Heartbeat— 4

1813 Kata
Una patut bersyukur karena ia masih dalam perlindungan orang-orang yang rela menjadikan dirinya sebagai pesuruh gadis itu. Sebenarnya bukan pesuruh, hanya saja semua orang yang dekat dengan Una sepakat melabeli Una sebagai adik kecil mereka. Dan membiarkan Una tinggal sendirian di kota orang jelas bikin Melda— terutama— dan Angga khawatir. "Meldaaaa, udah siang ya ampun!" seru Una menggedor-gedor pintu kamar mandi di depannya. Di dalam, sohibnya itu beneran mengutuk Una karena makanan pedas yang dibawanya dari rumah berhasil membuat perutnya bergolak hebat pagi ini. "Una, ya ampun, bisa nggak lo diem? Lo berangkat dulu sana ih!" sentak Melda gemas. Una terdiam. Berangkat sendiri? Sebenarnya tidak apa-apa, cuma ia tak tahu harus naik apa? Dekat atau tidaknya. "Beneran gue berangkat dulu nggak apa-apa nih?" Una seperti menanyakan pada dirinya sendiri. Masalahnya dia itu nggak paham arah, dan urusan berangkat ke kantor pada hari pertamanya ini akan menjadi bencana besar sebab ia tak tahu harus kemana dan dengan apa ia harus berangkat. "Mel, gue naiknya pake ap—" "ASTAGA UNAAAAA! GUE KERAMASIN LO YA!" Terdengar seruan jawaban dari Melda diikuti suara gayung yang dihentakkan keras ke dinding. Una nyengir, langsung saja ia melesat pergi. Bisa dikatakan gadis itu cuma nekat, padahal ia sama sekali tidak tahu harus naik apa. Mau nyari tukang ojek juga tak ada. Mau nyari bus, sekarang ia mulai ragu bisa kekantor sendiri. Ditatapnya ponsel di tangannya sejenak, mendadak ia menekan satu nomor yang lalu menghubungkannya pada Angga. "Anggaaa," rengeknya. Mengetahui ada yang tidak beres dengan Una, cowok itu tahu langsung mengembuskan napas. "Sepagi ini udah merengek pasti ada masalah. Kenapa? Udah sarapan belum?" tanya cowok itu halus. Khas Angga banget kalau lagi ngadepin Una. Angga tuh emang pacar perhatian banget, anak satu kampus dibuat iri berat sama Una karena justru gadis itu lah yang bisa membuat cowok sekeren, sefamous, dan setajir Angga bisa tergila-gila sama Una. Dan rumor bahwa Angga sering membanggakan Una di depan teman satu gengnya jelas bukan kabar burung saja, sebab begitu Una resmi menjadi pacar Angga, gadis itu seolah dijadikan ratu yang dijaga ketat dengan pengawalan dari kawan Anggada Pramana. "Udah sarapan," jawab gadis itu lesu. Angga menaikkan alisnya di seberang sana, merasa heran dengan suara gadis itu yang lemah. Pasti sesuatu telah terjadi. "Bilang sama aku, ada masalah apa?" Una masih berdiri di sisi jalan raya, menatap satu per satu minibus lewat di depannya berulang kali. "Ke kantor naik apa? Aku nggak tau jalan ke sana pake apa," jelasnya polos. Astaga! Kadang Una juga bisa kelewat blo'on sampai tak tahu harus gimana menghadapi tingkah ajaib gadis itu. Angga berdeham sebentar, pria itu melirik semangkuk bubur ayam di depannya yang masih utuh. Ia menelan ludahnya sebentar sebelum akhirnya mengeluarkan satu jawaban buat Una. "Kamu tunggu aja di sana. Jangan kemana-mana, tetep di depan kos aja, oke?" Dari permintaan Angga, Una tahu bahwa semuanya akan baik-baik saja. Untuk itu, begitu sambungan terputus, gadis itu langsung menunggu kedatangan Angga atau justru dewa penolong lainnya, yang penting bisa sampai kantor dengan selamat. Benar saja, selang beberapa menit, seorang tukang ojek merapat ke sisi jalan tepat di samping Una, tersenyum ke arah gadis itu dengan ragu-ragu. "Temannya Mas Angga?" tanyanya ragu. Una tersenyum semringah. Ia mengangguk. "Iya, Pak." Pria tua itu mengulurkan satu helm pada Una. "Mas Angga nyuruh saya buat nganterin ke kantor sampe selamat, nggak boleh ada yang lecet sedikit pun," jelas pria itu dengan senyum geli. Una tertawa keras. "Bapak kenal Angga dari mana?" Pria itu menolehkan kepalanya dengan senyum lagi, pertanyaan Una seperti interogasi kepada cewek simpanan saja. "Mas Angga itu anak dari boss besar, keluarga Mas Angga sudah akrab sama keluarga saya, soalnya sering banget makan di warung saya." Una cuma bisa ber— 'oh ria' di belakang bapak tersebut. "Mas Angga perhatian banget sama Mbak-nya," ucap pria itu sembari melirik ke arah spion, "nggak mau ke jenjang yang serius gitu biar dapet status?" Una tersenyum. Ada banyak pertanyaan yang sering membujuk Una dan Angga agar cepat bertunangan minimal, namun gadis itu selalu menolaknya. Akan ada waktu sendiri, Angga akan datang ke rumahnya tanpa harus disuruh oleh orang lain. "Masih kuliah, Pak. Nanti aja kalo udah dapet kerja." *** Sheryl memoleskan lipstiknya ketika Fani datang dengan senyum cerah seperti kebiasaannya. Radit mendongak terpana. Sheryl berdecak gemas. "Aura lo bahagia banget duh, cantik banget hari ini padahal mau ngadepi anak magang doang," seloroh Sheryl membuat Fani menghela napas. "Dih, mending tebelin aja lipstik lo, soalnya ngadepin anak magang bisa bikin mulut tipis." Fani balik menyindir. Sheryl ngakak. Cewek itu menghampiri Fani diikuti Radit yang ikut menggeser kursinya mendekat ke arah Fani. Fani melirik Radit dan mengerjap. "Oh iya, Dit, tadi Mama nitip pai buah buat lo, katanya kangen pengen ketemu elo lagi." Radit nyengir lebar, Fani mendelik curiga menatap Radit yang tiba-tiba saja ceria, mendadak gadis itu menoyor kepala Radit gemas. "Mama cuma kangen sama lo, ah! Pikiran lo nggak usah nyabang." Cowok itu melengos. "Iya, Fan, iya. Berasa gue mau ngerebut elo lagi aja." Sheryl tersenyum. "Nyari mati namanya." Radit berdecak. "Hari ini kita kayaknya bakal sibuk, tapi nanti siang tetep makan siang barengan ya?" pinta Sheryl penuh. Radit mengambil satu pai di depannya dengan muka tenang. "Ini soal anak magang ya?" Sheryl mengangguk. Diantara mereka bertiga, memang cuma Sheryl saja yang kelihatan banget nggak ada sabar-sabarnya sama orang. Apalagi sama anak-anak yang seneng banget memberondongnya dengan pertanyaan. Radit memberikan satu pai buahnya untuk Fani, lalu mengambil satu lagi untuk ia makan. "Gue harap semoga yang gue tangani anak baik-baik yang pendiem nggak usah banyak nanya," doa Radit seketika membuat Fani terkikik. Fani menyilangkan kedua lengannya di depan meja, lantas menatap Radit lekat-lekat. "Gue justru berharap semoga diantara anak magang ini ada yang jadi jodoh lo." Cowok itu melotot. Jadi jodohnya? Bahkan ketika Fani masih ada di depan Radit dan bertampilan cantik seperti ini? Rambut blonde, hidung ramping, mata lebar, bibir penuh, dan senyuman manis Fani masih lekat dan terusan menemani hari-hari Radit. Apa bisa ia jatuh cinta sama cewek lain kalau pesona Fani masih menguat seperti ini? Impossible. Dan semua kalimat keluhan itu cuma bisa disuarakan Radit dalam hatinya, mau sekeras apapun ia mencoba untuk move on dari Fani sepertinya membutuhkan sekarung doa dan puluhan purnama supaya pesona gadis itu bisa pudar, meski sekali lagi Radit tak yakin apakah ada hari di saat Fani tak memiliki pesona di depannya. "Gimana kalo gue nggak ketemu jodoh juga?" tanya Radit polos. Sheryl tersenyum tipis, gadis itu mengusap punggung tangan Radit dengan muka prihatin. "Berarti lo bakal jadi perjaka tua." "Anjir!" *** Hal yang paling memalukan dan membuat semangatnya menjadi turun adalah merasakan sakit perut di hari pertama ia menginjakkan kaki di kantor tempatnya magang. Tidak tahu lagi harus bagaimana, karena begitu gadis itu masuk ke dalam gedung besar itu, yang pertama ditanyakan pada satpam di depan pintu adalah letak toilet di kantor ini. Rujak pedas buatan Ibunya memang mirip ghibahan tetangga, saking pedesnya sampe berhasil membuatnya dan Melda mencret-mencret pagi ini. Begitu keluar dari toilet, gadis itu celingukan di dapur, bersandar di pantry untuk sejenak melepas kelegaannya. Gadis itu melihat ke arah deretan makanan kecil yang tersimpan di lemari kaca. Memang sedikit aneh saat melihat berbagai camilan tersedia di sana. Mana enak semua lagi, setelah mengeluarkan isi perutnya tadi, sekarang perutnya justru meronta menginginkan salah satu dari makanan kecil itu. Matanya merayapi deretan makanan yang menggiurkan. Keripik kentang, kue, pai buah, apel merah, jeruk— tangannya sudah tak bisa lagi dikontrol saat dengan tiba-tiba seseorang menepuk bahunya dengan keras. "Ampun! Cuma liat doang, nggak bakal ngambil kok, sumpaaah!" Una berseru keras lantas membalikkan badannya dengan muka ketakutan. Di depannya seorang cowok dan cewek tengah menatapnya dengan muka terheran, namun muka cowok di depannya menjadi terkejut saat melihat wajah Una. Detik kemudian wajah pria itu kembali mencureng curiga. "Lo ngapain di sini? Mau nyolong?" tuduh Radit serta merta membuat wajah Una langsung berubah merah keunguan. Ini jelas bukan pertemuan yang baik, setiap bertemu dengan cowok ini selalu saja Una dalam posisi buruk. Dituduh nyolong lagi kali ini. "Bukan, eh, ngawur aja. Cuma liat doang." Una melirik pria itu takut-takut, diliriknya pipi pria itu. Bersih. Terdorong penasaran, gadis itu mendekat menatap Radit dengan saksama. "Pipi Mas-nya nggak ada yang gosong, kan?" Tanpa ijin Una menangkup wajah Radit dengan kedua tangannya lantas menggoyangkan kepala pria itu ke kanan dan ke kiri. Radit melotot. Ini cewek— minta ditonjok apa ya? Segera saja Radit menepis tangan Una yang bersarang di wajahnya. "Nggak sopan banget sih lo." Una memekik. "Gue kan pernah bikin ulah sama lo," gumamnya pelan sembari menggerakkan sepatunya ke kanan dan kiri. Radit mendengkus teringat hal itu, namun tidak, bukan saatnya ia menjadi sok tahu dan peduli atau justru marah di depan gadis nggak jelas ini, apalagi ada Fani bersamanya. Una terdiam menelan salivanya, gadis itu menunduk menggerakkan badannya seperti anak kecil. "Lo ngapain di sini?" tanya Radit mengulangi pertanyaannya masih dengan datar. "Gue magang di sini. Lo sendiri? Ooh, pasti lo juga anak magang di sini, kan? Itu kenapa kemaren lo ada di stasiun," ucap Una sok tahu. Radit mengangkat satu bibirnya sinis. Sok tahu banget emang ini anak. Kenal aja nggak. Fani terkikik di belakang. Meski tidak tahu siapa gadis mungil yang kini tengah berdebat dengan Radit, namun gadis itu beneran nggak punya takut meski sudah dipelototi Radit. Una menoleh ke arah Fani, seperti tersadar bahwa ada orang lain selain Radit. Una balik menatap Radit dengan pelototan galak. Gadis itu merapat ke arah Radit, matanya sesekali memandang pada Fani yang berusaha mengintip dari belakang punggung pria itu. "Elo selingkuh ya? Kemaren cewek yang nemenin elo di stasiun bukan ini deh," bisik Una di dekat pria itu. Radit melirik Fani di sampingnya, gadis itu celingukan menatap Una yang justru berbisik pada Radit. "Lo tanya aja sama dia," jawab Radit datar. Menepis tubuh Una yang menunduk di sampingnya. Una menegakkan badannya lantas menatap Fani dengan senyum kikuk. Itu cowok emang k*****t banget, cewek secantik ini harus diduakan. "Hai, gue, eh aku, Una." Fani tersenyum. "Gue Fani, elo kenal Radit dari—" Belum sempat Fani meneruskan kalimatnya, Radit sudah keburu menarik tangan Fani untuk menjauh dari Una. "Fan, gue udah ambil pai sama tehnya, ayo balik." "Gue belom sempet kenalan sama dia loh, Dit," protes Fani menekuk wajahnya. Radit melirik Una. "Sheryl udah nungguin, lagian nggak penting juga." "Lo kenal dia, kan? Dari mana? Kenapa nggak bilang sama aku?" Fani memberondong Radit dengan pertanyaan yang bikin Una langsung mangap ingin menjelaskan hal yang sebenarnya. Bisa gawat kalau terjadi salah paham. Una, kan cuma sebatas kenal sama Radit doang. Radit menunduk, entah berbisik kepada gadis itu, yang pasti tangan pria itu membelai lembut rambut Fani yang panjang. Fani langsung mingkem saat Radit sudah menjauhkannya dari Una, gadis itu ikut berbalik mengikuti langkah Radit, sesekali kepalanya menoleh menatap Una yang masih terpana melihat kepergian dua orang itu. "Baru dua hari di kota ini tapi gue udah terlibat dalam perselingkuhan kayak gini," gumam Una prihatin pada dirinya sendiri. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN