Kepulangan Yang Menghancurkan

971 Kata
Malam ini, Kirana benar-benar bersemangat. Di meja makan, hidangan istimewa tersusun rapi. Aroma sup ayam jahe yang menjadi kesukaan Adam memenuhi ruangan, bercampur dengan wangi lilin aroma terapi yang ia nyalakan di sudut meja. Kirana mengenakan dress sederhana berwarna peach, rambut hitam panjangnya ia biarkan tergerai. Ia mengecek jam di dinding ruang tamu. “Pukul delapan lewat lima menit. Adam pasti sudah hampir sampai,” gumamnya sambil tersenyum kecil. Dua minggu tanpa Adam membuatnya merasa ada bagian dari dirinya yang hilang. Ia merindukan tawa renyah suaminya, cerita-cerita ringan tentang pekerjaannya, bahkan caranya bercanda yang kadang terlalu garing. Adam adalah pusat dunianya. Dan malam ini, ia sudah tidak sabar untuk memeluk pria itu lagi. Ketika suara mobil terdengar di depan rumah, jantung Kirana berdegup kencang. Ia bergegas ke pintu dengan senyum lebar. Namun, senyum itu sirna begitu pintu terbuka. Di sana, Adam berdiri. Namun, ia tidak sendiri. Di sampingnya ada seorang wanita muda dengan rambut panjang tergerai, wajahnya cantik, penampilannya anggun. Wanita itu memegang lengan Adam dengan erat, seolah tak ingin melepaskannya. Kirana tertegun. “Mas Adam… ini siapa?” tanyanya dengan suara gemetar, mencoba memahami situasi. Adam menunduk, menghindari tatapan Kirana. Wajahnya tampak canggung, dan ia menarik napas panjang sebelum menjawab. “Kirana, aku… aku harus jujur padamu. Ini Citra. Dia istriku.” Kirana terdiam, tubuhnya terasa lemas seketika. Ia melangkah mundur, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Apa maksudmu, Mas? Istri? Bukankah aku istrimu?” Wanita bernama Citra itu tetap berdiri di sana dengan ekspresi canggung, namun tak sedikit pun melepaskan pegangannya pada lengan Adam. “Kirana, aku minta maaf. Aku terpaksa melakukannya,” Adam berkata dengan nada penuh rasa bersalah. “Aku menikahi Citra secara siri dua hari yang lalu. Dia sedang hamil dua bulan... dan aku bertanggung jawab atas itu.” Kirana menatap Adam dengan mata membelalak. Kata-kata itu menghujam hatinya seperti pisau tajam. “Hamil? Jadi, selama dua minggu mas di luar kota, mas—" Adam memotongnya, suaranya mulai parau. “Itu terjadi saat reuni SMA. Aku mabuk, Kirana. Aku tidak sadar apa yang kulakukan… dan saat dia bilang hamil, aku… aku tidak punya pilihan lain.” Kirana menggelengkan kepala, air matanya mulai jatuh. “Kau punya pilihan, Mas! Pilihan untuk tetap setia padaku!” Citra akhirnya buka suara, nadanya lembut namun tegas. “Saya tidak berniat merebut posisi Mbak sebagai istri pertama. Tapi, keadaan ini di luar kendali kami. Saya hanya ingin mas Adam bertanggung jawab.” “Tutup mulutmu!” Kirana menatap Citra dengan mata penuh amarah. “Kau tahu dia suami orang, dan kau tetap datang ke hidupnya? Apa yang kau harapkan dari ini semua?” Adam mencoba menyentuh bahu Kirana, namun Kirana menepisnya. “Jangan sentuh aku, Mas. Jangan pernah!” Kirana memutar tubuhnya, masuk ke dalam rumah, dan membanting pintu di depan mereka. Tubuhnya gemetar hebat. Hidangan makan malam yang tadinya terasa istimewa kini hanya menjadi saksi bisu atas kehancuran hatinya. Adam mengetuk pintu dari luar. “Kirana, tolong dengarkan aku. Aku tahu aku salah, tapi aku mohon, biarkan aku menjelaskan semuanya.” Kirana terdiam di balik pintu, air mata membanjiri pipinya. Ia tidak tahu harus berkata apa. Pria yang selama ini ia percaya sepenuhnya telah menghancurkan hatinya dalam sekejap. Malam itu, Kirana hanya duduk di ruang tamu dengan tatapan kosong. Di luar, Adam terus mengetuk pintu, namun Kirana tidak bergeming. Cinta yang ia pikir akan selalu menjadi pelindungnya kini menjadi luka terdalam yang pernah ia rasakan. Di luar rumah, Adam masih berdiri dengan raut wajah penuh penyesalan. Ia tahu, luka yang baru saja ia goreskan di hati Kirana tidak akan mudah terhapus. Selama dua tahun pernikahan mereka, Adam dan Kirana nyaris tak pernah bertengkar besar. Hubungan mereka harmonis, saling mendukung, dan penuh cinta. Namun malam ini, semua berubah. Adam menghela napas panjang, menoleh ke arah Citra yang berdiri tak jauh darinya. Wanita itu tampak mulai gelisah, menggenggam tas kecilnya dengan erat. “Aku sudah bilang, Mas,” Citra membuka suara, nadanya pelan namun terdengar menuntut. “Aku tidak bisa tinggal di rumah kontrakan. Aku tidak sanggup tinggal jauh darimu, apalagi dalam keadaan seperti ini.” Adam mengusap wajahnya dengan kedua tangan, berusaha meredam kegelisahan. “Citra, kamu tahu aku tidak bermaksud mengabaikanmu. Tapi situasinya sulit. Kirana baru tahu soal pernikahan kita, dan aku harus hati-hati. Ini rumahnya juga. Aku tidak bisa memaksanya menerima semuanya begitu saja.” Citra mendekat, menatap Adam dengan ekspresi yang bercampur antara kesedihan dan ketegasan. “Mas, aku mengerti posisi Kirana. Aku tahu dia sakit hati, dan aku tidak berniat merebutmu darinya. Tapi, aku ini istrimu sekarang, dan aku sedang mengandung anakmu. Bukankah aku juga punya hak untuk tinggal bersamamu? Aku butuh kamu, Mas.” Adam terdiam. Kata-kata Citra membuat dadanya semakin sesak. Ia ingin bersikap adil, namun keadilan seperti apa yang bisa ia berikan dalam situasi serumit ini? “Kamu hamil, aku tahu,” Adam akhirnya berkata dengan nada lembut. “Tapi kita harus menemukan jalan tengah. Tinggal bersama Kirana saat ini mungkin bukan pilihan terbaik. Dia perlu waktu untuk menerima semuanya.” Citra memalingkan wajah, matanya berkaca-kaca. “Jadi aku harus tinggal sendirian di rumah kontrakan? Apa kau tidak kasihan padaku, Adam? Aku sedang hamil anakmu, dan aku ingin kamu ada di sisiku.” Adam merasakan tenggorokannya mengering. Di satu sisi, ia tak ingin menambah luka di hati Kirana. Namun, ia juga tak bisa membiarkan Citra merasa terabaikan. “Aku akan mengantarmu ke hotel,” kata Adam akhirnya. “Malam ini menginap di hotel dulu. Aku akan kembali untuk mencoba bicara dengan Kirana. Tapi aku tidak bisa memaksanya. Kalau ia dia tidak setuju, kita harus mencari solusi lain.” Citra menatap Adam dengan kecewa, namun ia tidak membantah lagi. Malam itu, Adam mengantar Citra ke hotel terdekat untuk menginap sementara. Sepanjang perjalanan, pikirannya dipenuhi berbagai skenario. Ia tahu bahwa malam ini adalah awal dari serangkaian konflik yang mungkin akan menghancurkan keluarganya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN