Heartbeat— 6

1474 Kata
Would i love my job? Radit juga nggak tahu, karena pekerjaannya kali ini, posisi tinggi yang didapatkannya dengan susah payah kali ini bukanlah suatu mainan atau didapatnya lewat omong kosong. Sudah banyak hal yang dilaluinya untuk mendapatkan posisi tinggi ini, lalu masihkah ia harus mempertanyakan apakah ia suka sama kerjaannya? Jelas banget iya, tapi sebelum kedatangan satu anak magang ini. Entah mengapa gadis bernama Aruna, cewek k*****t itu bikin hari-hari Radit bak di neraka jahannam. Gadis itu selalu memberondongnya dengan berbagai pertanyaan, lalu akan tersenyum menggodanya, dan berakhir terbirit-b***t saat Radit sudah bangkit dari kursinya untuk sekadar memelototi gadis itu dari jarak yang lebih dekat lagi. "Gimana anak lo? Baek-baek semua nggak?" Sheryl langsung memberikan pertanyaan pertamanya saat Radit dan Fani baru saja duduk di kursi kafe saat itu. Fani menaikkan satu alisnya lantas menatap lembar menu. "Gue dapet dua cowok, egilaa, cakep bener dah yang satu, siapa si namanya, Angga? Pinter pula." Fani langsung heboh saat menceritakan satu anak magang yang ditanganinya. Radit mendengkus. "Gue juga cakep kali Fan, pinter, baik hati, dermawan, banyak nilai plus loh, kenapa nggak pernah masuk jadi kandidat cowok ganteng versi lo ah," protes Radit kesal. Fani mengusap pipi Radit lantas menamparnya pelan. Pria itu memekik. "Sakit nggak?" "Ya sakit lah." "Biar bangun aja dari mimpi," ucap Fani pedes diikuti tawa Sheryl, "jerk macem elo yang suka mainin cewek dan suka dugem di Vincent ngapain masuk jadi cowok ganteng versi gue, cowok ganteng versi gue." Fani-nya yang tak pernah berubah, ia selalu berhasil membuat Radit gemas dengan ulahnya. Pria itu tertawa saat Fani kembali menguraikan dosanya di depan mata. Sheryl langsung tersenyum-senyum saat menatap Radit, pria itu langsung panik, tahu banget karena sebentar lagi itu cewek bakal bikin Radit sial seharian setelah seharian ini sudah tertimpa sial. "By the way, gue liat lo kebagian ngurusin degem ya, Dit? Duh, pasti nurut banget ya?" Tuh, kaaan, emang Sheryl tuh laknatnya nggak perlu diomong dua kali, sengaja banget lagi ngomongnya di depan Fani biar itu cewek penasaran. Padahal dalam kamus hidup Radit, ia tak akan membicarakan cewek siapapun di dunia ini kecuali Fani doang. Kalaupun harus bicara soal cewek selain Fani, ada waktu khusus yang bikin dia kepepet. Misal saja pas ngomongin Helena. Radit berdeham keras saat Fani lantas menatap dengan mata bulatnya itu. "Dapet siapa sih? Gue seharian saking sukanya sama kerjaan ini jadi lupa liat kalian," ceplos Fani polos. Radit meneguk squash di depannya dengan satu tenggakan lantas menghentakkan gelas itu dengan kekuatan yang cukup kuat saat menyentak. Radit menggenggam gelas itu dengan kuat lantas memejamkan matanya, seolah ingin mengubur sisa emosi atau mungkin sisa kewarasan yang sebentar lagi bisa membuatnya gila. Pria itu membuka matanya, dari sorotnya tergambar kepedihan yang membuatnya nyaris putus asa. "Selama beberapa tahun gue kerja di sini, gue berlomba buat bisa naik posisi, fokus sama karier dan nggak pernah yang namanya males kerja, but dammit! Kalian tau ..." Radit mengambil jeda sejenak saat menguraikan kalimatnya yang dirasa terlalu panjang itu. "Cewek yang gue tangani itu bikin hari gue kayak di neraka jahannam." Sheryl langsung memalingkan mukanya untuk menyemburkan tawanya yang sudah lama ia tahan sejak Radit menyiapkan kata-katanya. Berbeda dengan Sheryl yang justru tertawa, Fani justru mengetukkan jemarinya di dagu lantas menatap Radit dengan saksama. "Well, baby, kenapa lo nggak ngeluarin jurus maut lo buat senyum sama dia terus bikin dia luluh sama lo sih?" Luluh sama Radit? Una? Cewek begajulan macam Una apakah dia bisa luluh setelah melihat senyum, tatap intens Radit, atau justru yang ada bikin Radit makin naik darah nantinya. "Kalo ada cewek yang anti baper dengan tatap mata gue, kayaknya itu cuma elo deh, Fan," kesalnya. Fani tersenyum lagi. "Lo belom nyoba, babee, tapi baru kali ini gue liat lo bisa gemes banget sama anak orang, pantesan dari jalan ke kafe ini lo diem mulu," imbuh Fani. "Ya gimana gue nggak diem, dia tuh kayak elo tau nggak? Selebor banget," jawab Radit penuh emosi. Tapi mendadak Radit terdiam. Sepertinya ada yang salah dengan kalimatnya, apakah Una mirip dengan Fani? Iya, sepertinya memang Una saja yang berani ngomong apa adanya, nyeplos di depan Radit seperti yang dilakukan oleh Fani sebelum ini. Otaknya terasa buntu, mengapa mendadak sekarang ia memedulikan gadis itu? Ada senyum samar yang terulas di bibir Fani. Menatap Radit yang tampak kebingungan dan terdiam di depannya cukup membuat Fani terhibur. Sepertinya ini akan menjadi awal yang seru karena sejak lama Fani dan Sheryl menginginkan seorang cewek yang berhasil mendistraksi pikiran cowok itu. Semoga ini jadi jodoh Radit! *** "Ntar malem ke rumah gue gih, Dit, jangan lupa." "Gue ikuut!" Radit langsung menoyor kepala Sheryl menjauh dari depan matanya saat cewek itu menghalangi pemandangannya ke arah Fani. "Ogah! Ini tuh undangan khusus dari calon mertua buat menantu kesayangannya," goda Radit. Sheryl ngakak. "Yang bener tuh undangan dari mantan calon mertua buat mantan menantunya yang hopeless," kata Sheryl mendramatisir kalimatnya. Radit mengumpat kasar. "Mulut lo emang sebelas dua belas sama corong bensin." Mereka bertiga ramai jalan di lorong kantor sebelum saat mereka berbelok lantas menemukan seorang gadis yang duduk di depan meja Radit, mata gadis itu tak berkedip ke arah deretan Pai buah yang diberikan Fani. Melihat gelagat buruk yang bakal terjadi, Radit segera menghentikan kedua sohibnya itu di depan ruangannya lantas tersenyum manis. "Lo berdua pergi aja, ada urusan yang harus diselesaikan dengan secepatnya nih," kata Radit sembari melepas kancing jasnya. Sheryl membulatkan bibirnya disertai mata membelalak. "Dit, i mean lo nggak bakal secepet ini buat gerak," bisik Sheryl takjub. Radit mengangkat satu alisnya lantas melirik ke arah Una yang masih menatap dengan penuh minat pada pai tersebut. "Harus diselesaikan dengan secepatnya, harus tuntas biar dia tau rasanya," desis Radit penuh. Sheryl makin melotot saat Radit melambaikan tangannya lantas masuk ke ruangannya. "Jangan lupa kalo sukses ciuman apa esek-esek bilang ke gue ya," goda Sheryl. Pria itu melotot. "s***p lo!" Dan pintu tertutup di depan mereka berdua. Fani seperti ingin menggali ingatan. "Itu cewek yang gue temuin di dapur barengan Radit nggak sih?" Sheryl spontan menoleh. "Beneran lo udah tau?" Fani merapatkan badannya pada Sheryl, menancapkan pandangannya pada cewek di depannya ini dengan penuh keheranan. "Dia siapa sih? Kayaknya cuma gue yang ketinggalan." Sheryl tertawa pelan. Fani memang belum tahu soal ini, tapi baiklah, sepertinya ia lebih memilih untuk berkhianat dan membocorkan rahasia pertemuan Radit pada Fani dengan dalih, Radit dan Una itu ngeshiiip banget! "Siap jadi mak comblang?" tanya Sheryl pada Fani. Fani meringis, tak perlu ditanyakan lagi, dengan itu Sheryl tertawa pelan. "Kita atur strateginya pelan-pelan, mengalir aja." *** "Gue sangsi sama niat lo masuk ke kantor ini buat magang." Suara bariton di belakang Una membuat gadis itu langsung menoleh kaget. Radit sudah berada tepat di belakangnya, menatapnya dengan mata penuh kilat tajam saat tangan Una menyentuh pai buah di depannya. "Sebenernya lo mau magang apa numpang makan sih?" Raut wajah Radit berubah menjadi dingin detik saat Una sudah menggenggam penuh satu pai di depannya. Pria itu segera menyambar pai buah miliknya sebelum Una sempat melakukan hal lebih dari memegang. Gadis itu mengerucutkan bibirnya dengan gemas. "Gue belum makan dari tadi, sekarang laper," curhat gadis itu nelangsa. Radit tak peduli dengan wajah tertekuk milik Una, pria itu masih saja meneliti satu pai yang didapatkannya dari tangan Una. "Lo bisa istirahat, kan, tadi? Kenapa enggak?" Kenapa enggak istirahat? Gimana dia mau istirahat kalau seharian ini Melda sama Angga nggak keliatan sama sekali. Nunjukin bayangannya aja nggak pernah, apalagi sampai nyamperin Una. "Gue ada temen di sini, Melda, tapi nggak ketemu, ada juga Anggada, pacar gue—" Radit menoleh sekilas saat Una mengatakan nama itu. "Tapi, nggak ketemu juga," desah Una pasrah. Pria itu terkekeh. "Lo udah semester 5, tapi masih aja spek bocil. Terus apa gunanya lo ada ponsel, stupid?" Seperti teringat sesuatu Una langsung mengambil ponselnya dari saku. "Gue mau nelfon mereka buat makan siang ah." "Nggak keburu, udah abis jam istirahatnya. Cuma satu jam doang, kan?" Gadis itu langsung mencureng, mendapati jarum jam yang tersisa untuknya hanyalah tujuh menit. Itu mah, baru jalan sudah habis waktunya, jangankan buat makan keluar. Ia menyentak kan ponselnya ke meja Radit, menundukkan kepalanya dengan pasrah. Perutnya melilit gila, cuma orang nggak waras yang membiarkannya kelaparan tanpa kasihan sedikit pun. Una melirik Radit, itu cowok masih saja fokus meneliti pai buahnya, sedangkan pai buah di atas meja itu masih banyak. Una menyambar satu pai buah, Radit terpana. "Jangan dimakan, gue sumpahin perut lo—" Una terlanjur melahap satu pai buah milik pria itu dengan muka tanpa dosa. "— gue sumpahin perut lo mencret-mencret. Itu pai buah spesial, sembarangan lo makan." Radit langsung memberesi pai miliknya untuk diamankan sebelum Una kembali merampok makanannya. "Spesial apanya sih, orang cuma pai buah juga. Gue laper banget, Radiiit," rengek Una. Radit mendecih, kalau saja yang meminta dan yang merengek di depannya ini adalah Fani, jangankan pai buah, apapun juga bakal Radit jabanin. "Nggak usah merengek di depan gue, dasar ... bocah!" ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN