Rasa Yang Berbeda

2360 Kata
"Icha." Sapa orang itu saat sudah lebih dekat dengan tempat duduk Marissa, namun belum sempat orang itu menyapa Marissa secara langsung, Rani sudah lebih dulu datang dan langsung mendorong kursi roda Marissa karena dia sudah selesai dengan menembus obat untuk Marissa. Orang itu hanya menatap Marissa juga Rani saat berjalan dan keluar dari pintu utama rumah sakit, karena orang itu tidak pernah menyangka jika dia baru saja melihat orang yang benar-benar mirip dengan Marissa, orang itu juga sempat berpikir jika orang itu bukanlah Marissa tapi orang yang kebetulan hanya mirip dengan Marissa, lagi pula bagaimana mungkin Marissa akan berada di Jakarta, dia tau jika Marissa tidak akan bisa jauh dari ayahnya, maka hal yang sangat mustahil Marissa akan berada di tempat ini sekarang. Orang itu masih menatap punggung Rani yang baru saja keluar dari pintu utama rumah sakit itu, tentu dia juga tau siapa Rani, istri dari pemilik rumah sakit ini, juga ibu dari dokter Reyhan. Maka saat itu juga dia berpikir jika gadis yang duduk di kursi roda itu adalah putri dari Rani dalam artian adik dari dokter Reyhan. Orang itu juga langsung berbalik dan mengabaikan apa yang baru saja dia lihat juga pikirkan, karena siang ini dia juga ada operasi dan dia harus mempersiapkan diri sejenak untuk menjalankan operasi tersebut. Baru saja dia akan masuk di ruang kerjanya, saat tiba-tiba dokter Reyhan terlihat berjalan ke arah ruang kerjanya dan sepertinya dia, dokter Reyhan juga baru menyelesaikan operasi yang sudah berjalan dari empat jam yang lalu. "Selamat siang, dokter Reyhan. Bagaimana operasi nya, apa berjalan lancar?" Tanya orang itu ramah dan Reyhan langsung terlihat mengangguk sembari tersenyum tipis. "Alhamdulillah, berkat doa kita semua dan doa keluarga pasien. Semoga dia bisa pulih lebih cepat dari yang kita prediksikan." Jawab Reyhan ramah dan orang itu yang kini terlihat mengangguk. "Amin. Dokter memang yang terbaik dalam urusan ini, dan aku sangat mengangumi kinerja dokter!" Imbuh orang itu lagi tapi kali ini Reyhan hanya menggeleng karena itu tidak sepenuhnya menjadi kesuksesan dirinya sendiri, karena tidak hanya dia yang melakukan operasi itu, ada tim yang juga sangat berperan penting dalam setiap operasi yang dia lakukan, maka setiap keberhasilan dari operasi yang dia lakukan itu adalah keberhasilan dari tim-nya, bukan keberhasilan pribadinya. "Itu murni keberhasilan tim, bukan keberhasilan aku seorang saja, dokter!" Jawab Reyhan mantap, dan orang itu langsung terlihat mengangguk setuju. "Ya. Dan jujur itu juga yang membuat aku semakin mengagumi anda!" Balas orang itu lagi. "Oh ya, maaf jika semalam aku tidak bisa hadir di syukuran dokter, tapi doa terbaik untuk dokter dan istri dokter, semoga sakinah, mawaddah, warohmah. Semoga dokter di beri kebahagiaan yang berlimpah bersama istri dokter." Doa orang itu terdengar sangat tulus dan Reyhan langsung mengaminkan doa tersebut. "Amin." Ucap Reyhan lembut. "Oh ya. Bukannya siang ini dokter juga ada operasi?" Tanya Reyhan saat melihat jadwal operasi di ruang yang sama dengan ruangan dimana tadi Reyhan operasi, dan orang itu langsung mengangguk. "Iya. Semoga kali ini, operasi ku juga lancar, sama seperti dokter." Jawab orang itu sama ramahnya. "Kalo begitu, sebaiknya anda istirahat dulu dokter Sammy, karena jujur aku juga ingin istirahat sejenak. Jadi aku,,," "Oh, silahkan dokter. Maaf menggangu dokter dengan obrolan ini!" Jawab orang itu yang di kenal dengan nama dokter Sammy. Lalu Reyhan juga mengangguk ramah. "Lain kali jika tidak ada jadwal yang cukup berat, kita bisa ngobrol sambil minum kopi." Tawar Reyhan dengan nada bersahabat, dan Sammy langsung terlihat sangat antusias. Baru setelah itu dokter Reyhan masuk ke ruang kerjanya dan istirahat sejenak sebelum kembali pulang. Siang itu, operasi yang Sammy lakukan bersama salah satu dokter bedah lain, juga beberapa tim lain, berhasil dengan sangat baik. Sore itu, Sammy hanya duduk di kursi ruang kerjanya, dan bayangan tadi siang saat dia bertemu orang yang sangat mirip dengan wanita yang sangat dia kenal kembali terlintas. Tidak hanya mirip, tapi wajahnya, rambutnya, garis wajahnya, lekuk hidung tingginya, benar-benar sangat mirip dengan wanita yang sudah sangat lama dia kenal. Wanita yang juga ada di hati dan pikirannya, tapi wanita tadi hanya duduk di kursi roda dan itu artinya jika wanita itu mungkin seorang pasien di rumah sakit itu, wanita yang juga bersama Rani, ibu dari dokter Reyhan Fadilla. Beberapa Minggu berlalu. Semua berjalan cukup baik, Marissa juga sedikit demi sedikit bisa lebih akrab dengan para asisten rumah tangga mertuanya, tidak jarang Marissa juga melakukan panggilan video dengan ayahnya. Meskipun dia tidak bisa melihat ayahnya secara langsung setidaknya pak Yusup bisa melihat jika putrinya sedang baik-baik saja, dan itu jauh terasa membahagiakan untuk seorang ayah saat bisa melihat satu-satunya putri yang dia miliki bisa mendapatkan hidup yang lebih baik dari yang bisa dia berikan. Hubungan Marissa dan Reyhan juga semakin baik, maksudnya sudah lebih baik, karena kini mereka juga tidak begitu canggung untuk sekedar saling menyapa. Saat di kamar, Reyhan juga tidak menunggu Marissa untuk meminta tolong lebih dulu. Reyhan tau jika Marissa akan membutuhkan bantuan, maka Reyhan juga tanpa di minta akan membantu Marissa, seperti turun, atau naik dari ranjangnya atau sekedar membantu Marissa ke kamar mandi. Hanya sampai pintu kamar mandi . Selain itu adalah bagian dari tanggung jawabnya, Reyhan juga melakukan itu sebagai solidaritas sesama manusia. Tidak ada sedikitpun niat untuk melakukan hal lebih pada Marissa, hal lebih seperti menuntut Marissa dengan perkara kebutuhan biologisnya, tidak ada. Rasa ingin tentu ada di hati kecil Reyhan, tapi sampai detik ini, rasa di hati Reyhan juga belum berkembang lebih untuk wanita yang kini sudah sah secara hukum dan agama menjadi istri-nya. Bukan tidak bisa, hanya belum bisa berkembang lebih, namun selalu ada harapan untuk rasa itu. Karena setiap manusia memang tidak akan pernah tau apa yang akan terjadi di hari esok atau lusa, baik itu untuk urusan hati, ataupun menyangkut takdir orang itu sendiri. "Icha. Mas tidak akan pulang malam, ini. Mas ada piket malam di rumah sakit lain, jadi Icha tidak perlu menunggu mas pulang. Icha tidur aja, bawa Alena bersama mu di kamar!" Ucap Reyhan sore itu saat bersiap untuk ke rumah sakit untuk menggantikan jadwal piket dokter lain, karena dokter yang bersangkutan sedang berhalangan hadir, jadi sudah hal yang bisa bagi beberapa dokter dengan spesialis yang sama akan barter jam piket. Marissa hanya mengangguk dan Reyhan langsung meraih tangan Marissa untuk Marissa cium punggung tangannya dan Reyhan juga mengusap rambut di kepala Marissa, sementara Rani hanya memperhatikan dari arah duduknya yang tidak jauh dari tempat Reyhan dan Marissa saat ini. Ada senyum yang ikut terbit dari kedua sudut bibir Marissa, entah senyum yang bagaimana itu, apakah senyum itu pertanda rasa ikhlas Marissa dengan takdirnya, atau hanya sekedar untuk menghormati suaminya. Rani tidak mau berpikir terlalu jauh, namun satu yang Rani inginkan saat ini adalah Reyhan putranya, bisa secepatnya move on dari mantan istrinya yang kini berstatus adik iparnya, Alea Azuria Mahespati, istri dari putra keduanya, Sadewa. Reyhan sudah memasuki mobil dan berlalu dari garasi rumah mereka saat Rani menghampiri Marissa yang masih terlihat duduk di kursi rodanya. "Cha, ibu baru membuat bolu tape, apa Icha ingin mencobanya?" Tawar Rani dengan membawa beberapa potong bolu tape untuk dia tawarkan pada menantunya, dan Marissa hanya tersenyum sembari membuka mulutnya untuk menerima suapan dari ibu mertuanya, karena Rani baru saja mengintruksikan padanya untuk membuka mulutnya. Marissa diam sebentar saat potongan bolu itu mendarat di mulutnya untuk mengoreksi rasa bolu tadi dan langsung tersenyum saat sudah menelan bolu tadi. "Bagaimana rasanya? Apa ini enak?" Tanya Rani setelahnya karena dia memang baru pertama kali membuat bolu seperti itu. Rani baru menerima resep itu dari menantu pertamanya pagi tadi, dan sore ini dia langsung praktek membuatnya. "Apa ibu mau jawab jujur, atau hanya sekedar menyenangkan? Atau apa boleh Icha kasih saran?" Tanya Icha ragu-ragu tapi Rani langsung mengangguk sembari mengatakan iya. "Tentu saja, ibu ingin jawaban jujur darimu!" Imbuh Rani dan Marissa langsung terlihat sangat lega. "Bolu-nya enak kok, Bu. Tapi kayaknya ini terlalu manis. Kedua ibu terlalu banyak memasukkan soda kue, jadi eleman bolunya yang seharusnya lembut jadi sedikit terasa asin, selain itu tapenya juga seharusnya ibu pilih tape yang benar-benar matang, jadi rasanya juga akan lebih lembut." Jawab Marissa berterus terang. Marissa memang cukup banyak memahami cara membuat kue juga memasak. Selain pernah bekerja di salah satu restoran, Marissa juga dulu pernah bekerja di toko kue, jadi sedikit pengalaman mengajarkan Marissa cara membuat beberapa kue. Keterbatasan ekonomi dan menjadi tulang punggung untuk ayahnya menuntut Marissa untuk lebih ekstra bekerja, tapi sedikitpun tidak pernah ada rasa lelah atau menyesal dengan kehidupan yang dia dan ayahnya alami di masa itu. Marissa bisa menyelesaikan kuliahnya juga berkat beasiswa, karena tekadnya benar-benar ingin menjadi seorang pengajar. "Wah. Ternyata menantu ibu juga pandai dalam hal ini, lain kali ibu akan mencoba mengubah takarannya. Apa Icha mau membantu ibu?" Ucap Rani di ikuti pertanyaan dan Marissa langsung terlihat mengangguk. "Tentu saja, ibu." Jawab Marissa lagi. "Jadi beri tahu ibu, kue apa saja yang bisa Icha buat?" Tanya Rani antusias dan Marissa juga menyebut beberapa nama-nama kue yang memang pernah dia buat dulu saat dia bekerja di toko kue, juga beberapa aneka kue kering, seperti rempeyek dan rengginang. Rani sudah luar bisa senang saat mengetahui hal itu. "Oh itu sangat menakjubkan, Icha. Pokoknya, besok ibu Icha sebutin aja bahan-bahan untuk membuat rempeyek nanti bibik akan bantu membelinya dan kita akan mencoba membuatnya!" Imbuh Rani bersemangat dan Marissa juga sedikit senang karena pada akhirnya dia jadi merasa berguna dengan bakat recehnya ini. Malam itu seperti yang Reyhan katakan sebelumnya, dia tidak akan pulang jadi malam ini Marissa kembali tidur dengan Alena dan menceritakan dongeng sampai putrinya terlelap. Setiap malam Marissa memang akan menceritakan satu dongeng untuk Alena, sampai Alena terlelap dan semua cerita itu benar-benar membuat Alena sangat senang meskipun beberapa kali Alena juga sempat menangis saat Marissa menceriakan kisah sedih tapi juga akan tersenyum di akhir cerita itu jika cerita itu akan mendapatkan akhir yang bahagia. Alena juga selalu mengatakan ingin menjadi tokoh dari cerita yang Marissa ceritakan, seperti saat ini misalnya, saat Marissa menceritakan kisah Putri salju dan tujuh kurcaci, Alena juga tiba-tiba ingin menjadi putrinya salju. "Ma, apa Ale juga bisa menjadi putri salju? Apa Ale bisa cantik seperti putri salju, dan bertemu kurcaci juga pengeran?" Tanya Alena ceriwis. Alena sudah berusia lima tahun lebih, tapi kosa katanya kadang masih kurang tepat, Alena masih belum bisa mengucap hurup R dan S. tapi masih bisa untuk di pahami. "Kalo kurcari keknya itu tidak bisa, Ale, karena sekarang kurcaci sudah tidak ada lagi, tapi bertemu pangeran tentu saja Ale bisa." Jawab Marissa sembari menepuk-nepuk p****t Alena agar Alena bisa tidur lebih cepat. "Benarkah?" Tanya Alena semangat, dan Marissa langsung mengangguk. "Tentu saja. Jadi lebih baik sekarang Ale juga bobok, biar besok Ale bisa bangun pagi dan gak kesiangan kayak tadi pagi!" Imbuh Marissa dan detik itu juga Alena langsung memejamkan matanya sambil beringsut di pangkal lengan Marissa dan selang beberapa menit napas Alena terasa teratur dan Marissa yakin jika Alena sudah terlelap, baru setelah itu Marissa juga memejamkan mata untuk segera menyusul mimpi putrinya. Benar saja. Pagi itu Alena bangun lebih pagi dan sudah bersiap untuk berangkat ke sekolah taman kanak-kanak, dengan di antar oleh Rani, karena Reyhan semalam benar-benar tidak pulang. Pagi itu juga Rani meminta salah satu asisten rumah tangganya untuk mencari bahan yang kemarin sore Marissa beri tahu karena rencananya hari ini mereka akan prakte buat rempeyek, sementara dua asisten rumah tangga yang lain sedang mencuci pakaian dan menyapu halaman belakang rumah Burhan. Pagi itu Marissa belum mulai mandi karena masih harus menunggu bibik yang biasa membantunya pulang dari pasar, namun rasa ingin ke kamar mandi juga saat ini Marissa rasakan. Marissa pelan-pelan mendorong kursi rodanya sambil meraba satu pintu tapi kebutaannya ternyata membuat dia lebih sulit melakukan apapun sendiri, bahkan untuk ke kamar mandi pun Marissa masih membutuhkan bantuan. Marissa mendorong kursi rodanya saat tiba-tiba lututnya malah membentur nakas sebelah ranjangnya, dan langsung mengaduh juga menahan lututnya dengan sebelah tangannya, dan bersamaan dengan itu, Reyhan juga baru masuk ke kamar itu, mendengarkan juga melihat Marissa yang mengaduh sambil menahan lututnya. "Apa yang terjadi. Apa yang ingin Icha ambil? Di mana bibik?" Tanya Reyhan setelah menarik kursi roda Marissa, dengan perasaan cemas karena takut kaki Marissa kembali bermasalah. "Icha mau ke kamar mandi, mas. Bibik masih ke pasar." Jawab Icha dan Reyhan langsung mendorong kursi roda itu ke kamar mandi. Marissa masih menggunakan pakaian yang kemarin sore dan Reyhan langsung menyimpulkan jika Marissa juga belum mandi, dan Reyhan yakin jika sebenarnya Marissa ingin ke kamar mandi untuk mandi dan berganti pakaian. Saat Marissa sudah di kamar mandi, Marissa justru diam dan tidak melakukan apapun, karena jadi bingung sendiri, apa yang harus dia lakukan, dan Reyhan melihat keterdiaman Marissa di sana. "Kenapa? Apa Icha mau mas bantu untuk,,," "Tidak mas. Icha bisa kok. Tidak apa-apa." Jawab Marissa memotong pertanyaan Reyhan "Tidak apa-apa. Mas tidak keberatan sekalipun harus membantu Marissa dalam segala hal. Termasuk mandi dan berganti pakaian. Mas adalah suami Icha, jadi tidak ada hal yang salah jika mas juga melakukan ini untuk Icha. Mas bisa." Ucap Reyhan saat melepas anak kancing lengan kemejanya lalu menggulung ujung lengan kemejanya hingga ke siku, juga melepas sepatunya dan menggulung ujung celana bahannya agar lebih tinggi dan membantu Marissa melepas satu persatu pakaian yang melekat pada tubuhnya, hingga terakhir membantu Marissa melepas celana dalam juga bra yang menutup buah dadanya. Marissa benar-benar terdiam tanpa kata, tidak menolak atau mencegah apa yang Reyhan sedang lakukan karena tiba-tiba dia juga kesulitan untuk sekedar berucap, lidahnya terasa kelu, dan kaku, sementara Reyhan juga sempat terdiam sejenak saat sudah membuat tubuh Marissa polos di depannya. Sudah lebih satu bulan mereka, Reyhan dan Marissa menikah, dan ini adalah kali pertama Reyhan melihat tubuh istrinya tanpa sehelai benang. Darahnya tiba-tiba terasa mendidih, dan napasnya tiba-tiba terasa sesak di d**a juga rongga tenggorokannya. Reyhan menelan salivanya sendiri saat melihat tubuh polos istrinya yang benar-benar sangat indah, buah dadanya cukup besar dan bulat. Kulit nya benar-benar putih merata layaknya kulit yang memang mendapatkan perawatan ekstra dengan biaya mahal. Tidak ada cacat sedikitpun di tubuhnya kecuali di paha nya yang sempat patah, dan itu cuma hanya bekas gips. Reyhan kembali menelan salivanya sambil menatap d**a istrinya dengan sedikit mendongak karena Reyhan masih berjongkok di depan Marissa usai membantu Marissa melepas celana dalamnya. Entah siapa yang sudah membantu Reyhan mengangkat naik tangannya untuk berada di d**a istrinya lalu,,,
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN