Heartbeat— 14

1008 Kata
Pertama kali yang melintas dalam benak Una saat melihat Angga berjalan ke arahnya adalah bunyi alarm, siaga satu terjadi peperangan. Wajah dingin pria itu saat menatapnya sudah menjadi peringatan pertama yang membuat Una ketar-ketir menatap pria itu. Mampus! Kan, dari awal ia sudah menolak, tapi karena dua cewek yang sekarang tengah membahas entah apa di depannya, kini ia harus berhadapan dengan masalah pelik padahal semalem baru saja hal itu terjadi. Radit mengetahui keberadaan orang baru yang kini tengah menatapnya dengan tajam. Angga berdeham keras membuat Fani dan Sheryl yang tengah perang memilih menu harus berhenti dan menyadari kehadiran dua orang yang kini hadir diantara mereka. "Melda? Anggada?" Fani yang pertama kali menyapa mereka, gadis itu beneran tidak tahu apa yang membuat kedua anak bimbingnya menemuinya disaat jam makan siang seperti ini. Sheryl mengangkat satu bibirnya sembari menggaruk rambutnya. "Anak-anak lo rajin banget ya, sampe jam makan siang aja nyari lo ke sini," gumam Sheryl membuat Fani menatap segan ke dua anak bimbingnya. Angga tersenyum. "Aku nggak serajin itu, Mbak, aku kesini mau ngajak Una buat makan bareng sama kita." Angga menatap Una yang kini mendongak menatapnya. Fani menatap takjub pada Angga. "Kalian satu kampus ya? Kebetulan banget kalo gitu, gue mau nanya sesuatu sama kalian." Angga menaikkan satu alisnya saat dilihatnya tatapan geli Fani mengarah pada wajah Una. "Di kampus, Una ada pacar nggak?" Una tersedak. Radit terbatuk kecil. Pertanyaan yang jelas tidak diduga oleh siapapun. Fani menolehkan kepalanya menatap tiga orang yang kini bereaksi berbeda. "Kenapa? Sudah punya ya?" Fani masih gencar menanyakan hal itu pada Angga padahal muka Una sudah tegang banget. Sebelum hal lain terjadi dan menimbulkan suasana canggung, Una langsung menggamit lengan Angga dan pergi setelah berpamitan pada tiga senior mereka. "Sorry, gue nggak bisa makan bareng kalian kali ini." Dan Una secepatnya menyeret Angga beserta Melda pergi dari sana. Berharap bahwa akan ada yang menjelaskan pada Fani bahwa yang dihadapi Una saat ini adalah hal yang paling pelik. Kepergian tiga orang itu membuat dahi Fani berkerut. "Una kenapa sih?" Radit menggoyangkan sekotak tissue di depannya, tanpa menatap Fani, pria itu menjawab dengan enteng, "Karena cowok yang lo tanya tadi, itu pacar Una." Mata Sheryl membesar. "Anggada?" Radit mengangguk. Pria itu langsung berdecak saat tahu keterkejutan yang sama di wajah Fani. "Dan apa maksud kalian nanya Una udah punya pacar atau belum?" "Kita ada misi jadi Mak comblang kalian lah, Dit," jawab Sheryl polos. Radit melotot. Somebody please, tolong jelaskan kepadanya kenapa kedua sohibnya ini seolah memperlakukannya seperti cowok nggak laku. "Lo pikir gue nggak bisa nyari cewek buat jadi pacar?" tantang Radit membuat Sheryl mendongakkan kepalanya ikut melempar tatapan penuh tantangan pada pria itu. Radit sadar sepenuhnya, bahwa kali ini bukan hanya Sheryl, Fani juga ikut berpartisipasi dalam mencomblangkan Radit. Dan aksi kayak gini yang bikin Radit harus bertahan untuk memperjuangkan harga dirinya. "Emang lo bisa suka sama cewek?" "Gue nggak impoten lah, Sher," tukas Radit galak. Sheryl menepuk jidatnya, sadar kalau pertanyaannya salah. Fani tersenyum kala makanan diantarkan ke meja mereka, baru lah gadis itu menatap Radit dengan terang-terangan. "Gue khawatir sama elo sumpah," ucap Fani gamblang, "makin hari elo jadi dingin, gue nggak tau sih, karena elo selalu baik sama gue, but, Radityaa, i hope you find the right girl soon." Radit mendesah. Fani yang bilang seperti ini, rasanya menyakitkan saat kita dipaksa untuk mencari seorang cewek oleh cewek yang kita cintai, seperti diusir untuk tak diperbolehkan lagi memiliki perasaan terhadap gadis itu. Sheryl mengangguk. "Bulan depan Fani udah nikah, gimana kalo kita taruhan?" "Taruhan?" teriak Fani dan Radit barengan. Sheryl menipiskan bibirnya. "Iya, taruhan. Kita liat apakah Radit bisa nemuin cewek buat diajak ke kondangan Fani," ungkap Sheryl dengan nada yang melambat membiarkan kedua sohibnya itu mendengar dengan jelas dan terpatri di otak mereka. Radit menggertakkan giginya gemas. "Nyari cewek zaman sekarang tuh susahnya nyaingi buat laporan akhir bulan, right?" Sheryl mengibaskan tangannya. "g****k banget kalo lo bilang kayak gitu, sekarang udah mau kiamat, statistik kelahiran cewek di dunia ini jelas lebih banyak daripada cowok. Dan diantara segenap cewek, kenapa lo nggak bisa gaet satu?" Susah emang berdebat sama cewek yang seenaknya ngomong. Apalagi seorang cowok, sejahat apapun itu cowok pasti menginginkan cewek baik-baik dalam hidupnya, lalu masih tersisa kah zaman sekarang cewek yang mirip dengan Fani? "Cewek zaman sekarang banyak yang rongsokan," decak Radit membuat Fani seketika berdecih. "Come on, baby, emang lo sesuci apa sampe ngehina kaum gue? Ibu Kartini bakalan bangkit dari kubur kalo lo ngehina kaumnya." Ucapan Fani seketika menamparnya. "Memang apa yang bisa dibanggakan dengan cewek zaman sekarang?" "Hebat dalam gaya woman on top!" desis Fani bikin Radit tercengang. Fani ngakak barengan Sheryl membuat Radit menggelengkan kepalanya, Fani emang nggak pernah bisa diajak serius soal ini. Apalagi soal hatinya, Radit tak pernah memiliki ruang manis untuk Fani, karena ruang itu didominasi oleh Yoga seorang. Fani menggelengkan kepalanya seolah apa yang dikatakannya tadi hanyalah lelucon. Gantinya gadis itu menatap Radit sungguh-sungguh. "Gue tebak lo mau bilang apa tadi, kalo menurut lo cewek zaman sekarang agresif ..." Fani menghentikan kalimatnya ketika melihat Radit mengangguk, "bar-bar, nggak ada otak, matre, and bla bla whatever your say about girl." "Gue bilang, seseorang bakalan berubah menjadi lebih baik bahkan sangat lembut dan penurut saat ia berhadapan dengan orang yang dia cintai," pungkas Fani dengan lembut. Gadis itu menatap Radit dengan senyuman. "Yang lo butuhin sekarang adalah membuka hati lo, Dit. Life goes on." Radit mematung, membiarkan ucapan Fani satu per satu diserap oleh otaknya, mengendap di sana dan menjadi lekatan ingatan yang tak pernah lekang. Sheryl terpana di samping Fani, bahkan tak menyangka bahwa sosok Fani yang sekarang adalah cewek dengan pemahaman hidup atau justru pengalaman cinta paling baik. "Sekarang gue tau, perasaan dosen gue ketika liat mahasiswinya lulus dengan cumlaude." Omongan Sheryl yang berjalan di luar percakapan membuat Fani menoleh dan mengangkat satu alisnya dengan heran. Sheryl tersenyum bangga, ia menepuk punggung tangan Fani, ada tepukan yang sarat kebanggan di sana. "Gue bangga karena sekarang lo lebih paham soal cinta daripada gue, pakar cinta lo waktu masi kucing-kucingan sama Yoga, Fan." Gadis itu berdecak. "Anjir, gue pikir apa." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN