Malam semakin larut, tetapi Kirana tetap duduk di ruang tamu, menatap kosong ke arah pintu yang baru saja ia tutup dengan kasar. Tubuhnya gemetar, bukan karena dingin, melainkan karena campuran rasa marah dan sakit hati yang luar biasa. Tatapannya kosong, dan piring-piring yang telah ia siapkan di meja makan kini terasa seperti simbol dari kebahagiaan yang hilang.
“Kenapa, Mas?” gumamnya pelan, suara yang hampir tak terdengar di antara keheningan. Air matanya mengalir tanpa henti, membasahi pipinya yang pucat.
Pikirannya berputar-putar. Kenapa Adam memilih untuk menyakiti hati yang selama ini mencintainya tanpa syarat? Ia mencoba memahami alasan Adam, mencoba mencari pembenaran di balik semua ini, namun yang ia rasakan hanya luka dan penghinaan.
Ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. Kirana menghapus air matanya dengan cepat, namun ia tetap tidak berniat membukakan pintu.
“Kirana, aku tahu kamu mendengarku,” suara Adam terdengar dari luar. “Aku mohon, beri aku waktu untuk menjelaskan.”
Kirana tetap diam. Ia tidak ingin mendengar apa pun yang keluar dari mulut Adam saat ini.
“Kirana, tolong... Aku hanya ingin bicara. Aku janji, Citra tidak ada di sini. Aku ingin kita bicara berdua, tolong.” Suara penuh harap terdengar jelas di balik pintu
Kirana mendengar suaranya. Hatinya bergolak, ingin tetap mempertahankan harga dirinya dengan tidak membuka pintu. Tapi suara Adam terdengar begitu tulus, meskipun ia tahu itu tidak akan menghapus rasa sakit di hatinya.
“Kirana, aku mohon. Aku tahu aku salah, tapi biarkan aku menjelaskan. Kalau kamu mau marah, silakan. Kalau kamu mau membenci aku, aku terima. Tapi tolong, dengarkan aku dulu,” Adam memohon dengan suara berat.
Beberapa menit berlalu. Kirana menimbang-nimbang, tetapi akhirnya ia menyerah. Dengan langkah berat, ia membuka pintu.
“Masuk,” katanya dingin tanpa menatap Adam.
Adam menghela napas lega, namun ia tahu pertempuran batin Kirana masih jauh dari selesai. Ia melangkah masuk dengan hati-hati, seperti takut melukai lebih jauh wanita yang ia cintai.
Kirana duduk kembali di sofa tanpa berkata apa-apa. Tangannya melipat di depan d**a, ekspresinya tegas dan tidak ingin ditawar.
“Bicara,” katanya singkat.
Adam berdiri di hadapannya, tak tahu harus mulai dari mana. “Aku tahu ini tidak akan mudah untukmu... atau bahkan untukku. Tapi, aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak pernah berniat menyakitimu. Aku... aku hanya mencoba bertanggung jawab atas kesalahan yang aku buat.”
“Kesalahan yang tidak perlu terjadi kalau kamu tidak melakukannya,” potong Kirana tajam. “Apa yang sebenarnya terjadi, Mas? Jangan berbelit-belit.”
Adam menelan ludah. Ia duduk di kursi di seberang Kirana, menunduk sejenak sebelum menjelaskan. “Itu terjadi dua bulan lalu, di acara reunian SMA. Aku bertemu Citra di sana... dia mantan pacarku, dan aku... aku terlalu banyak minum malam itu.”
“Lalu?” Kirana menantangnya untuk melanjutkan, meski hatinya terasa semakin berat.
“Aku tidak tahu bagaimana caranya, tapi kami... aku tidak bisa mengontrol diri waktu itu. Dan sekarang, dia bilang dia hamil. Dua bulan.” Adam mengusap wajahnya dengan kedua tangan, merasa berat mengucapkan kata-kata itu. “Dia bilang itu anakku, Kirana. Aku tidak bisa mengabaikannya. Itu sebabnya aku menikahinya, secara siri.”
Kirana tertawa kecil, tetapi tidak ada kebahagiaan dalam tawanya. “Jadi, hanya karena dia bilang dia hamil, kamu langsung percaya? Kamu bahkan tidak berpikir untuk mengecek kebenarannya dulu? Dan sekarang kamu datang padaku, meminta aku menerima semua ini?”
Adam terdiam. Apa yang dikatakan Kirana benar, tetapi ia merasa terjebak oleh perasaan bersalah dan tanggung jawab yang menghantui pikirannya.
“Aku tahu ini sulit. Tapi aku janji, aku akan bersikap adil. Aku tidak akan mengabaikanmu, Kirana. Kamu tetap istri pertama, kamu tetap yang utama,” ucap Adam berusaha meyakinkan.
Kirana menatap Adam dengan tajam, matanya berkilat marah. “Utama? Kamu pikir aku peduli soal itu, Adam? Aku ini manusia, bukan barang yang bisa kamu bagi-bagi sesukamu! Aku ini istrimu, bukan orang yang harus berbagi tempat dengan perempuan lain!”
“Aku tahu, aku tahu!” Adam berkata dengan nada memohon. “Tapi aku juga tidak bisa mengabaikan anak itu, Kirana. Kalau kamu berada di posisiku, apa yang akan kamu lakukan?”
Kirana bangkit berdiri, dadanya terasa sesak. “Aku tidak akan pernah menempatkan diriku dalam posisi bodoh seperti ini, Mas. Kalau kamu benar-benar mencintaiku, kamu tidak akan membiarkan hal ini terjadi!”
Suasana hening. Adam menunduk, merasa kata-kata Kirana seperti pisau yang terus-menerus menusuk hatinya.
“Kirana, aku mohon... aku tidak tahu harus bagaimana. Aku hanya ingin kita bisa menyelesaikan ini bersama-sama.”
“Tidak ada 'kita' di sini, Mas,” kata Kirana dengan suara bergetar. “Kamu sudah memilih jalurmu sendiri. Dan sekarang kamu ingin aku mendukungmu? Kamu pikir aku ini apa?”
Adam mengangkat wajahnya, matanya penuh dengan permohonan. “Aku tidak ingin kehilangan kamu, Kirana. Aku mencintaimu. Tapi aku juga harus bertanggung jawab. Beri aku waktu untuk membuktikan bahwa aku bisa adil, aku mohon.”
Kirana merasa dadanya seperti dihantam palu. Ia tidak tahu apakah ia harus percaya atau menyerah. Yang ia tahu, kepercayaan yang ia bangun selama dua tahun dengan Adam hancur seketika.
“Aku tidak bisa menjanjikan apa-apa, Mas,” katanya akhirnya. “Tapi kalau kamu benar-benar ingin membuktikan sesuatu, itu terserah kamu. Aku... aku lelah. Aku butuh waktu.”
Adam mengangguk pelan. Ia tahu bahwa ini belum selesai, dan Kirana membutuhkan lebih dari sekadar kata-kata untuk menyembuhkan luka yang ia buat.
“Apa masih ada lagi?” tanya Kirana dengan nada ketus.
“Aku—aku merindukanmu.” Adam mulai mendekat. Ia berpindah duduk di samping Kirana dan berusaha meraih tangan wanita itu.
Kirana seketika bangkit. Ia kibas tangan Adam dengan kuat. “Jangan sentuh aku!” ucap Kirana lalu ia pun pergi, berlalu di balik pintu kamar yang ia banting sebelum tertutup sempurna.
Adam hanya bisa menghela napas. Pria itu memang sangat merindukan istrinya saat ini. Namun sayang, kesalahan besar yang sudah ia perbuat membuat semuanya jadi runyam. Wanita mana pun mungkin akan melakukan hal yang sama jika berada di posisi Kirana.