Chapter 5 – The Rain is Pouring Down

2257 Kata
Galih mengecupi seluruh wajah Azalea seusai mereka b******a. Walau merasakan nyeri di bagian dadanya, Azalea tetap memaksakan diri untuk melaksanakan tugasnya sebagai seorang istri. Ia ingin melakukannya dengan Galih di saat ia belum kehilangan miliknya yang berharga. “Oh ya, tadi kamu bilang ada yang mau kamu omongin.”, ujar Azalea setelah berhasil menetralkan deru napasnya yang terengah – engah. Galih terdiam sejenak. Ia rasa ia tidak akan tega meninggalkan Azalea dalam keadaan seperti ini. Ia juga tidak akan sanggup jika harus kehilangan Galang karena Galang pasti akan membencinya saat mengetahui ayahnya pergi meninggalkan ibunya yang sedang sakit. “Aku mau pergi piknik sama kamu dan Galang.” Senyum pun terkembang di wajah Azalea. Sudah lama Galih tidak mengajak mereka pergi jalan – jalan. Suaminya itu selalu saja menenggelamkan diri dalam pekerjaannya. “Ayo, kita piknik sebelum aku operasi.” “Iya. Hari Sabtu minggu ini kita pergi piknik, ya.”   ***   Galang berjalan menuruni tangga rumahnya. Di pundaknya tergantung tas ransel berwarna hitam yang sering ia bawa ke sekolah. Dahinya berkerut saat mendengar suara tawa membahana dari arah dapur rumahnya. Ia pun segera menghampiri dapur rumahnya dan mendapati kedua orang tuanya sedang memasak bersama dengan ditemani oleh bik Surti yang merasa kesal karena tuan dan nyonyanya bukan membantunya memasak, justru mereka membuat dapur menjadi berantakan. “Eh, Galang, kamu udah bangun.”, ujar Galih, seraya memegang spatula, saat tak sengaja menatap Galang yang berdiri di depan pintu dapur. “Ya.”, balas Galang seraya tersenyum. Diam – diam, ia merasa senang karena kini keadaan rumahnya sudah kembali ceria. Ayah dan ibunya pun sudah kembali mesra. “Galang, mau sarapan sekarang?”, tanya Azalea yang hanya dijawab dengan anggukkan kepala saja oleh Galang. “Galang mau sarapan apa?” “Sereal.” “Oke. Mama buatin, ya. Galang tunggu aja di meja makan.” Galang pun menuruti perintah ibunya. Ia menunggu di meja makan seraya memainkan permainan di ponselnya. Tak berapa lama kemudian, semangkuk sereal tiba di hadapannya. Dua piring omelette yang dibawakan oleh ayahnya pun tersaji di meja makan. Galang terus memperhatikan orang tuanya yang sedang menyantap omelette yang terlihat menggiurkan. “Galang mau cobain omelette Mama?”, tanya Azalea karena Galang terus saja memperhatikan omelette yang disantap ayah dan ibunya. Galang menganggukkan kepalanya dan piring omelette Azalea pun berpindah ke hadapannya. “Gimana, Lang? Enak kan omelette buatan Papa?”, tanya Galih. “Lumayan.”, balas Galang. “Cuma lumayan?” Galang menganggukkan kepalanya. Galih pun merengut sebal dan Azalea terkekeh karena Galang terlalu jujur. “Galang, ini pertama kalinya lho Papa buatin kita sarapan.”, ujar Azalea. “Terus?”, tanya Galang. “Y rasa omelette ini enak banget untuk level dimasak sama orang yang jarang banget masak.”, balas Azalea. “Tapi kan emang rasanya cuma lumayan.”, protes Galang. Galih mengambil piring omelette di hadapan Galang dan memberikannya pada Azalea. Galang pun ternganga dengan apa yang dilakukan oleh ayahnya. “Gak usah dimakan kalau protes terus.” “Siapa yang protes?” “Ya kamu.” “Galang gak protes. Galang hanya mengungkapkan kebenaran.” Galih pun ternganga setelah mendengar ucapan anak semata wayangnya. “Mama, anak kamu ngeselin banget sih.” “Nurunin sifat kamu, Pa.”, balas Azalea seraya terkekeh yang membuat Galih mengelitiki pinggangnya dan ia pun tertawa sangat karena merasa sangat geli. Senyum terkembang di wajah Galang, yang biasanya menunjukkan raut wajah datar itu, ketika melihat kemesraan kedua orang tuanya. “Oh ya, hari Sabtu besok kita pergi piknik ya, Lang.”, ujar Galih. “Piknik?”, ujar Galang dengan kedua mata berbinar. “Iya, kita piknik ke taman buah. Kamu mau kan?” “Mau!!!”   ***   Pagi hari itu, Prita bersama dengan Tina, sang receptionist, dan beberapa karyawan teman bergosipnya berkumpul di pantry untuk membicarakan isu terhangat pekan ini. “Eh, lo semua pada nyadar gak sih istrinya si pak Rido sering nemuin pak Galih?”, tanya Tina. Prita segera menelan teh yang baru saja diseruputnya saat mendengar ucapan Tina. “Coy, kemarin gue denger ada suara cewek lagi nangis di dalem ruangannya si bos. Dan lo tau siapa tuh cewek?” “Istrinya pak Rido?”, tanya Mumun, salah satu office girl. “Tepat!”, balas Prita. “Hah?”, balas mereka semua. “Ah, yang bener lo.”, ujar Citra, salah satu marketing staff. “Ya masa gue bohong? Kemarin gue ngetuk pintu ruangannya si bos berkali – kali buat ngingetin dia kemarin itu dia ada janji meeting sama orang dari Hotel Panca. Waktu dia keluar dari ruangannya, ada cewek yang ikut keluar dari sana. Ya, ceweknya itu si istrinya pak Rido.” “Ah, lo salah lihat kali, Prit.”, ujar Citra. “Ya, kagalah. Kita semua kan tau yang mana istrinya pak Rido. Kan tiap hari dia ke sini bawain makan siang buat lakinya.”, balas Prita. “Cantik sih istrinya si Rido.”, ujar Mumun. “Ya lebih cantik bu Azalea dong.”, balas Prita lagi. Diam – diam, dari luar ruang pantry, Rido mendengarkan ucapan para wanita di dalam pantry tersebut. Ia pun mengurungkan niatnya untuk datang menghampiri pantry dan bergegas kembali ke ruang mailing room untuk mengambil dokumen yang harus diantarkan ke klien dan vendor pada pagi hari ini.   ***   Jam sudah hampir menunjukkan pukul 12 siang, tetapi Rido masih menunggu sang klien mencari – cari dokumen Bukti Potong Pajak Penghasilan Pasal 23 yang telah diminta oleh tax staff perusahaan perkebunan teh milik keluarga Wirayudha. From : Kinanti [Mas, aku udah sampai di kantin kantor kamu] Entah Rido harus tersenyum atau sedih membaca pesan singkat yang dikirimkan oleh istrinya tersebut. Ucapan dari para rekan kerja di kantornya membuat pikirannya kacau. Ia pun membalas pesan singkat itu dengan juga singkat. To : Kinanti [Aku masih di jalan. Agak telat balik ke kantornya]   ***   To : Rido [Hati2 di jalan ya mas] Kinanti tersenyum saat notifikasi ponselnya memberikan pemberitahuan bahwa pesan singkat itu sudah terkirim ke nomor ponsel suaminya. “Kin.” Kinanti menoleh pada sumber suara yang memanggilnya dan mendapati Galih tengah berdiri di hadapannya. Pria itu tersenyum padanya, tetapi Kinanti dapat merasakan bahwa itu adalah senyum perpisahan karena Galih juga memberikan senyuman itu ketika mereka berpisah dulu. “Ya?” “Ada yang mau aku omongin.” Kinanti menganggukkan kepalanya, lalu mengikuti langkah Galih menuju ruang kerja pria itu.   ***   Kinanti duduk di sofa tamu ruang kerja Galih seraya memainkan jemari tangannya. Ini adalah kedua kalinya, ia mengalami hal ini, tetapi ia masih saja merasa tegang. “Kin.”, ujar Galih seraya membawa kedua tangan Kinanti dalam genggaman tangannya. “Aku sayang sama kamu.” Kinanti menundukkan kepalanya. Ia yakin kata – kata perpisahan itu terulang lagi setelah dua puluh dua tahun yang lalu Galih mengucapkan kata – kata itu. “Tapi, ada sesuatu yang gak bisa kita paksakan.”, lanjut Galih. Benar saja dugaan Kinanti. Kata – kata itu terucap lagi dari bibir kekasihnya. “Aku gak bisa ninggalin Azalea.”, lanjut Galih lagi. “Tapi kamu bisa ninggalin aku?”, tanya Kinanti yang mulai terpancing emosinya karena Galih selalu mengatakan bahwa ia adalah wanita yang paling ia cintai, tetapi nyatanya pria itu lebih memilih bersama wanita lain. Galih tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Aku gak akan pernah bisa ninggalin kamu seutuhnya. Kamu tau itu.” Kinanti tersenyum, tetapi air mata mengalir di pipinya. Ia menganggukkan kepalanya. Ia mengerti dengan posisi Galih karena ia pun mengalaminya. Ia sudah memiliki suami dan anak yang juga membutuhkannya. “Boleh aku tau kenapa tiba – tiba kamu berubah pikiran?” Galih terdiam sejenak sebelum menjawab pertanyaan Kinanti. “Azel sakit. Dia butuh aku. Aku juga gak mungkin ninggalin anak aku dalam kondisi seperti ini.” “Sakit apa?” “Kanker payudara.” “Oh, ya ampun.”, ujar Kinanti yang benar – benar terkejut setelah mengetahui penyakit yang sedang diderita Azalea. “Mohon doanya, ya.” Kinanti pun menganggukkan kepalanya dengan mantap. “Pasti. Aku akan mendoakan yang terbaik untuk kamu dan keluarga kamu.” Galih membalas ucapan tulus kekasihnya itu dengan memberikan senyuman padanya. “Thanks.”   ***   Pukul 12.30 siang, Rido kembali tiba di kantornya. Sebelum pergi menemui istrinya di kantin, ia menyempatkan diri memberikan dokumen – dokumen yang dibawanya kepada masing – masing penerima. Setelah dokumen – dokumen itu ia letakkan di meja kerja masing – masing penerima, ia pun mengutuki dirinya atas keputusan yang telah ia buat. Ia memergoki Kinanti yang baru saja keluar dari dalam ruang kerja bos pemilik perusaaan tempatnya bekerja. “Ri.. Rido?”, ujar Kinanti gelagapan saat melihat Rido tengah berdiri di hadapannya dengan raut wajah terkejutnya. “Kin.”, balas Rido. “Tadi saya yang mengajak Kinanti ke ruang kerja saya. Tidak masalah, kan?”, ujar Galih. “Tidak, Pak.”, balas Rido. “Oke, saya pergi dulu, ya.”, ujar Galih dengan tenang. “Iya, Pak. Hati – hati.”, balas Rido. Setelah Galih keluar dari dalam gedung kantornya, Kinanti dan Rido masih berdiam diri di tempat mereka saat ini. Rido dapat melihat Kinanti memainkan jemarinya yang tengah menggenggam erat rantang yang dibawanya. Kinanti memang memiliki kebiasaan seperti itu di saat ia merasa gugup. “Ayo, kita ke kantin.” Kinanti menganggukkan kepalanya, lalu mereka berjalan bersama menuju kantin yang berada di halaman belakang gedung kantor tersebut. Kinanti melepas rantang makan siang dibawanya dan menyediakannya pada Rido. Hal yang tidak pernah ia lakukan seumur hidupnya. Selama ini, Rido yang selalu melepas ikatan pada rantang terebut. Rido kembali merasa bingung. Entah harus merasa senang atau sedih atas perlakuan Kinanti padanya. Sikap wanita itu melunak padanya sejak tadi malam. Namun, belum 24 jam hal itu berlangsung, siang ini ia sudah disuguhkan oleh sebuah keraguan. “Tadi pak Galih ngomong apa sama kamu?”, tanya Rido di tengah – tengah acaranya menyantap hidangan masakan buatan ibu mertuanya. Tubuh Kinanti terasa kaku sejenak setelah mendengar pertanyaan Rido. Namun, sebisa mungkin ia bersikap tenang seolah tak terjadi apa pun. “Cuma ngajak ngobrol sebentar. Gak ada yang penting.” “Yakin gak ada yang penting?” “Dia cuma tanya apa kamu suka sama pekerjaan kamu. Dia merasa gak enak sama aku karena cuma mempekerjakan kamu sebagai kurir padahal kamu suami temennya.” “Oh. Gapapa kok. Kan memang cuma itu yang bisa aku kerjakan. Aku senang dengan pekerjaan aku. Gajinya lumayan.” “Syukurlah.” “Oh ya, aku udah janji mau belikan tas untuk Kirana. Sabtu besok kita ajak Kirana ke mall untuk beli tas sekolahnya, ya.” Kinanti tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Entah sudah berapa lama mereka tidak pergi jalan – jalan bersama.   ***   Suara guntur dari langit terdengar dengan sangat jelas. Langit mulai menghitam. Awan gelap menghiasi kota Bandung siang hari itu. Kinanti melangkah terburu – buru menuju kantor tempat suaminya bekerja. Seperti biasa, hari ini ia kembali membawakan makan siang untuk suaminya. Namun, kali ini hidangan makan siang itu berbeda. Bukan Danti yang memasaknya, tetapi Kinanti. Wanita itu sengaja memasak sayur asam dan ayam goreng kesukaan Rido. Ia sudah memutuskan untuk melupakan Galih. Apa yang dikatakan oleh kekasih gelapnya kemarin itu memang benar. Mereka sudah tidak mempunyai masa depan untuk hubungan mereka. Kini mereka telah memiliki kehidupan masing – masing. Terlebih, sudah ada anak yang terlahir dari pernikahan mereka dengan pasangan masing – masing. Hujan deras turun seketika di saat Kinanti belum tiba di tempat yang dituju. Ia pun mengutuki dirinya yang lupa membawa payung padahal biasanya ia tidak pernah absen membawa benda itu. Ia semakin mempercepat langkahnya. Tubuhnya sudah basah kuyup. Tiba – tiba, suara klakson mobil memaksanya untuk menghentikan langkah kakinya. Kaca jendela mobil itu turun dan terlihatlah Galih yang sedang berada di kursi kemudi. “Kinanti, ayo masuk.” “Gak usah, Lih. Aku jalan kaki saja. Udah deket kok.” Kinanti kembali melangkah di tengah derasnya hujan. Galih pun keluar dari dalam mobilnya dan menyusul Kinanti. Ditariknya lengan wanita itu dan menyeretnya masuk ke dalam mobil. “Galih, aku lagi basah kuyup begini.”, protes Kinanti saat Galih sudah kembali ke kursi kemudi. “Setidaknya kamu gak lebih lama lagi kena hujan.”, balas Galih yang sudah kembali melajukan mobilnya menuju kantornya. “Kamu dari mana?” “Meeting di hotel Panca.” “Oh.” Kinanti pun menyadari bahwa Galih baru saja kembali dari rapat yang kemarin tertunda akibat pria itu mengurungnya seharian di dalam kamar hotel. Setibanya di halaman parkir yang khusus disediakan bagi para petinggi kantor tersebut, pak Suratmin, salah seorang security, segera menghampiri pintu mobil Galih untuk memberikan payung pada bosnya. Galih segera mengambil payung tersebut setelah keluar dari dalam mobilnya. Lalu, ia berjalan menghampiri Kinanti agar wanita itu tidak lagi terkena paparan air hujan. Mereka pun masuk ke dalam gedung kantor dengan pak Suratmin yang ternganga melihat bosnya sangat akrab dengan istri seorang pengantar dokumen. Galih membawa Kinanti ke dalam ruang kerjanya. Ia segera memberikan handuk dari dalam laci meja kerjanya pada Kinanti. Kinanti pun segera mengelap kepalanya dengan handuk tersebut. Galih membuatkan teh hangat untuk Kinanti di pantry ruang kerjanya. “Baju kamu basah. Mau sweater aku? Azel nyimpen beberapa baju aku di laci meja kerja aku.” “Hah? Gak usah, Lih.” “Untuk sementara aja. Baju kamu mau coba aku keringin pakai hair dryer-nya Azel. Dia naruh perlengkapannya juga di sini, jadi kalau ada acara kantor, dia bisa dandan di sini.” “Oh, begitu.” Galih segera memberikan sebuah sweater pada Kinanti. Tanpa pikir panjang, Kinanti melepas kemeja dan tank top yang sedang dipakainya. Galih berusaha keras mengalihkan pandangannya dari Kinanti selama wanita itu berganti pakaian. “Ah.”, desah Kinanti saat tanpa sengaja sweater milik Galih yang dipegangnya terjatuh. Ia pun segera mengambil sweater itu dari lantai dan tanpa ia sadari desahannya telah membuat Galih kembali memandangnya. Ia pun segera menutup area dadanya dengan sweater tersebut. Dengan susah payah, Galih menelan ludahnya melihat kulit putih mulus milik Kinanti yang terekspos jelas di hadapannya. Kinanti membalik tubuhnya dan segera memakai sweater tersebut. Galih mengambil pakaian yang telah dilepas oleh Kinanti untuk mengeringkannya dengan hair dryer. Namun, apa daya, hasratnya telah menguasai pikirannya. Dilemparkannya pakaian Kinanti ke sembarang arah. “Kin.”, ujar Galih seraya memegang kedua lengan Kinanti. Kinanti dapat menangkap kedua mata Galih yang ingin segera memangsanya. “Kamu kedinginan?” “Ya.” “Mau aku buat hangat?” Kinanti sadar ia adalah istri dari pria lain. Ia sadar bahwa pria di hadapannya kini sudah memiliki istri yang sah. Kinanti juga sadar ia dan suaminya sudah memiliki seorang putri yang cantik. Namun, ia tetap menganggukkan kepalanya karena ia sadar ia juga menginginkan pria itu. Bibir mereka pun saling bertautan dan kedua mata mereka terpejam. Lidah pria itu menyusuri rongga mulutnya hingga lidah mereka juga saling bertautan. Pria itu mendorong tubuh Kinanti hingga jatuh terlentang di atas sofa. Dinaikinya tubuh wanita itu dan dilepaskannya setiap benang yang menempel pada tubuh indah yang berada tepat di bawahnya. Walau sudah ia lihat berkali – kali, ia tetap terpukau pada keindahan lekuk tubuh yang sangat sempurna baginya itu. “You are so beautiful, Kinanti.” Kinanti tidak lagi dapat menguasai pikirannya. Dilepaskannya kancing kemeja Galih satu per satu hingga terlihatlah d**a bidang pria itu. Walau pria itu sudah tidak lagi muda, tetapi pria itu masih saja gagah. Disusurinya d**a bidang itu dengan jemari lentiknya. Tubuh itu sangat indah. Dan tubuh itulah yang seharusnya menjadi miliknya. Air mata mengalir dari kedua bola matanya. Entah sampai kapan mereka akan bersembunyi seperti ini. Ia ingin berteriak agar semua orang tahu bahwa lelaki itu hanyalah miliknya seorang.   ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN