Heartbeat— 11

1594 Kata
"Belum pulang sampe jam segini?" Angga memelototkan matanya, kembali memeriksa baik-baik arloji di tangan kirinya. Jarum kecilnya menunjuk ke angka delapan dan batang hidung Una belum juga kelihatan. Salahnya karena terlalu asyik bermain game sampai panggilan dari Una terabaikan. Melda di depannya mengangsurkan secangkir teh hangat dan kudapan kecil di meja. Gadis itu mengangkat alisnya dengan pandangan seolah hal ini sudah biasa atau mungkin memang kebiasaan Una suka ngilang kayak gini. "Tadi Una sempet ngabarin—" "Kenapa nggak ngomong?" sela Angga gemas, pria itu mengeluarkan ponselnya. "Una bilang apa?" Melda menggaruk kepalanya. "Ponselnya mati kali. Gue juga pinter kali, dari tadi udah nelfonin dia tapi nggak bisa. Lagian dia emang udah bilang sama gue kalo mau pulang larut, nggak tau kenapa." Raut wajah Angga yang sangat khawatir tak bisa disembunyikan barang sedikit pun, masalahnya Una tuh udah nggak paham jalan, nggak punya siapa-siapa di sini, sekarang malah belum pulang-pulang. Angga menolehkan kepalanya, menatap Melda dengan pandangan memperingatkan kepada gadis itu. "Kalo ada apa-apa sama Una—" Angga tak meneruskan kalimatnya, namun Melda tahu bahkan sangat paham bahwa ucapan Angga adalah bentuk peringatan yang nggak perlu diperjelas lagi. "Una udah gede Angga, astaga, lo segitu kuatirnya sama Una sampe nggak logis kayak gini," tegur Melda terus terang. Iya, terus terang dengan nada kesal, ketus, dan terus terang banget tidak suka melihat Angga segininya menjaga Una. "Lagian kenapa tadi lo ninggal Una sih?" tanya Angga membuat Melda terbungkam. Siapa juga yang ninggalin Una, seharian itu ia bahkan tidak tahu di mana ruangan Una, tidak berpapasan, bahkan pas pulang pun ia tak tahu keberadaan Una. "Gue pikir udah pulang barengan elo kali, Ga," bantah Melda kerasa tidak bersalah. Angga mengusap wajahnya, Melda sudah menggigit bibir bawahnya tak tahu juga harus bagaimana, masalahnya ia juga bersalah. "Tunggu aja di sini, gue yakin Una balik kok bentar lagi." Kalimat itu bukannya menenangkan, yang ada tatapan Angga pada Melda semakin menusuk pada gadis itu. "Gimana gue bisa tenang kalo orang yang gue percayain buat jaga Una malah kayak gini," sindir Angga tanpa basa-basi. Dan Melda tahu, kali ini yang ada dalam benak Angga cuma Una seorang. *** Sekarang Una tahu kenapa Radit menjadi sedingin itu pada cewek, tapi bukan berarti ia juga bisa dingin pada Una. Ooh, jelas Una nggak menaruh hati pada Radit, hanya saja gadis itu bukan tipe cewek yang bisa didiemin sama orang, apalagi mereka satu mobil kayak gini. Gadis itu mengipasi wajahnya dengan tangan, Radit melirik kegiatan Una di sampingnya, hujan di luar, AC mobil yang menyala, apa tidak normal itu anak? Sudah sedingin ini udara masih saja kepanasan. "Gerah banget tauk, kayak nggak ada udara di sini." "Buka aja kacanya biar lebih adem," sahut Radit cuek. Una melemparkan pandangannya keluar mendapati air hujan menempel pada kaca mobil. "Lo gila? Di luar hujan, kalo gue buka kacanya bisa abis mobil lo basah ... atau gue buka aja ya kacanya biar—" Terserang panik, Radit langsung menjambak rambut Una membuat gadis itu hampir terjengkang atau justru memang sudah terjengkang dan menubruk kepala Radit. Pria itu cepat-cepat menekan pedal rem membuat ban mobil berdecit di aspal yang basah. Radit mengembuskan napas kasar. "Lo turun aja deh di sini!" tegas Radit memerintah. Egila! Disuruh turun di tengah hujan kayak gini? Mana ia tidak tahu jalannya, benar-benar nggak waras ini cowok. Harusnya kalau dia cowok, justru rasa tanggung jawabnya lebih gede dari emosinya dong, dasar, patah hati emang bisa bikin orang jadi nggak waras kayak gitu ya. "Nggak mau!" tolak Una sama kerasnya dengan suara Radit sebelumnya. Gadis itu menyilangkan tangannya dan menatap lurus jalanan di luar, tak menggubris Radit yang masih memelotot ke arahnya. "Heran gue, kenapa seneng banget si buat masalah sana gue?" omel cowok itu sembari kembali menjalankan mobilnya. Una menoleh. "Gue nggak bisa loh, Dit, lo diemin kayak gini, minimal ada musik kek." Radit tersadar sepenuhnya, emang susah buat Radit untuk bisa welcome terhadap orang baru di sekitarnya. Una termasuk orang baru, jadi ia tak akan tahu bagaimana caranya berbicara sama Radit. "Kalo lo mau muter lagu ya silakan, palingan juga lo nggak suka." Dipersilakan untuk memutar musik, Una langsung mengambil remote kecil dari dashboard dan mulai mencari lagu yang pas untuk memecah kesunyian di sana. Mendadak lirik lagu Pupus milik dewa 19 mengalun pelan dari sana, Una tersenyum lega, tangannya mulai turun dan matanya terpejam. "Nggak nyangka ya, cowok keren kayak elo lagunya lokalan semua kayak gini," ucap Una apa adanya. Radit tertarik dengan ucapan Una. "Maksud lo ngucapin kayak gitu apa ya?" Una membuka matanya sebentar dan tersenyum geli. "Gue pikir cowok kayak elo doyannya lagu sebangsa Despacito atau Shape of you." Radit tertawa keras dengan ucapan Una yang terlalu polos, sementara Una tersenyum lebar kala melihat tawa Radit yang terdengar renyah setelah sejak keluar dari rumah Fani tadi ia murung. "Gue suka sama tawa lo." Radit terpana. Perlahan tawanya yang panjang itu surut berubah menjadi ejaan suku kata dan hilang. Pria itu berdeham. "Malam ini gue anggap lo impas karena berhasil dengan misi lo," terang Radit tanpa menolehkan kepalanya lagi pada Una. Una menganggukkan kepalanya, tanpa tahu apakah itu penting atau tidak, karena sekarang ia terlanjur tahu siapa Radit dan itu cukup mengganggunya. Ia tak tahan dengan cerita cinta seseorang yang seperti ini akhirnya. "Cara lo buat bilang makasih cukup mengesankan," balas Una membuat Radit tersenyum, tipis bahkan sangat tipis sampai Una tidak tahu kalau saja lampu mobil tak menyorot bibir itu. "Setelah apa yang terjadi malam ini gue harap lo nggak bakalan inget lagi, anggep aja tadi lagi makan di restoran, bersama orang yang nggak lo kenal, dan secepat itu harusnya lo lupa." Una mendesah, gadis itu menyandarkan kepalanya pada sandaran jok mobil, menoleh sebentar untuk melihat Radit. "Diantara semua orang yang ada di kantor, siapa yang benar-benar lo biarin tau kisah cinta lo sama Fani?" Pertanyaan itu, bahkan Radit baru saja memikirkan ketika Una memberikan pertanyaannya, adakah yang lebih tahu kisahnya selain Sheryl? Tapi, itu sahabatnya. Dan memang Sheryl lah yang pertama tahu bahkan menyadari perubahan Radit saat itu. Radit menoleh tak percaya pada Una, sekarang ia tahu jawabannya, cukup tercengang bahkan kepada dirinya sendiri. "Nggak ada, cuma elo," jawab Radit sepelan angin. Una menoleh, mendapati sepasang mata Radit menatapnya lekat. Bahkan sangat lekat, dan Una tahu ia tak akan tahan dengan pandangan seperti itu. *** Mobil Radit berhenti di depan brio kuning yang amat familier di mata Una. Gadis itu memejamkan matanya barang sebentar. Sekarang ia baru ingat bahwa ponselnya mati, alasan kenapa Brio kuning itu masih saja parkir di depan kosnya bukanlah hal aneh mengingat pemiliknya pasti akan menunggu kedatangan Una dan siap memberikan sederet pertanyaan padanya. Gadis itu menoleh dan menyipitkan matanya yang memang sudah mengantuk pada Radit, seolah meminta pertanggung jawaban pada pria itu. "Sekarang gantian tolongin gue." Dan Radit baru paham dengan apa yang dimaksud Una ketika pria itu turun barengan gadis itu. Seorang cowok menatap kedatangan dua orang itu dengan alis terangkat sempurna. Matanya yang memiliki ujung tajam itu melirik Radit tanpa ampun seolah Radit adalah pelaku penculikan Una. Dan kata 'tolongin gue' dari Una tadi dimulai dari pandangan tajam cowok di depannya, lalu menarik Una dari sisi Radit dengan paksa. "Dari mana saja sampe pulang selarut ini?" Una memejamkan matanya, tuh, kan, beneran Angga tuh posesif banget kali kalau urusan kayak gini. "Ga, gue jelasin dulu ya, jadi tadi tuh gue gak bisa pulang soalnya telat banget, terus ada Radit di kantor, kebetulan banget dia pulang telat juga, jadi dia nebengin gue deh." Angga melepaskan cekalan tangannya dari lengan Una, namun pandangannya tak sedikitpun melepaskan Radit dari fokusnya. "Jarak antara kantor dan kos lo cuma 25 menit, lalu 155 menit yang lainnya abis di mana aja?" tanya Angga tak bisa menyembunyikan nada cemburunya. Una menarik lengan Angga, gadis itu berjinjit mendekatkan bibirnya pada telinga Angga. "Udah lah biarin dia pulang, toh gue udah pulang juga, cuma Radit kok," pinta Una berharap bahwa Angga nggak akan memperpanjang masalah. Melda di belakang sana tersenyum geli melihat Una panik kayak gitu, gadis itu melotot berharap bahwa Melda akan membantunya, namun apa daya, Angga tuh bebal, kalau belum puas mana mau dia diam. Apalagi ini menyangkut ceweknya pulang bareng cowok. Radit memasukkan kedua tangannya ke dalam saku, membuat auranya semakin bikin Una ambyar di tempat. Ganteng banget gitu! "Gue nyari makan sama Una, dari pulang tadi gue laper banget, nggak salah kan kalo nyari makan bentar, dia juga dapet kenyangnya kan? Simbiosis mutualisme." Angga terpana. Cowok di depannya ini santai banget sama omongannya seolah tak peduli dengan wajah merah padam Angga yang sejak tadi nahan buat nggak nonjok Radit saking gregetnya ia pada cowok itu. Dia nggak tahu siapa yang diajaknya pulang? Pacarnya! Una itu pacarnya! Angga menggertakkan giginya sebelum satu tarikan pada lengan bajunya membuat Angga tersadar, raut mengantuk bercampur lelah dan ketakutan Una membuat Angga urung. "Terimakasih sudah mengantar Una dengan selamat, anda pasti lelah, istirahat lah lebih awal," ucap Angga formal. Radit tersenyum tipis, menganggukkan kepalanya lantas berbalik tanpa pamit sepatah kata pun. Angga hampir menimpuk cowok itu dengan sekresek makanan yang dibawanya saking kesalnya dengan cowok modelan Radit. Gantian mata Angga menatap Una, membuat gadis itu mengalihkan matanya ke arah lain. "Besok bilang sama gue, dari mana aja kalian pergi. Dan kenapa harus Radit?" Mampus! Harus bilang apa coba? "Kan tadi udah dijelasin sama Radit, lagian cuma Radit kok, bukan siapa-siapa," jelas Una lantas meninggalkan Angga sendirian di luar. Melda ikut masuk begitu Una masuk ke kamar. Angga mendesah, apa yang dibilang Una tadi? Cuma Radit? Bukan siapa-siapa? Semoga saja seperti itu, dan selamanya seperti itu, karena Angga takut Una akan berubah lantas menjadikannya bukan siapa-siapa lagi untuk gadis itu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN