Heartbeat— 20

1320 Kata
"Perkembangan pesat. Lo pikir itu masih batas wajar Ga?" Angga di pojok ruangan cuma bisa memukulkan tinjunya dengan kuat pada dinding. Melihat dengan mata kepala sendiri itu sama sakitnya saat kalian mendengar berita kalau pacar tengah jalan sama cowok lain dari orang lain. Bullshit, yang bilang melihat dengan mata kepala sendiri akan lebih baik, karena kemudian yang bisa dilakukan oleh Angga adalah mempercayai begitu saja atas kelakuan Una yang diam-diam jalan dengan Radit. Pria itu melangkah, lagi-lagi meninggalkan Melda yang saat itu tengah menatap Una dengan sorot prihatin. "Eh, lo mau kemana?" seru Melda. Angga menunjuk dengan dagunya. "Lo pikir setelah gue liat Radit bisa jalan sama Una, apa gue sebagai pacar nggak bisa buat Una tersenyum?" Hah? Melda benar-benar nggak bisa menebak jalan pikiran Angga yang nggak bisa marah sama Una. "Lo nggak marah sama Una?" buru Melda, berusaha untuk menghentikan langkah Angga yang terburu-buru. Angga menoleh sekilas. "Marah? Kalo pun Una nyakitin gue terus, itu nggak mungkin dia lakukan tanpa alasan, biar gue bales dia dengan 10 atau 100 kali lipat kebaikan sama dia, biar dia tau kalo nyakitin gue nggak bikin gue langsung pergi darinya." Melda menghentikan langkahnya. Melebarkan matanya dan ingin mencak-mencak di sana. Coba lihat bagaimana orang yang sudah bucin kayak gitu. Emang bener, antara terlalu cinta dsn g****k itu beda tipis. But, Meldaa, inget, lo juga suka sama Angga. Gadis itu segera mengejar Angga yang sudah jauh di depannya. Cowok itu memiliki hati yang besar, memaafkan apa yang telah dilakukan oleh Una akan membuat gadis itu menyepelekannya. "Lo nggak bisa gitu sesekali marah sama Una?" tanya Melda langsung menghentikan langkah Angga. Pria itu mendekatkan wajahnya ke arah Melda, membiarkan gadis itu menahan panik saat tatapan tajam Angga menusuknya. "Lo cukup pinter buat nggak denger alasan gue dua kali," desis Angga tajam. Ia kembali melangkah, kali ini ia mantap untuk membuat Una terus bersamanya. "Karena lo terlalu baik sama Una, dia bakal ngulangin kesalahannya terus menerus, Ga." Ucapan ini tidak bisa didengar oleh Angga, karena pria itu terlanjur menjauh, seolah meninggalkan Melda jauh lebih mudah daripada meninggalkan Una. Sementara itu, Angga langsung mengambil alih kursi di depan Una membuat gadis itu menghentikan kerjaannya barang sejenak sebelum kembali menatap layar laptop di depannya. "Lo nggak lupa jam makan siang nanti bareng gue kan, Na?" Angga mengambil satu keripik untuk disuapkan pada Una. Gadis itu mendongak. "Makan siang ya?" ulangnya. Ia melihat Melda berjalan ke arahnya dengan riang langsung mengambil jajan di sampingnya. "Buseeett, camilan lo banyak banget, Na, abis dari mana?" Una menginjak kaki Melda keras, gadis itu meringis kesakitan saat Una melotot ke arahnya untuk menutup mulut. "Gue masih kenyang, Ga, tadi abis jalan keluar sama Thea." Mata Una melebar, gadis itu tersenyum penuh keyakinan pada Angga. Angga tersenyum, Una-nya sudah berbohong satu kali padanya. "Tapi, makan siang kayak gini kan emang pas buat kumpul, Na, ya lo pesen minum doang juga nggak apa-apa," paksa Angga sekali lagi. Una menggaruk kepalanya yang tidak gatal, bukan masalah ia kenyang atau tidak, entah mengapa ia merasa bahwa akhir-akhir ini ia semakin jauh dari Angga padahal pria itu belum tahu yang sebenarnya tentang Radit yang semakin baik hubungannya dengan Una. "Abis jalan kayak tadi juga gue udah beli minuman kok, ada di kulkas dapur, nggak apa-apa kan kalo makan siang tanpa gue?" tanya Una pada Melda yang kini mendadak menghentikan makannya lalu menatap Angga. Angga tersenyum lagi. Karena cowok itu nggak pernah yang namanya nampilin wajah marah ataupun sedih di depan Una. Kalau perlu, yang selalu diperlihatkan oleh Angga adalah wajah seorang pria yang tegar, bisa diandalkan, dan setia setiap saat. Begitu pun saat Una menolak ajakan makan siangnya. Tak apa. Tidak bisa makan di kafe setidaknya bisa makan di kantor. "Kalo gitu gue temenin elo nggak istirahat!" jawab Angga tandas. Melda melongo. Hebat sekali memang Una, selain membuat Angga menjawab tanpa pikir panjang, gadis itu juga berhasil membuat Melda tak diperhatikan lagi oleh Angga. "Ga, seriously? Gue tau banget lo bukan tipe orang yang bisa nahan laper setelah sekian jam serius di depan laptop. Ntar lo sakit ah," decak Melda serius. Una menatap Angga dengan senyum yang tak bisa diartikan oleh pria itu. "Lo makan aja, Ga, jangan nyiksa diri buat nemenin gue. Gue di sini kok, abis makan ntar langsung ke sini juga bisa." Angga memicingkan matanya, bentuk tatapan meragukan yang diberikan oleh pria itu membuat Una harus menelan ludahnya. "Lo yakin nggak bakal ilang pas gue cari?" "I-ilang? Kemana coba? Palingan juga ke daput apa di toilet gitu?" Una tergagap. Mampus, kenapa coba sampai gugup menjawab Angga, padahal ia tidak tengah melakukan kejahatan. Angga menggebrak meja di depannya pelan pria itu bangkit dan mengacak-acak rambut Una seperti biasanya dengan gemas. "Bagus lah, gue pikir lo bakalan ilang sama pembimbing lo itu." Una gantian menyipitkan matanya, gadis itu tengah melihat apakah pria itu beneran tahu soal ini, atau justru tengah menebak, namun dari tatapan Angga, tak ia dapatkan informasi apapun. Angga menatapnya dengan tatapan tak terbaca. "Gue nggak sekayak yang lo pikir kan, jadi jangan takut, yang penting lo makan siang, gue nggak mau lo sakit." Una-nya memang selalu manis. "Makasih udah perhatian sama gue," kata Angga membuat Una mengangguk dengan terpaksa. Perhatian? Ucapan itu terlalu berharga bagi Angga, selalu Angga menyukai saat Una tersenyum ke arahnya dan perhatian seperti barusan, namun bagi Una, ucapan hanyalah ucapan. Tak pernah berarti, bentuk kepeduliannya pada Angga terlalu logis. Kalau nggak makan nanti sakit, itu benar. Nggak akan ada kontroversi buat hal ini tentunya. Bersamaan dengan Melda, Angga bangkit, Una melirikkan matanya saat melihat sohibnya itu membawa serta beberapa camilan di paper bag. Una berdeham. "Tolong, itu brownies sekotak, permen buahnya, jangan asal diambil, balikin!" Una melotot pada Melda, gadis itu menyengir. "Ya ampun, Naaa, camilan lo banyak bangeeet, masa cuma brownies sekotak nggak boleh?" rayu Melda berusaha membuat Una ikhlas untuk sekotak browniesnya. "Nggak boleh!" "Gue makannya barengan Angga loh, gue bagi juga buat Angga masa ngga boleh?" ceplos Melda pengen ditabok Angga, pria itu melotot sebelum Melda balas melotot. Una mendesah. Yang nggak suka mah yang kayak gini, suka ngerayu mana pakai nama Angga. Melda tahu banget kalau ia tak mungkin membiarkan Angga mencapnya pacar pelit meski itu mustahil dalam benak pria itu. "Ya udah iya nggak apa-apa," desah Una. Angga tersenyum lagi. "Tapi, balikin permen buahnya," imbuh Una menyilangkan matanya di atas meja sembari memelototi Melda untuk menurunkan permen buahnya. Melda melirik Angga, meminta pria itu untuk merayu Una barang sekali. Angga menggelengkan kepalanya. Pria itu mengambil paksa permen buah dalam dekapan Melda. "Lo bisa beli sendiri. Itu punya Una." Melda berdecak. "Ceweknya pelit suka nyari masalah, cowoknya bucin suka mengalah. Pantes emang. Serasi." *** Radit nggak akan pernah tahu apakah ia menyukai Una beneran, but, hoho, ia juga tak bisa menyangkal bahwa Una memang berbeda hari ini. Sepertinya efek ciuman semalam membuat otak Radit yang kelamaan berkarat dan hatinya yang lama sunyi cepat terisi hanya karena ciuman seorang gadis polos. Radit menggeleng. Sedikit ia menyesali karena Una mempunyai Angga. Itu sama artinya ia merebut milik orang lain, apa ia antagonis dalam hal ini? Tuhan emang punya takdir tersendiri buat hamba-Nya. Tapi, apa iya hidup Radit harus ditakdirkan sebagai orang ketiga terus menerus. Betapa tidak enaknya hidup seperti ini. Yang ia lakukan saat ini sama seperti saat ia bersama Fani, perlakuannya kali ini sama seperti apa yang dilakukannya pada Fani. Dulu saat Fani masih menjadi sahabat Yoga, ia juga menjadi sahabat Fani. And how hard it is to be a parasite, kali ini ia harus menjadi benalu bagi Angga juga. Tolong maafkan takdir Radit yang selalu seperti ini. Selalu mencintai cewek orang lain. Tapi, ia selalu memperjuangkan gadis itu sama kerasnya sampai Una bisa memilih siapa yang pantas menemaninya nanti. "Na, siang-siang gini enaknya makan apa ya?" Una mendongak, gadis itu menyerahkan laptopnya untuk diperiksa Radit, gadis itu mengetukkan telunjuknya di dagu. "Segelas squash sama beef juga enak." Radit mengangguk. "Oke, nanti kita makan siang di Zetta ya, gue denger ada menu beef baru." Una melongo.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN