‘Selalu ada celah untuk memaafkanmu, karena cinta yang tulus bukan soal menghitung kesalahan.
Tapi …
Bagaimana kita menghadapi masalah lalu menyelesaikannya?’
__
Adela saat ini sedang duduk bersama dengan Hana di halaman belakang mansion, kedua wanita itu juga saling bercanda dan tertawa bersama.
Hana sesekali menatap Adela dalam, dia berharap bisa menjadi seseorang seperti wanita itu, dan mendapatkan cinta dari suaminya.
"Pelayan, apa kau pernah jatuh cinta?" pertanyaan Adela membuat Hana tersenyum.
"Ya, tapi cinta yang hanya dirasakan seorang wanita bodoh." Hana menatap hamparan bunga ditaman belakang mansion besar itu, bayangan wajah sang suami terlintas begitu saja. Ia menahan hatinya yang sakit, lalu mengepalkan tangannya erat.
"Bodoh? Aku tak mengerti." Adela memandang kearah depan dengan tatapan kosong, dia hanya bisa melihat kegelapan.
"Aku mencintai sahabatku sendiri, tapi dia tak mencintaiku," jawab Hana. "Kami pernah berjanji akan menikah, tapi dia mengingkari janjinya, dia menikah dengan wanita lain."
Adela meraba tangan Hana yang tak terlalu jauh dari jangkauannya.
"Kau pasti wanita yang baik pelayan Kim, tanganmu begitu lembut dan hangat," ujar Adela lembut.
Hana terkejut saat tangan Adela menyentuh tangannya, ia merasa gugup, ia merasa wanita di dekatnya adalah orang yang akan lebih tersakiti jika tahu kenyataan yang ada.
"Kau juga cantik," ucap Adela lagi. "Bolehkah aku menyentuh wajahmu?" tanyanya kemudian.
Hana hanya mengangguk, ia tak tau harus berkomentar seperti apa. Tapi … bagaimana bisa ada wanita selembut Adela?
Hana menuntun tangan Adela ke wajahnya, dan Adela meraba wajah Hana sambil tersenyum.
"Pipi mu lembut, bibirmu juga tipis," ucap Adela. Wanita itu kemudian membelai rambut Hana. "Rambutmu juga lurus dan halus.”
"Nyonya, saya tak secantik itu," jawab Hana gugup.
"Berapa usiamu?" tanya Adela tanpa perduli dengan ucapan Hana.
"Dua puluh tiga tahun, Nyonya," jawab Hana.
"Kau masih sangat muda, aku merasa menemukan seorang sahabat, dan seorang adik." Adela menghela napas, ia merasa begitu lega. "Panggil aku Kakak, aku tak ingin kau memanggilku Nyonya," lanjut wanita buta tersebut.
"Tap-" baru saja Hana ingin protes, Adela langsung menutup bibirnya dengan tangan.
"Tidak ada penolakan, dan aku ingin tau nama Aslimu." Adela mengucapkan hal itu sambil memasang wajah serius, ia tak ingin menerima penolakan dari Hana.
"Han-” Hana menghentikan ucapannya, ia kemudian menguatkan diri.
“Hana, ya itulah namaku," jawab Hana dengan cepat. Ia tak bisa membohongi Adela tentang namanya, sudah cukup melukai wanita itu dengan kenyataan jika dirinya juga istri Vin.
"Nama yang indah, dan ya aku ingin kau memanggilku Kakak, Hana." Adela yang sudah tahu nama Hana terlihat begitu laga, ia juga masih menginginkan gadis itu memanggilnya kakak.
"Ba-baiklah, Ka-kak," jawab Hana agak canggung.
“Oh Tuhan … Vin begitu baik, ia bisa menemukan seseorang yang manis dan baik sepertimu, Hana.”
Hana tersenyum, dia merasa rendah saat ini. Apa yang tidak dia miliki, dimiliki oleh Adela. Wanita itu baik dan sangat lembut, wanita dewasa yang memiliki kecantikan layaknya seorang putri.
Hana menunduk sedih, apa yang kurang dari dirinya? Dia merasa selama ini dia baik dan juga tak pernah memiliki celah. Tapi mengapa … mengapa Vin sangat membencinya?
"Hana, apa kau bisa menceritakan bagaimana cinta yang kau miliki?" tanya Adela.
Hana menghapus air mata yang baru saja ingin meluncur dengan bebas, ia kemudian menenangkan diri, berusaha agar Adela tak tahu tentang dirinya yang nyaris menangis.
"Aku hanya mencintai sahabatku, dan kurasa aku hanya menjadi semakin buruk saat dia tau semua perasaanku." jawab Hana.
Dia belum bisa menceritakan kisah menyakitkannya, terlalu menyakitkan jika dia harus mengulang kembali luka beberapa bulan lalu sebelum dia sah menjadi istri dari Vin.
Istri sah? Bahkan saat ini kenyataan menampar Hana dengan keras. Dia bukan istri sah Vin, dia tak ubahnya seperti pajangan mahal yang digunakan untuk menutupi pajangan mahal lainnya.
Sakit sekali ya Tuhan … sesak dan rasanya ingin mati saja.
"Kau adalah wanita yang kuat, bahkan aku pernah menjadi lemah sebelum bertemu dengan Vin, dia yang mengajarkanku cara untuk hidup dengan baik dan bernapas dengan tenang," ucap Adela. Wanita itu mengingat masa-masa yang begitu berat, lalu ia tersenyum karena semua itu sudah selesai.
Miris … tapi Hana hanya bisa diam, dia bahkan tak bisa berteriak marah, karena posisi yang dia punya tak ubahnya seperti kubangan sampah diatas air yang jernih.
Hana menatap pada seorang pelayan yang kini sedang berjalan kearah dia dan Adela. Pelayan itu membungkuk sopan di hadapan mereka berdua, dan terlihat agak canggung saat harusbertemu tatap dengannya.
"Nyonya, sahabat anda sudah datang."
Hana menatap pelayan itu lalu tersenyum, memberi kode seakan pelayan itu tak perlu melihatnya sebagai seorang nyonya di mansion tersebut.
"Hana, apa kau bisa mengantarku kedalam?"
Hana hanya terdiam, dia bingung harus mengatakan apa saat ini. Ia belum siap untuk bertemu dengan siapapun, apalagi sahabat-sahabat Adela. Dirinya tak ingin menambah masalah.
"Maaf, aku harus segera kembali ke rumah, Kakak, ibuku mengirim pesan agar aku harus segera pulang," jawab Hana memberi alasan.
"Ahhh ... baiklah, ku harap kau baik-baik saja. Dan … masalah sahabatmu, aku akan menjadi orang pertama yang menghajarnya ketika aku bisa melihat."
Hana tersenyum miris. Menghajar sahabatnya? Apa Adela akan mampu menerima kenyataan pahit setelah dia bisa melihat?
Hana hanya bisa menahan rasa sesak yang ada di dadanya. Wanita itu perlahan menjauh dari Adela, menatap wanita yang kini hanya tersenyum menatap dengan pandangan hampa.
"Ak-Aku akan kembali besok," ucap Hana sambil menjauh pergi.
Hana berlari, dia tak sanggup jika harus lebih lama lagi menghadapi semua kenyataan pahit ini.
__
Clara dan Syahara saat ini sedang berada diruang tengah mansion besar milik suami sahabat mereka. Kedua wanita itu juga duduk disana bersama Adela, lalu mereka membicarakan banyak sekali hal menarik.
"Ku dengar, kau mempunyai pelayan baru, dan itu permintaan Vin, bukan?" tanya Clara. Wanita itu bersandar dengan nyaman, ia juga menatap sahabatnya jeli.
"Ya, tapi aku tak menganggapnya pelayan. Aku lebih menganggapnya seorang adik," Jawab Adela. Wanita itu tersenyum lembut, walau dia tak bisa melihat kedua sahabatnya saat ini.
Syahara hanya diam, wanita itu menatap wajah Adela. Ia sangat ingin melihat binar mata Adela yang dulu, mata yang selalu membuatnya tenang.
"Adela, aku hanya berharap, Rumah tanggamu dan Vin baik-baik saja," ujar Syahara. Ia hanya merasa ada sesuatu yang salah, dan menjadi orang paling peka di anatara yang lain sangat menyulitkan. Entahlah … hanya merasa jika akan terjadi sesuatu yang buruk dikemudian hari.
"Ya, terima kasih sudah khawatir padaku dan juga Vin, Syahara. Aku sangat mencintai Vin, dan aku tak tahu bagaimana kehidupanku jika dia tak ada disampingku."
Clara hanya diam, wanita itu lebih memilih memandang figuran foto yang ada di pojok ruangan, foto Vin dan keluarga besarnya.
Clara jelas saja tahu bagaimana perjuangan Vin saat akan menikahi Adela, dan perjuangan itu bukanlah hal yang mudah bagi pria tersebut.
Clara menarik napasnya lelah, ia juga tak mengerti harus bagaimana memberi komentar pada pasangan itu.
Mereka menikah secara diam-diam, dan sampai saat ini entah bagaimana keduanya menjalani pernikahan yang terkesan sangat tak bisa dikatakan sebuah pernikahan.
"Apa Vin pernah menyentuhmu?"
Pertanyaan Clara membuat Syahara menatapnya dengan pandangan kesal. Wanita itu sudah mengatakan sebelumnya, jangan bahas hal yang tak penting jika bertemu dengan Adela.
Syahara menatap Adela yang kini hanya memanjang senyum manis. Wanita itu tak pernah menunjukan jika dirinya terluka, tapi selalu tersenyum seakan dia orang paling bahagia.
"Aku tak ingin, Aku tak ingin dia menyentuhku, aku hanya ingin dia menyentuhku jika keluarga besarnya telah menerimaku apa adanya," jawab Adela.
Ya, dia tak ingin Vin menyentuhnya, dia tak ingin mengambil risiko lebih besar lagi.
Pernikahan mereka saja sudah menjadi dosa yang bahkan tak sanggup untuk Adela pikirkan, pernikahan rahasia, dan hanya beberapa dari mereka yang tahu akan hal itu.
Mereka? Baik … maksud kata ‘mereka’ di sini adalah Clara, Syahara dan suami dari kedua sahabatnya itu yang tahu.
Hubungan Vin dan dirinya bisa dikatakan bukanlah hubungan yang direstui oleh banyak orang. Bahkan diluar sana, bagi orang lain mereka tak pernah menikah atau hanya sekedar saling mengenal.
"Aku tak ingin, jika aku mengandung, maka anakku tak diterima sama sepertiku. Aku menunggu di mana mereka akan merestui kami. Jika saat itu sudah tiba aku ingin memberikan semua tubuh dan hidupku pada Vin," jawab Adela.
"Kau terlalu berlebihan, aku malah berpikir jika mereka akan menerimamu jika kau memberi mereka cucu," ucap Clara.
"Aku setuju dengan Clara, berikan mereka cucu, maka mereka akan menerimamu," timpal Syahara.
Adela menggeleng, dia tak ingin menggunakan anaknya sebagai sebuah senjata. Baginya mendapat restu itu hal yang penting.
Cukup satu kali dia dan Vin membuat kebohongan besar dan bermain dengan arti dari restu pernikahan. Adela tak ingin kelak anaknya menjadi korban karena keegoisan dia dan suaminya.
"Tidak, aku tak ingin. Aku hanya ingin mendapat restu, kalian bisa lihat saat ini, karma atas dosa yang aku dan Vin perbuat. Aku menjadi buta," ucap Adela dengan lirih, wanita itu menunduk sedih. "Aku mendapat karma karena keegoisanku, aku memiliki Vin tapi Tuhan mengambil mataku.”
"Baiklah, kita hanya bisa berdoa, Adela," jawab Clara dan Syahara hampir bersamaan.
…
-FLASBACK ON-
"Kakak ...." teriakan itu berasal dari seorang gadis remaja yang sedang berdiri di balkon kamarny. Matanya menatap ke arah seorang pria yang baru saja keluar dari mobil di depan rumah besarnya.
"Hana ...." panggil Vin. Pria itu juga menatap Hana, tangannya melambai dan memberi kode agar Hana menemuinya.
"Tunggu, aku akan kesana!" teriak Hana. Tak lama gadis itu berlari masuk ke dalam kamarnya, langkah kakinya cepat dan keluar dari kamarny.
Hana menuruni anak tangga dengan senang, dia sangat merindukan Vin. Pria yang mengisi hatinya sedari dulu, pria yang menjadi sahabat sekaligus kekasih.
Tak sampai berapa lama, Hana kini berlari dengan cepat di halaman rumahnya, gadis itu menghampiri Vin yang sedang menunggunya.
"Aku merindukamu." Hana memeluk erat tubuh Vin.
"Aku juga merindukanmu, Hana," balas Vin. Pria itu juga memeluk tubuh Hana.
Hana memejamkan matanya, gadis itu menikmati setiap detak jantungnya. Getaran itu masih sama, masih sangat sama. Jantungnya bekerja dengan cepat, dan hal itu hanya karena Vin.
Hana memeluk Vin semakin erat, menahan rasa sakit yang mendera dadanya. Dia berusaha untuk tidak menangis atau meringis saat menahan rasa sakitnya itu.
"Kakak, berjanjilah. Kau akan selalu seperti ini, mencintai dan menyayangiku. Berjanjilah, kau akan selalu ada untukku, menjadi sahabat, kekasih dan segalanya bagiku."
"Ya, aku berjanji. Bahkan aku akan menikahimu, aku mencintaimu, sangat mencintai dirimu."
"Bagaimana Jika aku hilang?" tanya Hana lagi.
"Aku akan menunggumu. Aku akan terus menunggumu, sampai kau kembali. Dan jika saat itu tiba, aku berjanji tak akan pernah melepaskanmu lagi."
"Benarkah? Benarkah itu?" Hana melepaskan pelukannya, ia menatap Vin, dan mengulas senyuman manis.
"Aku berjanji, Hana," ucap Vin. Pria itu menatap manik mata gadisnya, dia sedang meyakinkan Hana.
Hana mengangguk, ia merasa sangat lega dengan semua yang Vin ucapkan. Pria itu … pria masa depanna.
"Aku akan selalu mencintaimu, akan selalu menyayangimu, aku akan menjadikan dirimu sebagai satu-satunya wanita dalam hidupku," ucap Vin lalu mencium kening Hana.
-FLASBACK OFF-
Hana kini sedang bersandar pada pintu ruang pribadi miliknya, isakan pilu terdengar bagai sebuah musik kematian, wanita itu menangis sampai dia sulit untuk bernapas.
Hana memukul keras bagian dadanya, tetapi rasa sakit itu masih tetap ada, dan semakin terasa.
"Sial ... sial ...." Hana memaki, ia menangis semakin deras, dan semakin dalam pula sakit itu menusuknya.
Hana mengingat pertemuan beberapa bulan lalu dengan Vin, pertemuan pertama setelah hari di mana mereka mengucap janji untuk selalu menunggu. Pertemuan yang tak bisa dikatakan baik-baik saja.
Tatapan mata Vin saat itu membuat Hana ketakutan, pria itu menatapnya dengan rasa benci.
-FLASBACK ON-
Hana dan juga keluarganya saat ini sedang berada dirumah keluarga Arexshion.
Hana tersenyum senang saat ayah dan ibu Vin memeluknya erat, bahkan Dami, kakak Vin sampai menjerit histeris karena bahagia.
"Kau kembali, astaga... Kakak sangat merindukanmu. Bagaimana kondisinmu? Bagaimana kabarmu, Hana?" tanya Dami sambil menatap bahagia kearah Hana.
Hana hanya tersenyum, ia juga merasa sangat bahagia. "Kakak, rasanya masih sama. Aku masih terus berdebar. Tapi rasa sesak itu tak terasa lagi. Aku bisa merasakan getaran itu tanpa rasa sakit."
"Syukurlah ... aku senang jika kau sudah baik-baik saja, maka pernikahanmu dan Vin akan dipercepat." ucap Tuan Arexshion bahagia.
" Maaf selama di Amerika kami tak memberi kabar pada kalian," ucap Tuan Charvillia.
Nyonya Arexshion hanya mengangguk, dia paham dengan keadaan yang menimpa keluarga Charvillia saat itu.
"Pernikahan?" pertanyaan itu berasal dari seorang pria yang baru saja masuk kedalam rumah.
Pria itu menatap Hana dengan tatapan dingin, menatap wanita itu dengan tatapan benci.
Sedangkan keadaan berbanding terbalik dengan Hana, wanita itu menatap Vin dengan binar penuh cinta dan kerinduan.
"Kakak," gumam Hana.
Namun, Vin dengan cepat menghampirinya, memegang erat tangan Hana, lalu membawa wanita itu pergi keluar rumah.
"Vin, kau mau kemana?" pertanyaan itu keluar dari Ayah Hana.
Vin berusaha memperbaiki kondisi wajahnya yang menegang, dan setelah berhasil ia mengalihkan tatapannya.
"Paman, aku hanya ingin ‘berbicara’ dengan Hana sebentar," ucap Vin sambil menekan kata ‘berbicara’ pada kalimatnya.
Hana hanya menunduk, dia sangat takut dan merasa kesakitan dengan cengkraman Vin pada tangannya.
-FLASBACK OFF-
Lagi, kenyataan pahit membuat Hana harus menahan isak tangisnya, ia mengigit bibirnya kuat, sampai bibirnya berdarah.
"Bahkan ini lebih menyakitkan dari apa pun," ucap Hana sambil berdiri. Wanita itu berjalan tertatih kearah ranjangnya, lalu berbaring disana. Meringkuk sambil menangis.
Suara tangisannya menggema dalam ruang bawah tanah itu, kesakitan luar biasa yang bahkan tak pernah sanggup dia jelaskan dengan kata-kata.
__
‘Kalian tau namaku, tapi tidak dengan kisahku. Hidup dalam kebohongan dan rasa benci.’
Vin duduk sambil memijat keningnya, pria itu merasa gusar saat ini. Kosentrasinya terpecah saat ingat jika hari ini dia akan kembali berbohong, berbohong dengan rasa bencinya, berbohong dengan rasa bahagianya.
Vin memejamkan matanya, lalu bersandar dikursinya dengan malas. pikirannya melayang entah ke mana, mengingat semua masa lalu menyakitkan, mengingat saat ia terpuruk dalam jurang yang dinamakan putus asa.
Vin membuka matanya, masih saja sama. Dia masih mengingat bagaimana sakit yang ditorehkan oleh Hana.
Rasa sakit yang teramat sangat berat, dan rasa sakit itu telah menimbulkan kebencian. Pria itu menggertakan giginya, dendam kembali menguasai hatinya.
Ia memandang kearah meja kerjanya, melihat foto dirinya dan Adela di sana. Tangannya menggapai bingkai foto itu, lalu membaliknya.
Vin menatap foto dia dan Hana, foto tiga tahun lalu, saat mereka merayakan hari ulang tahun Hana.
Pria itu membanting bingkai foto, dia benci dengan semuanya.
-FLASBACK ON-
"Vin, aku punya alasan ...." ucapan itu keluar dari bibir Hana, saat ini dia sedang berada di dalam mobil bersama Vin.
"Alasan? Apa alasan yang kau miliki, hah!" bentak Vin.
"Aku minta ma-" perkataan Hana terpotong, Vin langsung menatapnya dengan sangat tajam.
"Maaf? Aku bosan. Dan sebaiknya kau pergi dari hidupku!" ucap Vin.
"Tidak! Aku tak akan pergi, aku kembali karena kau yang mengatakan akan menungguku, Kakak," jawab Hana.
"Tidak untuk saat ini!" balas Vin.
Hana diam, matanya menatap dalam Vin yang saat ini menatap penuh benci padanya, air matanya menetes.
Hana memegang tangan Vin, tapi dengan kejam pria itu menghempaskan tangannya.
"Jangan sentuh aku!" bentak Vin.
Hana tertunduk, dia ketakutan.
"Jantungku, aku pergi karena jantungku. Aku ingin jantungku berdetak dengan cepat tanpa menyakitiku," ujar Hana lirih.
"Ck ...." Vin keluar dari mobilnya, lalu berjalan kearah pintu lain dimobil itu. Pria itu membuka pintu mobil, lalu menarik Hana keluar.
"pergi! Pergi dari hadapanku, sejauh mungkin!" ujar Vin kasar. Pria itu bergegas pergi, masuk kedalam mobil, lalu meninggalkan Hana yang hanya terpaku.
-FLASBACK OFF-
Vin mengacak rambutnya gusar, dia selalu mengingat bagaimana semua kejadian menyakitkan itu.
Tak lama kemudian ia memmutuskan berdiri, pria itu memandang jam yang melingkar ditangannya.
Dia harus mencipkan drama lagi untuk keluarganya, walau rasanya akan sanagt memuakkan bersama dengan Hana.
Vin melangkah, ia tak ingin mengambil pusing dengan semua yang telah terjadi. Dia menikahi Hana hanya karena ancaman dari ibunya.
Ibunya mengancam akan membencinya dan tak menganggapnya anak jika dia tak menikahi Hana.
Vin tak mengerti racun apa yang Hana berikan pada keluarganya, sampai semua orang mendukungnya, Jiyong tak ingin ibu membenci dirinya, dan akhirnya ia memilih mengalah, lalu menikahi Hana.
Tapi dia akan menghukum Hana dengan caranya, membuat Hana seakan ingin kematiannya lebih dekat dan ahirnya menghilang dengan sejuta kesakitan.
Vin menyeringai, memikirkan hal itu saja sudah sangat menghibur baginya, dan ia sudah sangat tak sabar menunggu hari itu tiba.