Heartbeat— 9

1714 Kata
Laju mobil Radit berhenti pada beberapa petak rumah kecil dan sebuah rumah utama yang merupakan rumah induk kos. Gadis itu langsung meringis pada Radit saat pria itu baru saja mematikan mobilnya. "Dah sampai," kata Radit dingin. Una langsung tersadar, dengan decakan kesal gadis itu menatap Radit sekali lagi. "Makasih udah ngasi tumpangan, nggak tau kalo tadi nggak ada elo di sana." Radit berdeham kecil. "Terpaksa juga, sekarang udah sampai jadi mendingan langsung turun." Una tersenyum tipis. Sekarang ia betulan tahu kalau Radit itu emang cowok pelit, dingin, dan kaku. Nggak bisa diajak beramah tamah kayak tadi. Gadis itu menatap kosnya sejenak. "Mau mampir ke kos kecil gue? Biar gue buatin minuman sebentar ya?" tawar Una baik hati. Radit menggeleng. "Nggak perlu, gue harus balik cepet, udah capek juga ngurusin elo seharian yang banyak tingkah," sindir Radit tajam. Una menelan salivanya. "Sejak kapan gue banyak tingkah?" tanya Una merasa tidak bersalah. Sejak kapan? Itu cewek nggak sadar emang, sejak kehadirannya di kota ini, bahkan sejak awal pertemuannya dengan Radit itu saja sudah menjadi masalah. Apalagi kemunculannya di kantor? Tidak akan menjadi masalah saat Una dan dia adalah dua orang yang sebelumnya bertemu lantas baru berkenalan di kantor, tapi sejak kaki cewek itu menginjak di kota ini saja sudah menghadirkan masalah buat Radit. "Sejak lo dateng terus nonjok gue tiba-tiba." Una melongo. Amboi ini orang, masalah sepele itu saja masih dipikirkan. Una baru sadar cowok yang dihadapinya adalah tipe cowok pendendam. "Terus apa yang bisa gue lakuin biar elo puas? Mau nonjok gue?" tanya Una galak. Radit melirik Una. "Yakin muka lo nggak bakalan bengep kalo gue udah nonjok?" tanya Radit sarkas. Una merengut. "Sekali doang, kan? Lo nggak boleh nonjok gue lebih dari sekali dong. Harus impas!" Radit menganggukkan kepalanya. "Impas kok. Sekali tonjok, kan? Kalo dulu tonjokan lo cuma bikin memar kecil di pipi gue, itu karena kepalan tangan lo nggak seberapa, tapi kalo kepalan tangan gue mendarat di pipi lo kayak gini ..." Radit mengepalkan tangannya yang besar lantas menunjukkannya pada Una, kedua alis gadis itu terangkat sempurna beserta mata yang hampir meloncat dari wadahnya. "lo bisa bayangin, wajah lo kayak apa nantinya." Waaah, ini baru kenal aja sudah ngancem, gimana ini cowok bisa jadi suami baik nantinya kalau kebiasaan balas dendamnya kebangetan kayak gini. Una gelagapan saat Radit mendekatkan wajahnya. "Masih mau yang impas kayak tadi?" Pertanyaan itu jelas dinadakan dengan intimidasi, kontradiktif dengan senyum lebar Radit yang membuat wajah pria itu terlihat sangat tampan. Una segera menggelengkan kepalanya. Ia baru saja tiba di kota orang, masih ada beberapa bulan di sini dan ia sudah bengep duluan? Itu jelas bukan hal yang baik. "A-apa ada penawaran lain, misalnya?" tawar Una dengan terbat-bata. Radit menarik mundur wajahnya dengan senyum khasnya, pria itu melirik arloji di tangan kirinya. "Kalau ada penawaran lain, lo bisa saja menggantinya dengan—" Belum selesai pria itu berbicara, dering ponsel Radit berbunyi. Tertera nama Fani di sana, Radit segera menggeser panel hijau lantas mendekatkan ponsel ke telinga. Sembari memberikan isyarat diam pada Una, pria itu berdeham sebentar. "Lo nggak lupa, diundang makan malam di rumah gue, kan, Dit?" Suara Fani langsung menyerbu gendang telinga Radit begitu saja. "Enggak yaelah, nggak sabar banget pengen ketemu gue ya?" Terdengar decakan dari seberang sana. "In your dream, jerk, gue seret lo dari rumah kalo nggak dateng ke sini." Radit ngakak. "Selain nggak sabar pengen ketemu ternyata lo kangen berat sama gue ya, Fan?" Kalau sudah begini, biasanya Fani akan mengomel panjang lebar pada pria itu. "Duh, kan, penyakitnya kambuh. Cowok s***p kayak elo kenapa masih diundang Mama ke sini ya ampun, bungkusin sisanya aja nggak apa-apa kali ya." Radit mendesah. "Ampun deh Fan, gue bukan kucing ye, sembarangan ngasih makan sisa," semprot Radit gemas. Terdengar tawa berderai yang membuat Radit tersenyum. "Udah cepet lo kesini, ditunggu Mama." "I love you too." "Diem lu!" Pria itu mengembalikan fokusnya saat sambungan telah terputus, Una menolehkan kepalanya malas. "Udah? Jadi, gue harus ganti pake apa nih?" Ada hal yang lebih penting dari sekadar ini, malam ini ia akan diundang oleh keluarga Fani untuk makan malam bersama. Bukannya ia tidak tahu bahwa malam ini akan menjadi malam panjang yang menyiksa baginya. Melihat Fani bakalan mesra-mesraan dengan Yoga di depannya? Anjis man, bukankah ini suatu acara yang seharusnya tidak didatangi sendirian? Datang ke sana sendirian sama saja menyerahkan hatinya untuk dihancurkan sedangkan ia akan dibiarkan pulang hidup-hidup dalam keadaan hati yang sepenuhnya luluh lantak. Niat baik nyokap Fani memang tulus, yang nggak bisa tulus justru Radit. Bagaimana mungkin ia bisa tahan dengan berbagai pemikiran menyiksa saat melihat Fani dan Yoga. Memikirkannya saja sudah membuatnya malas apalagi mendatangi? Kepala pria itu menoleh sedikit, ada secercah ide gila yang mampir saat Una masih saja menatapnya dengan pandangan menunggu, seolah gadis itu benar-benar ingin menebus kesalahannya pada Radit. Radit tahu ini gila, tapi setidaknya dengan ini ia bisa mengalihkan sedikit perhatiannya pada hal lain atau mungkin saja ia bisa lari secepatnya dari sana dengan alasan yang tepat. "Karena lo nggak mungkin mau ditonjok, jadi gue punya ide bagus buat nebus dosa masa lalu lo ke gue," ucap Radit sungguh-sungguh. Una membelalakkan matanya. "Apapun itu gue lakuin biar kalo lo ngungkit lagi gue bisa bales," jawab Una apa adanya. Radit menaikkan satu bibirnya. "Temenin gue makan malam." *** Una nggak tahu mana yang lebih gila daripada menemani cowok makan malam dengan alasan menebus kesalahan. Bukan masalah makan malamnya, tapi makan malam dengan pakaian kerja yang seharian ini ia gunakan untuk lari-lari demi menunaikan kerjaan dengan disiplin jelas membuat keringat Una keluar banyak. Dan— jangan tanyakan bagaimana aroma badan orang yang seharian disuruh mirip peserta lari maraton? Amboi, mana Una nggak bawa minyak lagi. Radit menyadari kegelisahan Una di sampingnya, pria itu melirik sebentar. "Kenapa?" "Gue nggak tau, tapi seharian ini gue lari-lari, pasti bau banget, dan harusnya lo ngasi gue waktu buat mandi dulu, risih banget rasanya," jelasnya terus terang. Radit mendesah. Benar juga apa yang dikatakan Una, dilemparkannya sebuah parfum pouch dari sakunya, gadis itu tanggap menangkapnya. Tanpa menolehkan kepalanya Radit berujar, "semprot aja pake itu dulu." Una menerimanya, tertegun lama saat menerima sekotak parfum kecil, itu parfum cowok, ah bukan, aromanya saja. Begitu Una selesai menyemprot, gadis itu baru sadar ada sesuatu yang janggal saat mendapati mobil Radit justru berhenti pada sebuah rumah berpagar di depannya. Una menaikkan satu alisnya dengan heran. "Ini rumah siapa?" Dari tatap matanya, ada sesuatu yang tampak dalam, Una tak tahu tapi tatap mata Radit diliputi oleh perasaan yang bercampur aduk. Mungkin rindu, takut, suka, atau justru yang mendominasi adalah sebuah kesedihan yang kemudian dihelanya dengan satu tarikan napas panjang. "Peraturan makan malam ini adalah lo nggak boleh angkat bicara sedikit pun, lo hanya perlu mengangguk atau justru menggeleng dan tersenyum manis saja." Una melongo lagi. Sepertinya ia mencium firasat buruk, sebagai orang yang nggak sepenuhnya g****k ia juga tahu, kalau ia dijadikan alat untuk Radit entah untuk apa. "Kenapa gue harus nurut?" "Kalo lo nggak mau gue tonjok," bisik Radit mengancam. Ya, pantas saja kalau dia tidak cepat menikah, pasti semua cewek yang dekat dengannya akan berpikir dua kali saat tahu sifat kasarnya ini. Una mengangguk dengan terpaksa. "Oke, ada lagi?" Radit terdiam sejenak. "Kita masuk sekarang." Gerbang di depannya terbuka, menyongsong kedatangan Radit, seorang perempuan yang berpenampilan seperti pembantu tersenyum pada Radit. "Wah, Mas Radit ini emang jos! Buktinya, sekarang sudah bisa gandeng cewek barunya." Radit tertawa. "Mbak Miati, saya belum terlambat, kan Mbak?" tanya Radit dengan sepasang matanya yang celingukan ke dalam. Mbak Miati menggeleng. "Mas Yoga baru saja datang, mungkin akan segera dimulai, monggo, masuk Mas." Radit menoleh cepat ke arah Una. Una nggak pernah tahu bahwa semuanya akan menjadi lebih serius kala Radit dengan tiba-tiba menggamit lengannya dengan erat. Pria itu berjalan masuk dengan langkah tegap yang berwibawa, terlihat dua orang di ruang tamu. Una mengenali gadis di ruang tamu itu. Ini rumah Fani? What the— Maksud Radit mengajak Una ke rumah pacarnya untuk apa coba? Lalu siapa cowok yang duduk sama Fani. Sebentar-bentar, Una mendadak buntu dengan semuanya, dengan semua yang mendadak hadir di depannya bahkan tanpa aba-aba. Fani membulatkan matanya. "Well Raditya, you sure do it?" tanya Fani dengan pandangan terangkat menuju Una. Radit mengangguk. "Kebetulan gue pulang sama dia, jadi sekalian aja gue mampir ke sini, terus nganter dia pulang," jelas Radit. "Aaaa, pulang bareng ya?" Fani melempar senyum jahil yang berhasil membuat Una salah tingkah. Gadis itu mendekat ke arah Una, lalu tersenyum lebar seperti biasanya. "Kita ketemu lagi, kan? Gue Fani masi inget kan?" Una mengangguk. "Mbak Fani yang bimbing—" Fani mengibaskan tangannya. "Ini bukan di kantor, jadi tolong jangan formal, panggil aja Fani. Oh ya, kenalin juga ini Yoga, calon gue." Fani menarik lengan Yoga untuk mendekat. Una tersenyum tipis. Calon? "Gue pikir Radit itu pacar elo." Baik Radit maupun Yoga dan Fani, Una sendiri juga terkejut dengan apa yang dikatakannya. Terlalu lancang. Duh! Ada awkward silence yang kemudian membuat Una harus memejamkan matanya sebentar, pengen mati rasanya. Radit berdeham. "Mama dimana?" Fani menunjuk dengan dagunya. "Ada di dalem, lo ke dalem aja sama Yoga duluan, gue mau ngobrol sama Una." Pria itu menoleh cepat. Ada pertentangan di mata Fani yang kemudian membuat Radit tak bisa membantah keinginan gadis itu. "Secepatnya gue balik," bisiknya pada Una. Begitu Radit masuk, Fani langsung mengarahkan sepenuhnya fokus matanya pada Una. "Lo nggak kebetulan pulang barengan Radit, kan?" tanya Fani dengan bisikan. Una mengangguk. "Dia ngasi tumpangan ke gue gara-gara kesorean." Fani mengangguk, mungkin memang seperti itu jalan ceritanya, tapi jelas itu bukan gaya Radit, mengantarkan pulang cewek bahkan anak bimbingnya jelas bukan Radit banget. Otak pintar Radit cukup mengantarkan seorang ojek untuk membawa Una pulang ke kosnya dengan selamat tanpa perlu diantar langsung olehnya. Ini jelas perlakuan Radit pada Una yang pertama kalinya. Yang ingin dilakukan oleh Fani dan Sheryl adalah mencarikan Radit jodohnya secepatnya, sepertinya sekarang Fani sudah menemukan target yang benar. Una lah orangnya. Hal yang kedua yang membuat Fani semakin tersenyum lebar adalah aroma tubuh Una. Itu aroma Radit, pria itu tak pernah memberikan parfum atau barang lainnya untuk orang lain selain pada Fani. Dan sekarang Fani tahu, Una adalah orang keduanya. Fani tersenyum puas. "Beruntung lo ketemu Radit," ucap Fani membuat dahi Una berkerut. Apanya yang beruntung coba? Dia kesini juga karena terpaksa. "Karena Radit tuh jarang ngasi tumpangan ke orang lain, apalagi sampai bagi-bagi parfumnya." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN