Yang pertama kali dilakukan oleh Hara setelah keluar dari ruang operasi adalah berlari menuju toilet terdekat. Hara bahkan belum sepenuhnya melepas APD yang dikenakannya selama operasi tadi. Yang baru sempat dilepasnya hanyalah sarung tangan berlumur darah pasien dan juga masker di wajahnya. Hara belum sempat melepas yang lain karena ia sudah keburu diserang rasa mual yang benar-benar hebat sehingga harus menuju toilet secepatnya.
Sesampainya di salah satu bilik toilet yang berada tidak jauh dari ruang operasi, Hara segera menuntaskan rasa mualnya dengan muntah-muntah di dalam lubang toilet yang ada, mengeluarkan semua yang telah dimakannya hari ini.
Setelah selesai, tubuh Hara langsung berubah lemas. Selama beberapa saat ia hanya bisa berjongkok di depan toilet sebelum pada akhirnya berdiri dan menekan flush untuk membersihkan muntahannya tadi. Hara berjalan keluar dari bilik toilet dan berjalan menuju westafel yang menghadap ke sebuah cermin panjang. Ia menatap pantulan dirinya sendiri di cermin dan mendapati kalau wajahnya sudah berubah sepucat kertas.
Hara berdecak. Ia melepas tutup kepala dan jubah operasinya, lalu menyalakan air dari keran westafel untuk kumur-kumur dan mencuci muka. Setelahnya ia kembali menatap pantulan dirinya di cermin seraya menggigiti bibir dengan gusar.
Ini sudah hari ketiga dimana ia mendapatkan serangan mual dan muntah-muntah seperti ini. Dan mualnya selalu saja di jam yang sama.
Hara sendiri merupakan seorang dokter, jadi ia tahu kalau penyebab dirinya muntah-muntah selama beberapa hari ini bukan karena dirinya sedwng mengidap sebuah penyakit. Ia sudah memiliki spekulasi sendiri atas apa yang terjadi pada tubuhnya. Sekali lagi, Hara adalah seorang dokter. Meski dirinya adalah dokter bedah dan apa yang dialaminya bukanlah ranahnya, namun Hara tetap tahu.
Hanya saja, Hara tidak mau itu terjadi.
"Gimana dong?" Gumam Hara pada dirinya sendiri. Ia mengacak-acak rambutnya frustasi.
"Ternyata lo yang tadi muntah-muntah."
Hara terlonjak kaget mendapati salah satu bilik toilet yang lain tiba-tiba terbuka dan seseorang keluar dari sana. Beruntungnya, yang keluar dari sana adalah Gendhis, teman dekatnya semenjak SMA yang juga merupakan seorang dokter di rumah sakit ini.
Gendhis mendekati Hara, langsung khawatir begitu menyadari betapa pucatnya wajah Hara sekarang. Ia menyentuh leher Hara yang dipenuhi keringat dingin.
"Lo sakit?"
Hara menggelengkan kepala dan dengan cepat mengelap keringat yang membanjiri lehernya dengan tangan. "Gue cuma kecapekan aja...tadi abis operasi pasien," ia beralasan.
Gendhis menyipitkan mata tidak percaya. Mereka sudah berteman lama, jadi Gendhis sudah paham bagaimana gerak-gerik Hara jika sedang berbohong. Dan sekarang, Hara terlihat 58;/& jujur. Gendhis ingin maju untuk memeriksa kondisi Hara lebih lanjut, akan tetapi Hara sudah terlebih dahulu melangkah mundur dan menghindari Gendhis.
"Gue harus nemuin bokap dulu," ujar Hara beralasan. "See you around."
Setelahnya ia pergi meninggalkan toilet dan juga meninggalkan Gendhis yang kebingungan. Hara sengaja menghindari Gendhis karena temannya itu dokter spesialis obstetri dan ginokologi. Jika sampai Gendhis memeriksanya, perempuan itu akan langsung tahu tentang kondisi Hara dan Hara tidak mau itu. Setidaknya sampai ia memastikan sendiri kondisinya dan siap untuk bercerita pada Gendhis.
Hara pergi menuju ruangannya, ingin mengambil sebuah barang yang sudah dibeli dan selalu dibawanya sejak beberapa hari yang lalu. Dan kali ini, siap tidak siap, ia akan menggunakan barang tersebut guna memastikan kondisinya yang sebenarnya sudah bisa Hara tebak sendiri seperti apa.
***
"Nggak...nggak mungkin..."
Kedua tangan Hara bergetar ketika ia melihat benda di tangannya perlahan mulai menampilkan sebuah tanda yang berubah. Yang semula hanya memiliki satu garis merah, kini seiring detik yang berlalu memiliki satu garis merah lagi. Semua orang tahu kan apa artinya jika sebuah test pack memiliki dua garis merah seperti itu? Yap, betul sekali! Artinya, siapapun yang telah menggunakan test pack tersebut positif hamil.
Dan, Hara baru saja menggunakan test pack yang hasilnya menunjukkan dua garis merah tersebut. Sayangnya, ia tidak senang sama sekali dengan hasil yang tertera di benda itu. Hara justru frustasi. Sangat frustasi hingga ia melemparkan test pack di tangannya dan menjambak rambut sendiri setelahnya.
Selama dua puluh enam tahun telah hidup di dunia, baru kali ini Hara merasa benar-benar frustasi dan panik. Bahkan ketika menjadi dokter residen saat sedang menempuh pendidikan dokter spesialis pun tidak pernah membuatnya merasa sefrustasi ini.
Jelas saja sih, frustasi yang sedang dirasakannya sekarang bukanlah jenis frustasi yang harus dirasakannya demi mencapai sesuatu yang bisa menjadikan hidupnya lebih baik. Sebaliknya, alasan di balik rasa frustasi ini justru bisa menghancurkan hidupnya yang sempurna.
Seorang Hara Arimbi Paramartha merupakan seorang perempuan yang berasal dari keluarga Paramartha—salah satu keluarga kaya raya dan terpandang di Indonesia. Kakeknya merupakan founder sekaligus pimpinan dari Paramartha Group—perusahaan besar yang bergerak di bidang industri kesehatan, baik itu obat-obatan, alat kesehatan, hingga jaringan rumah sakit. Sementara ayahnya adalah seorang dokter spesialis saraf sekaligus pimpinan dari jaringan rumah sakit Paramartha Hospitals yang saat ini merupakan salah satu rumah sakit swasta terbesar dan terbaik yang ada di Indonesia. Hara adalah calon penerus ayahnya. Sedangkan ibu Hara merupakan seorang dokter spesialis obstetri dan ginokologi yang terkenal, serta merupakan seorang professor di universitas negeri ternama.
Dengan latar belakang keluarga yang seperti itu, sedari awal lahir ke dunia, Hara sudah dirancang untuk memiliki kehidupan yang sempurna. Ia sudah diberikan pendidikan yang bagus oleh orangtuanya bahkan sejak ia masih berusia balita. Masa depan Hara pun sudah diarahkan untuk menjadi seorang dokter sehingga ia pun dididik untuk selalu menjadi anak yang pintar. Dan beruntungnya, Hara mewarisi otak encer kedua orangtuanya. Dipadukan dengan privilege yang dimilikinya dalam fasilitas pendidikan, maka otak encer Hara pun menjadikannya sebagai anak yang sangat berprestasi, bahkan semenjak dirinya masih duduk di bangku taman kanak-kanak.
Jika orang lain menempuh pendidikan wajibnya dalam kurun waktu dua belas tahun, maka Hara hanya butuh waktu sembilan tahun saja. Di usia dirinya yang baru menginjak empat belas tahun, Hara sudah lulus dari sekolah menengah atas dan diterima di fakultas kedokteran universitas ternama di Indonesia. Di usianya yang kedua puluh tahun, ia sudah legal menjadi seorang dokter umum. Dan sekarang, di usianya yang sudah menginjak kedua puluh enam tahun, Hara sudah berhasil menjadi seorang dokter spesialis bedah. Benar-benar pencapaian yang hebat di usianya yang masih terbilang muda, kan? Tidak hanya itu, nilai-nilai Hara pun selalu sempurna. Sekolah selalu dapat peringkat pertama di kelas, sementara IPK 4 tiap semester selalu berhasil dikantonginya semasa kuliah.
Sayangnya, otak cerdas Hara itu hanya berlaku untuk memuluskan pendidikan dan karirnya saja. Tidak berlaku dengan percintaan Hara yang jauh dari kata mulus dan penuh kegagalan.
Jika sudah menyangkut cinta, Hara si wanita cerdas pasti bisa berubah jadi bodoh. Bodoh karena cinta bisa membuatnya patah hati. Bodoh karena patah hati menyebabkan dirinya sakit. Bodoh karena rasa sakit itu bisa membuatnya jadi impulsif. Dan test pack tadi adalah hasil dari keimpulsifan Hara yang bodoh karena cinta.
Hara benar-benar menyesali perbuatannya malam itu. Dirinya yang datang ke Bali sendirian karena masih patah hati, mabuk, flirting dengan laki-laki yang ditemuinya disana, dan berujung melakukan sesuatu yang seharusnya tidak mereka lakukan. Hara benar-benar menyesalinya. Tetapi, penyesalan itu tidak akan bisa mengulang waktu kembali. Nasi sudah menjadi bubur, semuanya sudah terjadi, dan tidak ada yang bisa dilakukan untuk membatalkannya.
Hidup Hara hancur sudah.
Ia menyentuh perutnya dan mencengkeram baju yang dikenakannya saat ini. Hara masih tidak ingin percaya kalau di dalam perutnya sekarang, terdapat janin dari orang yang tidak diinginkannya sama sekali. Apa yang harus dilakukannya sekarang?
Selama beberapa saat ia hanya bisa terdiam di toilet dengan perasaan yang sangat kacau. Hingga pada akhirnya, ia terpikir untuk menghubungi seseorang. Lalu, diambilnya ponsel yang tersimpan di saku jas putih yang masih dikenakannya sekarang. Dengan tangan begetar, Hara mencari kontak seseorang yang hendak dihubunginya.
Tidak butuh waktu lama untuk panggilannya diterima. Begitu mendengar seseorang di seberang sana menyapanya dengan sebuah halo, Hara hampir menangis. Dan sekuat mungkin ia berusaha agar tangisan itu tidak pecah.
"Mas..." Hara berujar dengan suara serak. Napasnya tercekat sebelum ia melanjutkan, "Aku hamil."
Ada hening yang sangat panjang setelah pengakuan itu. Hening tersebut membuat Hara semakin sadar, she is so f****d up. Indeed so f****d. Hidup Hara yang selama ini selalu tertata sempurna, akhirnya hancur juga.