Rebecca mengusap seluruh tubuhnya, merasa begitu jijik sekali. Rasa letih teramat menyiksa dari tubuhnya, terutama di bagian pribadinya. Pria itu tertidur pulas tanpa rasa bersalah setelah memaksanya. Hari pertama, belum dua puluh empat jam pernikahannya, Becca sudah amat tersiksa.
Gemetar, Becca sampai lupa caranya berhenti menangis. Terdiam, ia melamun menatap air yang merendam tubuhnya. Hingga keinginan itu mendorongnya kian menenggelamkan diri.
Menahan napas, kematian adalah jalan satu-satunya yang terlintas di pikiran Becca saat itu. Wajahnya mulai memucat, Becca masih memejamkan mata, kala bayangan wajah Ayah dan adik laki-lakinya membuat Becca membuka mata hingga begitu saja muncul ke permukaan. Menggagalkan keinginan matinya.
“Huh…” ia mengatur napasnya, mengusap wajahnya.
Mati mungkin menuntaskan hidupnya, tetapi tidak dengan masalah yang harus ditanggung keluarganya nanti. Pastinya kian rumit.
“Tidak, aku tidak bisa kalah!” bisiknya. Becca mengepalkan tangan. Teringat ucapan Sean semalam, sebelum mulai merenggut kesuciannya. Sean bilang, akan melepaskannya setelah ia memberinya keturunan berupa anak laki-laki.
“Aku hanya harus bertahan sampai memberinya anak laki-laki, bukan?” bisiknya lagi. Syarat tidak punya perasaan. Lagi pula sejak pertemuan pertama mereka, Becca tahu jika Sean memang pria dingin juga arrogant.
Becca segera meraih bathrobe, baru hendak menutupi tubuhnya kala menatap pantulan bekas tanda yang Sean tinggalkan di beberapa tempat di tubuhnya. Ia membuang wajah, mengebaskan perasaannya. Becca tidak akan pernah lupakan malam pertama mereka. Bukan bagian indah seperti penganti baru lainnya, melainkan bagian luka yang akan terus tertanam abadi dihatinya.
Becca segera memakat jubah handuknya. Mengikat simpulnya. Kakinya mengambil langkah keluar kamar mandi. Berjalan pelan, untuk tidak mengusik Sean seperti ibaratnya mengusik singa tidur yang bisa membunuhnya.
Becca mematung menatap tubuh Sean yang hanya berbalut selimut tebal di bagian pinggang ke bawah. Ia berjalan mendekati pria itu, kemudian mata Becca tertuju pada bantal, sebuah dorongan menghabisi Sean menggunakan bantal tersebut muncul.
Dengan kedua tangannya memegang sisi bantal, Becca sudah siap mengarahkannya pada wajah Sean, tetapi kemudian Becca memalingkan tatapannya, bersamaan mundur dan membuang bantal tersebut. “Aku tidak bisa!” ia tak mau jadi pembunuh.
Lalu berjalan cepat mencari pakaian yang bisa ia gunakan. Alih-alih memilih kembali ke sisi Sean, ia lebih memilih berbaring di sebuah sofa tanpa selimut.
Beberapa saat, Becca tidak bisa menutup mata selain terus menghitung domba dalam hatinya sambil menatap langit-langit kamar yang pencahayaan terang. Becca terbiasa tidur tanpa pencahayaan terang, tetapi detik ini, harus mulai membiasakan.
Satu helaan napas dalam kembali menderu darinya, Becca coba memejamkan mata dan tidur. Istri seorang Sean, alih-alih begitu, ia lebih suka menyebutnya tawanan.
***
“Dia sudah bangun?” tanya Sean yang baru duduk di ruang makan. Memilih kursi paling ujung di antara delapan kursi lainnya. Dua orang maid setia menunggu di sana.
“Sudah, Tuan. Tetapi, Nona menolak makan. Apa perlu saya bawakan—”
Tringg!
Suara dentingan alat makan yang baru Sean pegang, menyentak semua orang di sana kecuali Sean.
“Jangan memanjakannya!” kata Sean sambil berdiri.
Rahang mengetat, mata menyorot tajam, semua pekerja rumah sudah amat mengenalnya. Sean dengan situasi suasana buruk adalah bentuk neraka yang asli di Mansion itu.
Ia menaiki lift hingga ke lantai tiga, tempat kamar yang ditempati bersama Becca. Sean tak perlu mengetuk, ia membuka pintu dengan kasar.
Becca yang tengah berdiri depan jendela tersentak dengan kehadirannya.
“Kau pikir siapa dirimu, huh?!” bukanya dengan suara dingin yang menusuk hatinya.
Becca berbalik, tangannya mengepal erat di masing-masing sisi. Tiba-tiba ia bergerak mundur, penuh waspada. Becca terbayang perbuatan Sean semalam.
“Aku—”
“Tidak akan ada yang memanjakanmu, sekali pun kau istriku!” dia berhenti depan Becca. Tatapan benci terlihat dari mata Sean, Becca tidak perlu menerka-nerka alasannya, sejak awal ia tahu alasan kebencian Sean hingga menawannya dalam pernikahan tanpa cinta.
“Ini tentang makan? Kalau ya, aku menolak. Aku tidak lapar!” Becca dengan keberaniannya menyampaikan penolakan. Sean agak tersentak, hanya sesaat kemudian menutupinya dengan wajah arrogant.
“Sejujurnya, aku tidak peduli jika kau akan mati kelaparan.”
“Lalu kenapa kau mendatangiku?!” tanya Becca dengan berani.
Tangan Sean terulur, Becca hendak menghindar tetapi sebuah cengkeraman di sisi rambutnya, buat Becca mendesis sakit. “Ah!”
“Aku tidak ingin susah karena mengurus mayatmu, ikut aku! Makan sarapanmu dengan benar, tanpa banyak protes apalagi melawan. Semakin kau membantahku, itu pilihan tidak baik untukmu, Rebecca.” Di tutup dengan Sean melepaskan Becca agak kasar, tubuhnya tersentak bersamaan rasa perih berasal dari rambut yang Sean raih.
Mata Becca perih, siap menangis.
Sean membersihkan telapak tangannya, menatap istrinya.
“Kau bukan manusia!”
Sean tetap terdiam, hanya saja sorot mata tajamnya tidak berpaling darinya. Membuat Becca susah payah menelan ludahnya.
Sean berbalik. Mendapati Becca tetap diam, menghabisi kesabaran Sean yang setipis tisu dibagi tujuh. Ia kembali berbalik.
“Sean—lepass!” Becca berusaha berontak, setiap sentuhan Sean mengingatkan ia pada peristiwa semalam. Cengkeraman tangannya pun kembali menyakitinya.
Sean tetap menarik pergelangan tangannya, menyeret Becca yang meski berontak akan berakhir sia-sia.
“Sean, aku tidak mau makan!”
Becca terus memberontak, lupa jika ancaman Sean tidak pernah sekedar ancaman. Sean berbalik masih dengan tangan di lengan Becca. Menariknya kasar hingga dadanya bertabrakan. Tatapan mata mereka beradu dalam.
“Kau lebih senang jika kita kembali ke kamar, lalu aku menunjukkan yang lebih dari semalam?”
Sontak kalimat penuh ancaman tak main-main membungkam Becca. Wajahnya berubah pucat, jadi satu hiburan khusus untuk Sean. Ia tatap istrinya, Sean membawa langkahnya meniadakan jarak. Namun, satu langkah maju Sean berarti satu langkah mundur yang Becca ambil hingga punggungnya menabrak dinding lift. Menandakan ia tidak bisa lari lagi.
Sean mencengkeram rahang Becca, mata cokelat tajamnya memindai wajah jelita Becca. Sepuluh tahun, kira-kira terpaut usia mereka. Bulu mata lentik Becca mengerjap, pupil matanya terlihat takut.
“Bukankah semakin sering aku menyentuhmu, menidurimu, semakin cepat kau hamil. Dengan begitu, kau pun akan cepat kulepaskan, Rebecca?!”
“Tidak!” Becca benar-benar menyesal mencoba melawan Sean. Suaminya tak pernah suka dibantah, diperintah apalagi penolakan.
Tinggg!
Suara denting lift menyelamatkan Becca dari perbuatan kasar dan tak baik Sean.
“Melangkah di depanku!”
Becca terdiam. Sean menatap istrinya.
“KUBILANG, MELANGKAH LEBIH DULU!” Sean menaikkan nada suaranya, menyentak Becca hingga bergerak cepat. Berjalan di depan Sean.
Sean mengatur napas, memastikan Becca harus menuruti semua perintah, keinginannya.
“Makan, kau terlalu kurus. Mulai hari ini, kau harus banyak perubahan agar terlihat pantas menjadi istriku. Terutama, terlihat meyakinkan depan keluargaku.” Kata Sean.
Becca menunduk, menatap pinggiran piring di hadapannya.
“Selain menjadi tawananmu, apa aku kini jadi bonekamu juga?”
“Kau ingin aku menyebutnya begitu? Baiklah, kau memang tidak akan pernah dan pantas jadi pasanganku yang sebenarnya.” Ujar Sean, kemudian tepat ponselnya berdering dan ia berdiri. Meninggalkan Becca yang tangisnya pecah di tengah ia harus menghabiskan makanannya.
Apa ada yang lebih buruk dari hidupnya? Selain dinikahi dengan pria seperti Sean. Bukan hanya tidak mencintainya, tetapi hanya punya tujuan buruk padanya. Wanita di luar sana akan iri padanya, karena berhasil menaklukkan seorang Sean. Namun, mereka tidak tahu, dibalik nama sebuah pernikahan ini, ada kepalsuan juga derita yang harus Becca jalani.
“Nona!” Sebuah rengkuhan lembut muncul dari kepala pelayan di sana, Becca bahkan tidak mengenal namanya. “Aku Falisa, panggil saja namaku. Aku ketua para pekerja di sini. Aku mengurus Tuan muda Sean sejak kecil.”
Artinya dia paling lama berada di rumah tersebut.
Becca menatap Falisa. “Kenapa kau peduli padaku? Bukankah semua orang di sini sama saja, tak punya hati seperti Sean?!”
Falisa tak tersinggung selain tersenyum, “aku peduli, hanya saja aku menahan diri di hadapan Mr. Caldwell.”
Becca menatap Falisa, benarkah ada harapan di Mansion ini jika masih ada yang peduli padanya? Atau Becca tetap tidak bisa memercayai siapa pun di Mansion tersebut?
***
“Sungguh, kau pengantin baru dan sudah muncul di kantor?!” Decak Calvin menemukan Sean keluar dari lift.
Sean hanya meliriknya, kemudian berjalan menuju ruang rapat.
“Kau tidak akan berbulan madu, Sean?”
Calvin menghela napas karena Sean tetap diam, ia bicara sendiri.
“Apa agendaku hari ini?” tanyanya pada personal asisten lain yang menyambutnya.
Personal asisten itu merangkumkan kegiatan Sean ke depannya. Sean siap melangkah ketika Calvin menyampaikan sesuatu.
“Kapan kau akan membawa Becca menemui Austin?” tanya Calvin.
Sean menatap orang kepercayaannya tersebut, kemudian tersenyum licik, “besok, aku tidak sabar membuat pria tua itu terkejut.”
“Aku juga ingin mengatakan mengenai Chris, dia bertanya apa bisa menemui Becca—“
“Tidak ada yang bisa menemui Becca, lagi pula kurasa Becca tak akan mau bertemu lagi dengan adiknya yang berkhianat.”