pagar malah pria itu berjongkok entah mencari apa. Rika berpikir mungkin kunci gembok pintu pagar rumah mereka terjatuh. Ia pun keluar dari dalam mobil untuk membantu suaminya mencari benda mungil itu.
“Sayang, kamu cari apa sih? Kuncinya jatuh?”, tanya Rika saat menghampiri Revan.
“Kamu denger suara bayi nangis gak?”, tanya Revan.
“Hah? Bayi nangis?”, bukannya menjawab, Rika malah balik bertanya. Seketika, bulu kuduknya berdiri. Tengah malam begini ada suara tangis bayi padahal tetangga kanan, kiri, depan dan belakang mereka tidak ada yang memiliki bayi. Anak – anak tetangga mereka sudah besar. Jalanan pun sudah sangat sepi. Hanya ada hansip komplek yang berjaga di pos hansip. Rika mencengkeram lengan baju suaminya dengan sangat erat. “Sayang, masuk aja yuk. Aku takut.”
“Bayi!”, teriak Revan yang seketika membuat Rika sontak memeluk suaminya dan memejamkan mata.
Rasa penasaran Revan pun terbayar sudah. Entah siapa yang menaruh keranjang bayi di dekat pintu pagar rumahnya.
“Sayang, ada bayi.”, ujar Revan lagi. Rika memberanikan diri membuka kedua kelopak matanya. “Itu Sayang. Siapa yang naruh keranjang bayi di situ?”
Mereka mendekati keranjang bayi itu dan membukanya. Benar. Ada seorang bayi laki – laki di dalam sana. Kedua mata mereka terbelalak melihat bayi mungil itu. Sudah pasti bayi itu kedinginan. Rika segera mengambil bayi itu dan mendekapnya dalam gendongan.
“Cup cup cup. Kamu kedinginan ya? Kita masuk ke rumah ya.”, ujar Rika pada bayi itu.
Revan membuka pintu pagar itu dan memayungi mereka saat berjalan ke dalam rumah. Setelah itu, barulah ia kembali ke mobilnya untuk memasukkan kendaraan beroda empat itu ke dalam garasi rumahnya yang cukup luas itu.
***
Rika membalut bayi mungil itu dengan selimut hangat. Ia menggendong bayi itu dan memeluknya dengan hangat agar manusia mungil itu tertidur lelap.
“Siapa ya yang berani buang bayinya di depan rumah kita?”, tanya Revan.
“Gak tau.”, balas Rika yang tidak mengalihkan pandangannya pada bayi gempal dalam gendonganya.
“Besok kita lapor polisi. Sekarang kita tidur dulu. Bayi itu tidur di sofa aja ya.”
Tampak raut kekecewaan di wajah Rika, namun ia tetap menuruti perintah suaminya.
***
Keesokan paginya, Revan dan Rika membawa bayi laki – laki yang menginap di rumah mereka semalam ke kantor polisi. Pihak kepolisian mengambil alih bayi itu dan mendatangi rumah Revan untuk menyelidiki tempat kejadian perkara dan menanyakan beberapa pertanyaan pada warga sekitar yang sekiranya ada yang melihat orang yang meletakkan keranjang bayi di depan rumah itu. Namun, hasilnya nihil.
Setelah menyerahkan bayi laki – laki itu pada pihak berwajib, Revan mendapati istrinya tampak murung dan tak banyak bicara seperti biasanya. Istrinya itu sering kedapatan tengah melamun. Kali ini, ia tidak tahan lagi dengan tingkah istrinya. Ia membanting koran yang sedang dibacanya ke atas meja hingga Rika tersentak dari lamunannya.
“Kamu mikirin apa?! Kenapa kamu sering banget ngelamun?!”
“Bayi itu. Aku mau bayi itu menjadi anak kita.”
“Apa?! Kamu gila?! Anak itu gak jelas asal usulnya!”
“Ya, siapa tau Tuhan sengaja mengirimkan anak itu untuk kita.”
“Jangan bicara sembarangan! Aku gak mau lihat kamu seperti ini lagi.”
Revan bangkit dari kursi halaman belakang rumahnya dan kembali masuk ke dalam rumah. Sepertinya, untuk beberapa hari ini akan ada perang dingin di rumahnya.
***
Sudah satu minggu mereka berpisah dengan bayi lucu itu. Apakah polisi sudah mengetahui siapa yang membuang bayi itu? Apakah polisi sudah mengetahui siapa orang tua bayi itu? Atau apakah sudah ada orang yang mengadopsi bayi itu? Pikiran – pikiran buruk itu menghantui benak Rika hingga membuat Rika jatuh sakit. Sepanjang hari ia menangis dan merengek agar suaminya mau mengadopsi bayi itu. Revan sampai pusing dibuat Rika. Tidak sedetik pun Rika mengganggunya dengan perbincangan mengenai bayi yang bahkan mereka tidak tahu dari mana asalnya.
“Kasihan bayi itu. Dia kedinginan. Orang tuanya jahat banget buang bayi selucu itu.”, ujar Rika seraya memandangi Revan yang sedang serius menonton berita tengah malam di televisi. Sayangnya, Revan tidak tertarik dengan apa yang diucapkan Rika. Ia tidak membalas apa pun ucapan istrinya itu. “Kalau misal ada orang yang mengadopsi bayi itu dan dia kasar gimana ya? Apa jangan – jangan nanti bayi itu disuruh ngamen? Atau malah diperjual belikan?”
“Rika! Stop it! Rasanya kepalaku mau pecah dengar kamu ngomongin bayi jalanan itu terus!”, ujar Revan membentak istrinya dan melempar cangkir teh ke arah tembok rumahnya hingga cangkir itu pecah dan membuat Rika benar – benar terdiam melihat suaminya menunjukkan sifat aslinya. “Sekali lagi bahas bayi yang gak jelas itu, aku gak akan segan – segan menampar kamu!”
Rika menundukkan pandangan dan menganggukkan kepalanya. Ia tidak berani menatap suaminya yang sedang murka padanya.
Revan pergi ke kamar tidurnya dan meninggalkan Rika yang sedang menangis sendirian di ruang keluarga rumah besar itu.
***
Sinar mentari yang masuk melalui celah jendela kamar tidurnya berhasil membuatnya terjaga dari tidur nyenyaknya. Tampak suaminya sudah berpakaian rapi dengan kemeja putih yang tertutup dengan sweatshirt berwarna hitam dan celana jeans berwarna biru dongker. Mau ke mana suaminya? Mengapa tidak membangunkannya? Apakah pria itu benar – benar marah hingga tak membangunkan istrinya? Biasanya pria itu sangat berisik jika istrinya masih tertidur di pagi hari sebab ia mau istrinya membuatkannya sarapan dan menyiapkan pakaian kerja yang akan dikenakannya untuk ke kantor.
“Pagi, istriku yang pemalas.”, ujar Revan yang kemudian duduk di tepi ranjang dan mencium kening istrinya. Tentu Rika terkejut dengan perubahan sikap Revan yang mendadak manis setelah tadi malam suaminya itu ingin memakannya hidup – hidup. “Ayo mandi. Katanya kamu jemput anak kamu.”, Rika mengerutkan dahinya. Sejak kapan ia punya anak? “Gak mau? Atau mau aku mandiin?”
Rika melihat suaminya tersenyum padanya. Senyum pun ikut terkembang di wajah cantiknya. Ia memeluk suaminya dan mengecup bibir pria tampan itu.
“Uh, sikat gigi dulu dong.”, ujar Revan memprotes istrinya yang menciuminya dengan iler yang masih menghiasi wajah cantik itu.
Rika pun terkekeh. Sekali lagi ia mengecup bibir pria itu, lalu ia bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum menjemput bayi mungil yang sudah lama ia rindukan.
***
Seperti inisial nama mereka, bayi mungil itu pun diberi nama dengan awalan huruf R. Revaldo. Nama yang bagus bukan?
Revan dan Rika sangat menyayangi Aldo. Bagi mereka, Aldo adalah anugerah terindah dalam pernikahan mereka. Sebagaimana Aldo juga sangat menyayangi kedua orang tuanya. Apa pun yang diinginkan Aldo, mereka akan memberikannya. Bahkan, beberapa teman di sekolahnya sampai iri padanya karena Aldo selalu memiliki mainan – mainan yang bagus dan berharga selangit. Namun, kebahagiaan Aldo tidaklah bertahan lama. Di usianya yang ke enam tahun, tiba – tiba saja ibu angkatnya mengandung. Ayah dan ibunya pun tidak lagi memberikan perhatian penuh padanya. Mereka hanya mempedulikan bayi yang masih di dalam kandungan itu. Dan setelah bayi itu lahir, hancurlah hidup Aldo yang sebelumnya dilimpahi kebahagiaan. Orang tua angkatnya tidak lagi peduli padanya. Tidak peduli apakah ia sudah sarapan sebelum berangkat sekolah, apakah pakaiannya sudah kekecilan, apakah ia mengalami kesulitan di sekolah. Bahkan, guru sekolah Aldo sampai menelepon orang tua angkat Aldo untuk datang ke sekolah sebab tidak ada satu pun wali Aldo yang pernah datang untuk mengambil raport. Mereka pun mulai merasa terganggu dengan kehadiran Aldo di tengah – tengah keluarga mereka. Kalau tidak mengingat reputasi mereka yang akan hancur jika mengembalikan anak malang itu ke panti asuhan, sudah pasti Revan dan Rika akan membuang anak itu. Demi menjaga nama baik mereka, terpaksalah mereka merawat dan menyekolahkan Aldo. Tetapi, jangan harap orang tua angkat Aldo mau mengurusnya. Revan selalu meminta asisten rumah tangganya yang mengurusi keperluan Aldo dan mengambil raport anak angkatnya yang jarang sekali mendapat nilai memuaskan.
***