Wira menatap kue ulang tahun di depannya yang berhiaskan sepasang lilin angka 55. Kue itu belum dipotong sama sekali, namun lilinnya baru saja ditiup oleh seorang pria paruh baya yang duduk persis di kursi yang ada di depan Wira. Di sebelahnya, duduk seorang wanita yang masih tetap cantik meski wajahnya mulai dihiasi kerutan akibat dimakan usia. Keduanya adalah orangtua Wira.
Berbanding terbalik dengan kedua orangtuanya yang sedang menikmati hidangan dengan tenang, Wira justru tidak bisa menikmati makanan di piringnya sama sekali. Padahal, terdapat caviar dan black truffle yang tentunya mahal pada hidangan yang entah apa namanya ini. Namun tetap saja, hidangan mahal tersebut tidak cukup untuk membuat Wira merasa nyaman berada di acara makan malam keluarga untuk merayakan hari ulang tahun ayahnya.
Semua itu karena hubungan Wira dan sang ayah yang tidak begitu baik. Sudah bertahun-tahun, keduanya menghadapi sebuah perang dingin. Jujur saja, Wira malas datang ke acara makan malam ini karena tahu, pasti nanti akan ada obrolan tidak enak yang terjadi di antara mereka. Hanya saja, Wira tetap datang karena tidak ingin ibunya kecewa. Mau jadi sedurhaka apa lagi Wira kalau sampai wanita yang melahirkannya pun dibuat kecewa karena kelakuannya?
Maka, yang bisa dilakukan Wira sekarang hanyalah bersabar dan menjalani makan malam ini sebaik mungkin.
"Nggak terasa ternyata umurku udah lima puluh lima tahun."
Here we go again...ujar Wira dalam hati setelah ayahnya berkata begitu. Ia paham betul, setelah ini pasti pembahasan yang tidak disukainya akan dimulai.
Mereka semua sudah selesai menyantap makanan utama dari rangkaian fine dining malam ini. Dan sekarang waktunya makanan penutup. Suteja Gardapati—ayah Wira—menarik kue ulang tahunnya mendekat, lalu ia mengambil pisau kue dan memotong kue tersebut. Potongan pertama diberinya kepada sang istri tercinta yang duduk di sebelahnya, Sasmaya Rahmani. Potongan kedua untuk Wira dan potongan ketiga untuk dirinya sendiri.
"Untung sampai sekarang badan masih sehat bugar, jadi masih bisa kerja keras. Semoga saja bisa sehat terus sampai lima atau sepuluh tahun lagi, ya kan, Ma?"
Sasmaya tersenyum menanggapi ucapan suaminya. "Amin, Pa."
Wira diam saja. Tidak perlu bicara apa-apa karena nanti juga ayahnya akan menyenggolnya dengan membicarakan sesuatu yang selama ini selalu menjadi alasan perang dingin di antara mereka.
"Kalau bisa sih, aku maunya pensiun dini, Ma. Jenuh juga lama-lama kerja terus setiap hari. Tapi mau gimana lagi, nggak ada yang mau nerusin kerjaan aku ngurus perusahaan keluarga kita," lanjut Suteja santai sambil makan kue.
Wira menghela napas dalam. Benar kan dugaannya, pada akhirnya ia tetap disinggung oleh sang ayah. Ia pun lebih memilih menunduk menatap kuenya, tapi Wira tahu kalau tatapan sang ayah sedang tertuju padanya sekarang.
"Anak satu-satunya nggak mau pegang perusahaan dan lebih memilih pekerjaan nggak jelas jadi fotografer. Bahkan, udah jarang banget nengokin orangtuanya sendiri."
There he said it. Wira meletakkan sendok kuenya, benar-benar sudah kehilangan nafsu makan karena disinggung dengan sangat jelas. Dan Wira paling tidak suka jika sudah disinggung dengan membawa pekerjaannya seperti ini.
"Kenapa Wira? Nggak suka sama kata-kataku?"
"Papa..." Sasmaya mengingatkan suaminya agar tidak memancing keributan yang nantinya hanya akan memperburuk hubungan sepasang ayah dan anak itu.
"Papa mau aku jujur?" tanya Wira tenang. Dengan berani ia menatap ayahnya tepat di mata. Terserah kalau mau menyebut Wira durhaka, ia sudah tidak peduli lagi. "Iya, aku nggak suka sampai sekarang Papa masih sering menyinggung tentang pekerjaan aku. Kita udah punya kesepakatan tentang hal ini, so please just stop and let me live my life happily."
"Membiarkan kamu hidup bahagia?" Suteja tertawa menyindir. "Berani sekali kamu bicara begitu di saat kamu sendiri tidak pernah membuat orangtua kamu bahagia. Sebagai orangtua kamu, belum ada satu pun keinginan kami yang kamu penuhi."
"Karena kemauan Papa selama ini nggak pernah jadi kemauan aku. Memang aku anak Papa dan aku bagian dari keluarga Gardapati. Tapi ini tetap hidup aku dan keputusan-keputusan besar yang ada di hidup aku berhak aku putuskan sendiri."
Sasmaya sudah benar-benar pusing karena perdebatan yang terjadi antara suami dan anak semata wayang mereka. Selalu saja seperti ini saat mereka menghabiskan waktu bersama. Padahal, dalam satu tahun, bisa dihitung jari berapa kali mereka bisa berkumpul bertiga seperti ini. Dan pada akhirnya, pertemuan-pertemuan itu selalu berakhir dengan keributan antara Wira dan Suteja.
Jawaban tegas dari Wira tadi pun tentunya akan menyulut emosi Suteja. Sasmaya rasanya sudah bisa menebak kalau sebentar lagi suaminya pasti akan meledak dan acara makan malam ini akan kembali berakhir dengan tidak baik.
Namun, tebakan Sasmaya salah. Suteja tidak meledakkan amarah seperti biasanya. Pria paruh baya itu justru menghela napas dalam, meletakkan garpunya ke atas piring dan mendorong piring itu menjauh dari hadapannya.
Suteja menatap Wira dengan sorot mata lelah. Melihatnya membuat Wira seketika dirundung oleh perasaan yang tidak nyaman. Merasa bersalah, mungkin?
"Apa perlu aku mati dulu supaya kamu berubah pikiran?"
"Papa...udah." Sasmaya sekali lagi mengingatkan.
"Aku cuma minta kamu jadi penerus perusahaan keluarga kita, Wira. Karena aku tau cuma kamu orang yang bisa gantikan aku dan aku juga nggak mau perusahaan ini jatuh ke tangan orang lain yang bukan keturunan keluarga kita."
Wira terdiam. Ia mengalihkan pandangan karena tidak sanggup melihat ke arah Suteja yang nampak lelah dan juga sedih. Atmosfer di antara mereka sekeluarga pun seketika berubah.
"Selama ini, dari kamu kecil sampai sekarang, kami selalu mencoba untuk ngasih yang terbaik untuk kamu. Dan sekarang, kami juga mau mewarisi perusahaan yang mati-matian kami bangun untuk kamu, Wira. Seenggak mau itukah kamu jadi penerus warisan keluarga sendiri?"
Katakanlah Wira egois, tapi memang iya, Wira tidak mau. Ia tidak bisa jika harus menjadi seseorang yang kerjanya berdiam diri di kantor, menghadiri meeting demi meeting, lalu melakukan perjalanan dinas kesana kemari sehingga memiliki sedikit waktu untuk keluarga. Ia lebih suka waktu kerja yang fleksibel seperti pekerjaan fotografer yang digelutinya sekarang. Wira butuh kebebasan, sedangkan menjadi penerus Suteja pasti akan membuatnya terkekang oleh berbagai aturan.
Selain itu, dunia bisnis juga tidak pernah menjadi minat Wira karena dianggapnya terlalu membosankan dan monoton. Maka dari itu, berat sekali bagi Wira untuk mengorbankan pekerjaan yang bisa membuatnya menyatu dengan alam dan sangat disukainya ini.
Diamnya Wira pada akhirnya membuat Suteja menghela napas. Laki-laki paruh baya itu paham, keputusan bulat Wira tidak akan berubah. Anak semata wayangnya itu sangat mementingkan passion yang dimilikinya.
Suteja pun memutar otak. Jika ia tidak bisa mengubah keputusan Wira, maka ia harus mencari solusi lain.
"Sekarang begini Wira." Suteja berkata lagi setelah beberapa saat.
Wira kembali kembali melihat ke arahnya.
"Kalau kamu nggak mau jadi penerus perusahaan keluarga kita, kamu harus cari penerus lain."
Tidak hanya Wira yang mengerutkan kening kebingungan, Sasmaya yang sedaritadi hanya menyimak pun ikut bingung dengan penuturan suaminya.
"Maksud Papa apa?"
"Kamu nikah dan kasih Papa keturunan Gardapati yang lain."
Wira ingin tertawa rasanya. "Papa nyuruh aku nikah di saat Papa sendiri yang kemarin ngegagalin rencana pernikahan aku, sampai-sampai sekarang aku nggak mau nikah lagi?"
"Kamu tau apa alasanku melarang kamu menikah waktu itu," ujar Suteja tegas. "Sekarang kamu boleh menikah dengan siapa saja pilihan kamu, asal jangan dengan perempuan itu. Kalau kamu masih sayang sama orangtua kamu, turuti kemakuanku yang satu ini."
Di dalam hati Wira merasa kesal, namun ia tahu kalau apa yang dikatakan oleh Suteja tidak bisa dibantah dan ia harus menurutinya.
***
Wira menghembuskan napas lelah ketika ia baru saja sampai di rumahnya dan membaringkan tubuh di atas kasur kamarnya. Malam ini benar-benar terasa panjang. Dan karenanya Wira merasa lelah, baik itu secara fisik maupun mental.
Perdebatan yang terjadi antara dirinya dan sang ayah tadi benar-benar menguras energi. Bahkan rasanya lebih melelahkan dibanding ia baru saja selesai melakukan sesi workout di gym.
Yang diperlukannya sekarang tentunya adalah istirahat. Tidur yang nyenyak, kemudian bangun siang keesokan harinya. Hanya saja, meski tubuh dan pikirannya lelah, mata Wira justru tidak merasakan kantuk sama sekali dan sangat segar. Itu semua karena Wira tidak bisa berhenti memikirkan percakapan bersama ayahnya tadi.
Sekali lagi Wira menghela napas. Kali ini ia menatap langit-langit kamar sementara pikirannya berkelana. Jujur saja, rasanya sekarang Wira jadi merasa bersalah. Dipikir-pikir lagi, Wira sangat egois dan keras kepala, kan? Pasti orangtuanya benar-benar dibuat pusing dengan kelakuannya yang seperti ini.
Tapi mau bagaimana lagi? Lahir sebagai Wirasena Pranaja Gardapati yang merupakan pewaris Gardapati Corporation—sebuah perusahaan properti di Indonesia yang sudah berskala Internasional—sudah diatur oleh sang ayah dengan sedemikian rupa. Sedari kecil, ia selalu merasa bahwa hidupnya dikekang. Sekolah disini, ikut kegiatan ini, tidak boleh seperti itu, harus berteman dengan orang yang begini, dan sebagainya. Hingga pada satu titik, Wira merasa muak dengan semuanya.
Di masa remajanya, beberapa kali Wira sempat protes dengan semua aturan-aturan yang dibuat oleh sang ayah. Tapi saat itu ayahnya selalu bilang, itu semua dilakukannya demi mempersiapkan masa depan Wira sebagai pewaris perusahaan keluarga. Padahal, menjadi pemimpin di perusahaan itu bukanlah keinginan Wira. Ia tidak pernah mau mengurus perusahaan yang selama ini jadi penyebab kenapa hidupnya jadi tidak bebas.
Menuruti perintah ayahnya, Wira berhasil menyelesaikan studi bachelor dan master-nya di Stanford University yang merupakan sekolah bisnis terbaik nomor satu di dunia. Setelah lulus, seharusnya Wira pulang ke Indonesia dan mulai bekerja di perusahaan. Namun, Wira justru memulai pemberontakannya dengan memilih untuk tidak pulang.
Wira memutuskan untuk mendalami hobi fotografi yang sudah digelutinya sedari SMP. Wira memilih untuk keliling dunia. Berkelana mengunjungi tempat penuh sejarah di sudut-sudut kota yang ada di Eropa, mengejar Aurora hingga ke Alaska, hingga menyatu dengan alam yang penuh satwa di Afrika.
Di sepanjang perjalanan itu, karir Wira sebagai fotografer lanskap pun dimulai. Semula, hasil karya Wira tidak ada harganya, hingga kemudian satu foto yang dihasilkannya dibeli senilai jutaan dollar oleh seorang kolektor foto. Dari sana, nama Wira sebagai fotografer lanskap mulai dikenal. Dan karena ketekunannya di dunia fotografi, kini nama Wirasena Pranaja Gardapati pun sudah terkenal sebagai salah satu fotografer lanskap hebat, tidak hanya di Indonesia tapi juga di dunia.
Tapi, tidak peduli sehebat apa sudah pencapaian Wira sebagai fotografer, ayahnya akan selalu memandang pekerjaan itu sebagai pekerjaan rendahan. Karena pekerjaan fotografer itulah yang pada akhirnya membuat Wira memberontak, lama meninggalkan rumah, dan menolak keras mengurus perusahaan.
Itulah penyebab utama hubungan Wira dan ayahnya jadi buruk. Keduanya sama-sama keras kepala, hingga belum ada titik temu yang membuat mereka bisa akur kembali.
Ditambah lagi, hubungan mereka semakin buruk saat sang ayah menolak dengan keras hubungan Wira dengan kekasih sebelumnya yang merupakan seorang model. Kata ayahnya, perempuan itu tidak pantas jadi bagian keluarga Gardapati. Dan karena Wira telah menolak mengurus perusahaan, Wira tidak bisa lagi menolak untuk memutuskan hubungannya dengan perempuan itu. Bahkan ayahnya pun mengancam akan menghancurkan karir perempuan yang dicintainya itu jika Wira masih nekat melanjutkan hubungan mereka.
Dan lucunya, sekarang justru ayahnya meminta Wira untuk memberikannya pewaris lain yang bisa menggantikan posisinya. Pewaris lain itu tentunya harus anak Wira, darah daging Wira sendiri, dan murni berdarah Gardapati. Dalam artian lain, ayahnya menyuruh Wira untuk menikah dan punya anak.
Tapi mau menikah dengan siapa? Sejak hubungannya dan sang mantan kandas karena permintaan ayahnya sendiri, Wira tidak bisa jatuh cinta lagi pada orang lain. Bahkan luka di hatinya saja belum sembuh dan ia masih mencintai wanita itu yang kini sudah memiliki kehidupan bersama orang lain.
"Ini namanya gila," dengus Wira. Ia mengusap wajahnya sendiri dan tiba-tiba merasa frustasi. Hidup jadi seorang Gardapati benar-benar rumit.
Kalau kali ini Wira kembali menolak permintaan ayahnya, hubungan mereka pasti akan semakin memburuk. Dan begini-begini juga, Wira masih menyayangi orangtuanya. Ia tidak mau kalau sampai hubungannya dan sang ayah benar-benar jadi hancur dan tidak bisa diperbaiki lagi.
Tapi, permintaan itu juga merupakan permintaan yang berat. Mana mungkin Wira bisa menikah dengan wanita mana saja hanya demi seorang anak. Baginya, pernikahan itu adalah suatu hal yang sakral dan hanya boleh dilakukan sekali seumur hidup dengan seseorang yang dicintainya. Bukannya dengan seseorang yang dinikahi hanya demi sebuah kepentingan.
Masalahnya, saat ini Wira tidak punya seseorang yang ingin dinikahinya. Jadi, bagaimana ia bisa memenuhi permintaan ayahnya? Perempuan yang dekat dengannya saja tidak ada.
Terakhir ia bersinggungan dengan perempuan nyaris dua bulan yang lalu, di Bali, dan itu pun sebuah kesalahan karena mereka melakukan one night stand saat sedang mabuk. Sampai saat ini Wira memang masih ingat dengan jelas wajah perempuan itu, karena memang wajahnya yang terlalu cantik untuk dilupakan.
Namun, Wira mengingatnya bukan karena ia merasa tertarik apalagi jatuh cinta. Tidak sama sekali. Mengingat perempuan itu justru selalu membuat perasaan Wira gelisah dan tidak nyaman, seolah sesuatu yang buruk sedang menantinya.
Sejak pagi itu, setiap hari Wira selalu berharap, semoga saja sesuatu yang buruk itu tidak akan terjadi padanya.