Becca mendesah menatap tangannya yang terasa sakit karena perlakuan Sean. Pria yang baru menikahinya, “aku tidak akan pernah memanggilnya suami! Tidak akan pernah!” gumamnya.
Lalu Becca berbalik, menemukan kamar berbeda dari yang pernah ia tempati. Ruangan itu temaram hanya dengan pencahayaan minim, tak ada niat bagi satu-satunya gadis di sana untuk beranjak dan menerangi ruangannya.
Ia tetap membiarkan ruangannya temaram, di luar langit mulai gelap, dari cahaya penerangan di luar yang masuk melalui jendela kaca, Becca bisa melihat kamar ini. Katanya karakter seseorang bisa dilihat dari warna-warna yang melekat dalam keseharian, yang jadi warna favoritnya.
Dari warna saja, sudah menggambarkan sosok seorang Sean. Dingin juga arogan, dua karakter tersebut yang melekat pada dirinya. Becca cukup bisa menilainya, dikatakan berbahaya juga, karena itu Becca merasa terancam. Sekali pun ia berontak, hatinya melakukan itu sambil berdebat takut.
Dari kamar itu, Becca bisa tahu Sean menyukai warna-warna gelap. Hitam, dark grey sedikit sentuhan putih. Bahkan sofa, maupun kain yang terpasang di ranjang tersebut berwarna hitam, abu-abu. Bahkan lemari pajangan di sana pun. Ada lukisan beberapa kuda hitam yang tampak tengah berlari. Terpanjang di tengah-tengah, sorot pencahayaan khusus membuatnya begitu terlihat jadi pusat perhatian.
Puas melihat-lihat akhirnya Becca memeluk dirinya sendiri, mulai merasakan dingin. Kemudian ia melangkah ke jendela di sana. Tanpa balkon. Di depan jendela ada tempat yang cukup untuk duduk bahkan berbaring sambil menatap ke area taman yang ada labirin tempat Becca pernah tersesat beberapa waktu lalu.
Entah berapa lama ia berada di sana, menunggu dengan kesedihan seolah siap untuk eksekusi kematiannya.
“Hanya satu harapku, Tuhan... Sean tidak pernah tertarik untuk menyentuhku!” doanya.
Becca lebih baik dikurung sendirian, seperti sebelumnya. Di banding harus kembali berhadapan dengan Sean Caldwell.
Sementara itu Sean tengah duduk di meja bar miliknya. Garis rahang yang mengetat, ia menuangkan salah satu wine mahal favoritnya. Di temani musik klasik dari piringan hitam yang berputar.
“Makan malam Anda siap, Tuan. Apa saya harus memanggil Mrs. Caldwel—“
Tranggg!!
Satu gelas di tangannya melayang, hampir mengenai pekerjanya. Sean menatap tajam pekerjanya itu yang langsung menunduk gemetar.
“Jangan pernah menyebutnya Mrs. Caldwell. Aku memang menikahinya, tapi dia tak pantas dengan sebutan itu.”
“Maafkan saya, Tuan.”
Sean bangun, melonggarkan dasi kupu-kupu berwarna hitam yang ia gunakan, “tidak usah memanggilnya, aku ingin menikmati makananku.”
“Baik.”
Sean duduk sendirian di meja makan tersebut, kemudian mulai mengambil pisau dan garpunya, ia memotong daging tersebut. Memakannya hingga habis tanpa peduli Becca makan atau tidak.
Ia kembali menikmati Wine, menunggu hingga tengah malam tiba. Semula ia belum ada keinginan untuk menyentuh Becca sampai sesuatu ingatan awal mula dendam itu membara membuatnya mengambil langkah, satu-satunya tujuan untuk melampiaskan marahnya yaitu dengan memberikan Becca malam pertama yang buruk, tak akan pernah gadis itu lupakan seumur hidupnya.
Sean sudah berdiri depan pintu hitam, kamarnya. Kemudian ia menarik napas dalam-dalam sebelum membukanya.
Ia menekan gagang pintu, membukanya. Sorot matanya jatuh pada gadis tersebut yang tengah terduduk di atas ranjangnya. Sigap tegang, berdiri saat juga menyadari kehadirannya.
Sudut bibirnya tertarik, membentuk senyum licik,
“Matikan saja lampunya—“ ujarnya saat Sean menghidupkan lampunya.
Sebuah kesalahan besar, memancing egonya sebab seorang Sean Caldwell benci sekali diperintah. Oleh siapa pun.
***
Beberapa waktu di sana, Becca masih berada di sebuah kamar asing yang akan ditempati hingga entah berapa lama.
Rebecca Tasanee duduk masih dengan gaun pengantin yang melekat di tubuhnya. Ia tak menggantinya sebab, tidak berani lancang menyentuh barang-barang milik Sean. Atau menemukan pakaian yang bisa ia gunakan.
Becca menunduk sembari menatap cincin pernikahan. Dibaliknya terdapat nama suaminya, Sean Caldwell. Ia baru menyadari satu hal, jika hanya ia yang dipasangkan cincin, Sean tidak.
“Pernikahan macam apa ini?” gumamnya, bahkan Becca enggan menyebutnya sebagai pernikahan.
Sean adalah pria asing yang satu minggu lalu datang dengan begitu arrogant tanpa memberinya pilihan selain setuju terikat pada pernikahan ini.
Rebecca mulai terisak kecil, padahal sudah menahan diri untuk tak lagi menangis. Ia jadi kembali teringat, semua yang terjadi karena ia harus bertanggung jawab atas perbuatan yang tak pernah ia lakukan. Bukan ganti rugi yang pria itu tuntut, tetapi hidupnya. Terikat dalam pernikahan tanpa cinta dengan pria asing, hidup Rebecca mendadak runtuh, rencana yang tersusun indah berantakan hanya karena satu pria yang akan Becca benci alih-alih cintai sebagai pasangannya. Di tambah, Chris. Adiknya bukan melindunginya, tetapi justru tak sama sekali mau ambil risiko.
Becca merasa sendiri, menghadapi segalanya. Ia tidak tahu harus melakukan apa, untuk bisa lepas dari cengkeraman monster gilaa seperti Sean.
Ia baru memikirkannya, saat mendengar suara pintu di buka. Becca tidak mencari tahu waktunya.
Suara langkah mendekat, Sean masuk dengan jas yang terlipat di lengannya. Tiga kancing teratasnya sudah terlepas. Sorot mata arrogant itu seolah mampu melahap harga diri seorang gadis sederhana sepertinya.
Sean menghidupkan lampunya, saat Rebecca bicara dengan suara pelan, “matikan saja lampunya—”
“Di sini hanya aku yang boleh memerintah, Nona… Bukan dirimu.” Katanya masih dengan sikap dinginnya.
Lihat, betapa dia sombong bukan? Caranya mengangkat dagu, menunjukkan ketampanannya, yang percuma sebab di mata yang memiliki perasaan benci seperti Becca, semua pada diri Sean adalah minus.
“Aku sudah menuruti kau. Apa pernikahan ini, belum cukup untukmu?” Becca berharap Sean pergi, meski mereka sudah menikah, Becca tidak siap satu kamar apalagi satu ranjang dengan pria itu.
Becca merasa begitu terancam, merasa sesuatu akan segera Sean lakukan terhadapnya. Sesuatu yang akan menarik Becca ke lubang penderitaan.
Salah satu sudut bibirnya tertarik, Sean sudah sampai di hadapannya. Ia menunduk membuat wajah Becca mundur. Sedangkan tangan Sean hendak meraih wajah jelita Becca yang mulai gemetar takut. Sean menatap mata biru gadis itu yang sedikit redup, ketakutannya justru memancing keinginan Sean untuk buatnya menangis.
“Belum, pernikahan ini belum apa-apa.” Ujarnya.
Becca mengepalkan tangannya kian erat, mendengar jawabannya. Mata Sean yang lancang mulai berani menatap tubuhnya hingga satu tangan Becca menyilang tepat depan dadanya.
“Apa maksudmu?” tanya Becca bingung. Pernikahan yang merampas kebebasannya, Sean bilang tidak cukup dan belum apa-apa?
“Berikan aku keturunan, satu anak laki-laki. Maka aku akan melepaskanmu.”
Mata Becca kian membulat, mendengar permintaan Sean. Memiliki anak yang artinya darah dari pria itu, Becca tak pernah menginginkannya.
“Apa—mmmptth!”
Kalimat Becca terendam oleh tangan yang langsung mencengkeram erat wajahnya. Disusul ciuman memaksa yang menuntut. Ia merasa perih, hingga amis darah saat Sean sengaja menggigitnya.
Becca berusaha keras mendorong Sean, namun tenaganya sangat kalah.
“Jangan lakukan!” Becca memohon dengan suara gemetar, “Sean! Stop! Hentikan, kumohon!”
Becca menggelengkan kepala, terus memohon walau tak akan Sean dengarkan.
“Kau berisik!” Decak Sean kesal.
Sean mencengkeram wajah Becca lebih kasar lagi, lalu tangannya terulur ke lehernya, mencekiknya hingga wajah Becca berubah jadi memerah. Tangannya terulur, menyentuh tangan besar tersebut.
Pedih, sesak menghantamnya. Napas mulai tersenggal, ditambah Sean kembali mencium dengan kasar. Bau Wine menguar pekat dari rasa bibir Sean.
“Akh!” Ia meringis, memilukan. Air matanya kian deras seiring suara robekan dari gaun pernikahannya. Perlakuan Sean tak ubahnya monster buas.
Hidup Becca tidak lagi sama, di pelukan seorang Sean, mungkin seluruh wanita di New York menginginkan posisinya. Nyatanya, Sean memperlakukannya tak ubah seorang tawanan alih-alih pasangan. Sean menunjukkan arti derita yang selalu ia bicarakan.
Becca tidak lagi bisa bicara, selain terus terisak dengan tenaga yang mulai melemah.
Sean melonggarkan cengkeraman tangan di lehernya, membuat Becca meraup udara sebanyak-banyaknya, namun tak ada jeda ketika udara dingin menyadarkannya jika Sean memaksa pakaiannya terlepas dari tubuhnya.
“Kau monster!” Ujar Becca.
Dia menendang Sean, tetapi langsung ditahan tangan Sean.
“Sean!” Becca berteriak lalu meludahi pria itu.
Sean terdiam, mendapati hinaan yang Becca balas. Mata Sean berubah tajam, lalu teriakan suara Becca datang saat ia merasakan Sean meraih rambutnya, menariknya dengan tak punya hati.
"Jalaaang!" Marah Sean. Menghinanya, "Kau! Berani-beraninya meludahiku!"
"Bunuh saja aku!"
"Tidak, mati terlalu mudah untukmu, aku ingin kau menderita dulu!" Ujarnya.
Ia memejamkan mata, mematikan setiap rasa yang coba Sean pancing dengan ciumannya. Becca tidak akan mendesah, sekalipun tangan Sean mulai menyentuhnya dengan kasar. Hanya ada rasa benci, sakit saat Sean memperlakukan tubuhnya. Tanpa ada sedikit pun kelembutan.
“Aku membencimu, Sean…” bisik lirih Becca sambil memejamkan mata, enggan menatap wajah Sean yang puas tengah menikmati tubuhnya secara paksa.
“Benci sebanyak yang kau mau, Becca… itu lebih baik, di banding kau mencintaiku!”
Bisikan itu membuat Becca membuka mata hingga tatapan mata mereka bertaut. Tidak ada cinta dalam pernikahan mereka, akankah Becca bertahan dalam hubungan ini? Sayangnya, sekali pun ia ingin lari, Sean menutup semua kesempatannya hingga Becca memenuhi keinginannya yaitu memberi keturunan untuknya.
"Kenapa kau ingin punya anak dariku, bukankah anak itu memiliki darahku dan ayahku?" bisiknya. Mempertanyakan.
Sean sempat terdiam, tak menjawab selain kembali menyiksanya.
Becca terisak hingga air matanya mengering, ia merasakan sakit yang luar biasa. Tangannya mencengkeram seprei di sana. Terisak lelah, hingga memikirkan untuk mengakhiri hidupnya detik itu juga.
Ia tidak akan pernah melupakan perbuatan Sean padanya pada malam pertama mereka, bahkan malam-malam berikutnya.