BYUR!
Seorang cewek langsung bangun dari tidurnya ketika tiba-tiba saja air dingin mengguyur tepat di wajahnya. Ia megap-megap untuk mencari napas. Jantungnya sudah berdebar karena shock dengan apa yang ia dapatkan pagi ini.
Cewek itu beringsut duduk sembari mengusap wajahnya yang kini sudah basah, tidak hanya itu, pakaian yang ia kenakan juga terkena air. Ia mengerjapkan mata dan pandanganya langsung terarah kepada wanita dihadapannya.
"Oh sekarang gini kerjaan kamu, ya! Tidur-tiduran sampai nggak ingat waktu. Ini udah jam enam lebih, dan kamu belum nyiapin makanan buat saya?!" teriak wanita muda yang berdiri menjulang. Matanya yang setajam elang menyorot penuh kebengisan. Kedua tangannya berkacak pinggang, sementara kepalanya sudah mendidih oleh amarah tak tertahankan.
Cewek itu membulatkan matanya lebar-lebar, buru-buru ia memperhatikan jam yang berada di dinding. Betul, sekarang sudah pukul enam lebih. Dan ia sangat terlambat. Jadwal bangun paginya selambat-lambatnya adalah pukul setengah lima pagi. Dan entah apa yang menyebabkan sampai ia terlambat bangun seperti ini. Biasanya tidak pernah, ia selalu tepat waktu.
Tidak tahu harus mencari jalan keluar, cewek itu pun mengeluarkan napas panjang dan sorot matanya kini menatap ke lantai. Ia tidak berani bersitatap dengan wanita dihadapannya ini. Lagipula ia juga merasa bersalah.
"Maafin Kana Bu, Kana nggak tahu kalo Kana terlambat bangun," jawabnya lirih, masih menundukkan kepala. Ketakutan kini sudah menguasai dirinya. Ia sudah menduga bahwa kejadian tidak menyenangkan pasti akan ia dapatkan setelah ini.
Terdengar tawa keras dan menggelegar setelah ucapan Kana melayang di udara. Mendengar itu, detak jantung Kana semakin beraksi cepat. Bibirnya ia gigit secara kuat. Ia berdoa dalam hati agar ibunya tidak marah. Meskipun kecil kemungkinan hal itu bakal terjadi, tapi Kana masih berharap.
"Gampang banget ngomong minta maaf! Buruan sana masak, nggak ada makanan sama sekali di dapur asal kamu tau!"
Kana memberanikan diri untuk mendongak. "Bu, tapi ini udah siang, Kana harus siap-siap ke sekolah. Nanti ka—"
PLAK!
Kepala Kana langsung terbanting ke samping sebelum ucapannya terselesaikan. Ia mengatupkan mulut bersamaan dengan rasa nyeri yang tiba-tiba hadir dan merayap di pipinya. Kana memegangi pipinya, ia lalu menatap ibunya dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
"MAU BANTAH PERINTAH SAYA KAMU?! BERANI KAMU SAMA SAYA, HA?!"
Kana masih mengunci mulutnya. Ia menatap ibunya yang tega sekali berbuat seperti ini kepadanya. Kalau perbuatan seperti ini dilakukan satu kali dua kali, mungkin Kana bisa memakluminya. Tapi keadaan yang ia dapatkan bukan seperti itu. Ini lebih kejam dari perkiraannya, setiap hari ia diperlakukan kurang baik oleh ibunya. Padahal Kana sudah sangat berkerja keras di rumah ini, dan ia tidak berani bertanya kepada wanita tersebut kenapa dirinya diperlakukan seperti ini.
"Buruan sana masak! Kok malah bengong sih! Mau saya siram lagi pake air, ha?! Atau mau pakai minyak panas aja biar muka kamu gosong, ha?!" Wanita itu menarik Kana dari kasur agar segera berdiri. Lalu ia mendorongnya keluar dari kamar.
Kana hanya diam dan mencoba untuk menegarkan hatinya. Ia harus banyak bersabar menghadapi semua ini. Lagipula, membantah juga merupakan perbuatan yang tidak baik. Apalagi kepada ibunya, meskipun wanita yang membentaknya ini bukan ibu kandung. Tapi Kana harus menurut, karena ia sayang kepada wanita itu
"Lelet banget sih! Jangan lembek gini dong. Jatah tidur kamu itu udah lebih dua jam. Dan saya nggak mau tahu, kamu harus masak yang enak. Masa bodo mau kamu terlambat sekolah apa enggak, itu bukan urusan saya. Ngerti?!"
Kana mengangguk cepat.
PLAK!
"DENGERIN SAYA NGOMONG NGGAK?! JAWAB UCAPAN SAYA, JANGAN CUMA NGANGGUK KAYAK ORANG GAGU!" Wanita yang memakai pakaian daster itu kemudian mendekati Kana dan langsung mencengkeram mulut Kana dengan kuat. "INI MULUT FUNGSINYA BUAT APA? BUAT PAJANGAN DOANG, HA?!"
Kedua mata Kana sudah berkaca-kaca. Mulutnya kini terasa sakit, padahal denyutan menggila yang ia dapatkan dipipi akibat tamparan beberapa menit yang lalu belum kunjung hilang. Kana menunduk setelah berhasil melepaskan tangan wanita itu.
"Maaf Bu."
"Maaf maaf doang kamu bisanya. Buruan masak!"
Gimana mau masak kalo ibu dari tadi marah terus? Kana langsung menghindar dan melangkah menuju dapur. Kata-kata tadi jelas tidak berani ia utarakan, karena ia sudah menebaknya dengan jelas. Jika ia menjawab ataupun membantah, ibunya pasti akan melakukan hal-hal lebih menyakitkan lagi. Dan Kana memilih untuk diam. Itu lebih baik daripada mencari masalah baru.
Di dapur, Kana langsung membuat sayur sop dan menggoreng beberapa ikan, tempe, dan tahu. Bukan cuma itu, Kana juga membuat menu makanan lain untuk ia hidangkan. Karena ia tahu dan sudah hapal, ibunya pasti bakal marah-marah jika makanan yang terhidang di meja hanya sedikit. Kana tidak memikirkan waktu lagi. Urusan terlambat masuk sekolah, biar jadi urusan belakangan. Yang perlu Kana hadapi sekarang hanya ibunya.
Tanpa sadar, jam di dinding sudah menunjukkan pukul setengah tujuh lebih, dan Kana belum juga bersiap untuk berangkat sekolah. Jangankan siap berangkat, mandi saja ia belum. Ia gelisah bukan main, apalagi di meja makan ibunya dan kedua saudara tirinya sudah meneriaki dirinya.
"KANA! LAMA BENER SIH LO! BURUAN DONG, GUE UDAH LAPAR BANGET NIH."
Teriakan itu berasal dari Luna, saudara tirinya. Kana semakin dirundungi kecemasan tiada tara. Sebentar lagi semua makanan sudah siap.
"NIAT MASAK NGGAK SIH LO? SENGAJA YA MAU BIKIN KITA TERLAMBAT SEKOLAH?"
Sudah bisa Kana tebak jika itu adalah suara Lana, saudari tiri yang satunya lagi. Luna dan Lana memang kembar. Tidak salah jika watak mereka tidak jauh berbeda.
Kana menarik napas panjang dan berbicara lantang. "IYA, SEBENTAR LAGI UDAH SIAP KOK."
Desakan dari mereka membuat Kana takut, bingung, dan merasa cemas sendiri. Sungguh, ia gugup dan jantungnya sudah berpacu semakin keras. Hingga, tanpa sadar tangannya memegang panci panas.
"Auw..." Kana menjerit dan segera memasukkan jarinya ke dalam mulutnya. Ia bertambah takut dan cemas.
"KANA! BURUAN DONG, LAMA BENER SIH. BISA MASAK NGGAK SIH SEBENARNYA?!"
Kali ini suara itu datang dari ibu. Untung saja sekarang masakan sudah siap semuanya. Kana mencicipi sayur sop yang ia buat, rasanya pas, tidak hambar dan tidak terlalu asin. Membuat Kana merasa bangga.
Ia buru-buru mengantarkannya satu persatu makanan yang ia buat ke meja makan. Ia harus beberapa kali bolak balik, dan tubuhnya sudah mulai lelah.
"Masak gini doang lama bener huuu ..." Lana berkomentar sambil memberikan Kana pelototan tajam.
Kana tidak berani membalas komentar itu. Ia tahu diri, ibu pasti bakal marah dan tidak pernah mendukungnya.
"Kalian berdua buruan makan, udah mau jam tujuh. Mama nggak mau kalian terlambat," ujar wanita yang sedang duduk di hadapan Lana dan Luna. Kana masih bertahan pada posisinya, berdiri di samping meja.
Kana memperhatikan ibunya yang mengambil sendok, kemudian mulai mencicipi sup buatan Kana. Jantung Kana sedari tadi rasanya tidak bisa berdetak secara normal.
"BAH ... SUP APAAN INI? ASIN BANGET KAYAK AIR LAUT." Ibu meludah dan segera meminum air putih. Seperkian detik berikutnya, ia menatap Kana tajam. "KAMU SENGAJA, YA?!
Kana menggeleng, "nggak kok Bu."
"KALO GITU, KENAPA RASANYA NGGAK ENAK GINI?!"
"Tapi tadi Kana cobain rasanya pas kok Bu, nggak asin."
"OH SEKARANG UDAH BERANI BANTAH?" Wanita kejam itu tersenyum sinis, kemudian mengangguk berulang kali. Lalu ia menarik tangan Kana dengan cepat.
Kana melotot lebar dan menggeleng kuat-kuat sewaktu ibunya mau membawa tangannya ini ke dalam sup panas yang tadi ia buat. "Bu jangan Bu, maafin Kana. Jangan Bu."
"DIAM KAMU! INI HUKUMAN KAMU KARENA UDAH MASAK NGGAK ENAK!"
Sudah tidak tahan lagi, air mata Kana akhirnya jatuh membasahi pipinya yang mulus. Cewek itu meronta minta dilepaskan, tapi cekalan ibu terlalu kuat. Kana menjerit kesakitan ketika ibu berhasil mencelupkan tangannya di baskom yang berisi sup panas. Bahkan kepulan asapnya masih terlihat jelas. Kana menangis keras, kenapa ibu sekejam ini?
***
"Sekali putaran, setengah putaran, bersihkan sel kulit mati dan kotoran, tar putar di wajah, bilas, mukaku ganteng."
Elang bernyanyi riang di tengah koridor sambil berjoget tanpa rasa malu. Suaranya yang sama sekali tidak enak didengar membuat orang lain ngakak di tempat. Elang juga mengucapkan terima kasih kepada orang yang sudah tertawa. Memang, cowok itu memiliki sifat yang absurd dan sulit ditebak segala tingkahnya.
"Diem b**o, jangan bikin gue malu!" Ragas yang berjalan tepat di samping Elang langsung saja berkomentar dan memberikan Elang cubitan maut. Membuat Elang terhenyak dan mendesis kesal.
"Kok malu sih? Gue kan cogan idaman para ukthi," balas Elang tidak terima.
"Pede amat lo, muka kek lumpur Lapindo gitu."
Bola mata Elang membulat seketika. "Wah jangan gitu dong, namanya penghinaan kelas kakap. Lo mau gue laporin kak Ros?" Elang melempar pandangan sinis untuk Ragas.
Tidak mau berdebat hal-hal aneh dengan Elang, Ragas memilih mempercepat langkahnya, meninggalkan Elang begitu saja.
"Anjir gue ditinggal. Mana nggak salam dulu lagi tuh anak," gumam Elang sambil mendesah panjang dan menggelengkan kepalanya. Ia memandangi Ragas yang semakin melaju cepat. Karena tak mau ketinggalan lebih jauh lagi, Elang pun berusaha menyusul. "WOY GAS, COGAN MASA DI TINGGAL SIH! WOY GAS!"
Elang berteriak keras selagi ia melangkah cepat. Walaupun nantinya ia kehilangan jejak Ragas, sebenernya Elang sudah tahu tujuannya akan ke mana. Yaitu ke perpustakaan untuk mengambil buku cetak. Kalau di kelas tadi tidak berisik dan mengobrol sendiri, tentu saja Ragas dan Elang tidak akan di suruh-suruh seperti ini.
"Cepet banget Ragas ilangnya, naik UFO atau piring terbang?" decak Elang jengkel.
Elang pun akhirnya berlari agar cepat sampai. Namun, ketika ia berada di belokan koridor, Elang bertubrukan dengan seseorang. Ia yang tidak siap menahan tubuhnya, langsung saja terjungkal ke belakang.
"Eh mamang! b****g gue yang bohai jadi lecet nih, aduh ... mana sakit lagi," omel Elang sambil meringis kesakitan. Ia memegangi punggungnya. Perlahan, ia mendongak ke atas untuk melihat siapa gerangan orang yang menabraknya sampai ia jatuh seperti ini. Pokoknya Elang mau minta uang tebusan lima milyar untuk modal nikah sama kak Ros!
Baru saja mendongak beberapa detik, Elang langsung melotot lebar dan bangkit berdiri. Senyumannya perlahan terbit. "Eh ketemu lagi sama cecan, tadinya gue mau minta uang tebusan. Tapi nggak jadi karena yang nabrak itu elo hehe ..."
"Sori, gue nggak sengaja."
"Nggak pa-pa kok. Nanti tabrakan lagi juga boleh. Tapi lo langsung peluk gue biar gue nggak jatuh kayak tadi," ucap Elang ngasal.
"Sekali lagi gue minta maaf."
Elang nyengir lebar. "Ah maaf mulu, jangan gitu ah. Nanti gue mencret di celana kan berabe jadinya. Nama lo seinget gue Kana. Nah betul tuh Kana. Wah nggak nyangka kita ketemu lagi, kita emang jodoh dunia akhirat."
Cewek dihadapan Elang menyerngitkan dahi bingung karena bertemu dengan cowok tidak jelas macam Elang ini. Ia kemudian mengerjapkan mata dan menggeleng cepat. "Gue buru-buru, permisi."
Elang langsung mencegahnya dengan cepat. Cowok itu tidak akan membiarkan Kana pergi begitu saja. Ia tidak mengharapkan pertemuan begitu singkat seperti ini. Elang ingin lebih, meskipun tidak terlalu lama. Setidaknya tidak singkat seperti ini.
"Aduh..." Kana menjerit kesakitan ketika Elang menyentuh tangannya, tidak—lebih tepatnya menahannya agar ia tidak pergi. Masalahnya bukan itu, tangan Kana sekarang sedang sakit akibat mama tirinya yang mencelupkan tangannya di baskom berisi sup panas.
Setelah tangannya terlepas dari genggaman Elang, Kana segera meniup luka ditangannya itu. Rasanya masih panas dan nyeri. Apalagi ini tangan kanan, membuat aktivitasnya sedikit terganggu.
Elang tentu saja terkejut ketika melihat tangan Kana. "Eh tangan lo kenapa? Kok melepuh gitu? Merah banget tuh. Abis di make up, ya?" serunya panik.
Kana terkejut dan langsung menyembunyikan kedua tangannya di balik punggung. Ia menggeleng cepat. "Eh mmm ... Ini nggak pa-pa kok. Cuma luka dikit."
"Oh luka. Kirain abis di make up gitu. Tapi kalo itu beneran luka, pasti sakit banget tuh, coba gue lihat."
"Nggak mau."
"Coba gue lihat, tenang aja gue nggak usil. Gue cuma penasaran aja," desak Elang.
"Kok lo maksa?" Kana menyipitkan matanya, memandangi Elang.
"Gue khawatir sama keadaan lo. Buruan siniin, biar gue lihat. Siapa tahu langsung sembuh waktu ditatap cowok ganteng kayak gue," balas Elang.
Meskipun awalnya ragu, tapi akhirnya Kana menjulurkan tangannya ke hadapan Elang. Cowok itu memegangi lengan Kana dan memperhatikan lebih jauh lagi luka ditangan cewek itu.
"Jangan pegang, sakit nih," ujar Kana memperingati.
"Yang sakit punggung tangan lo, bukan lengan lo. Jadi nggak ngaruh," ucap Elang. "Parah banget sih ini lukanya, dulu gue juga pernah tapi nggak separah ini. Kok bisa gini sih? Gimana ceritanya?"
Kana menggeleng. "Nggak ada waktu buat cerita, gue harus pergi."
"Jangan dulu dong. Oke kalo lo nggak mau cerita, tapi lo harus ikut gue ke UKS," jawab Elang cepat. Ia menatap Kana dalam-dalam, dan ketika melihat bibir Kana yang bergerak hendak mengucapkan kalimat, buru-buru Elang mencegahnya. "Jangan bantah omongan cowok ganteng disamping lo ini, nanti kena karma. Ayo buruan!"
Elang pun segera memegangi tangan kiri Kana dan membawa cewek itu berjalan menuju UKS. Kana tidak bisa memberontak, karena betul apa kata Elang, lukanya parah. Dan Kana sadar jika ia harus segera diobati agar lukanya cepat membaik. Elang tidak peduli dengan Ragas lagi, masa bodoh jika ia dicecar dan diinterogasi habis-habisan nantinya. Elang bisa mencari alasan. Yang ada dipikiran Elang saat ini hanya luka ditangan Kana. Entah kenapa Elang khawatir dengan cewek itu.
Setelah sampai di UKS, Kana dan Elang disambut seorang perawat dengan baik. Perawat tersebut langsung bertanya ada masalah apa, dan dengan cepat Kana menunjukan luka siraman air panas ditangannya itu.
"Ya ampun, kok bisa gini sih?" tanya perawat bernama Yanti. Raut wajahnya terlihat kaget dan khawatir. "Ini kenapa bisa begini?"
"Tadi pagi saya niatnya mau mandi air hangat, tapi tiba-tiba ada kucing, saya terkejut dan jadinya kesiram." Kana berusaha untuk menunjukkan raut wajah meyakinkan agar tidak terlalu kentara jika ia sedang berbohong. Untung saja perawat itu percaya dan mengangguk.
"Luka pacar saya parah nggak mbak perawat?" tanya Elang tidak sabar. Perawat tersebut tersenyum tipis ke arah Elang sambil mengambil kotak P3K dari dalam lemari kaca.
Mendengar perkataan Elang membuat Kana langsung memukul Elang dengan cepat, matanya melotot. "Ngomong sekali lagi gue tendang muka lo," ujarnya mengancam.
"Lo pacar gue," jawab Elang lagi. Kemudian ia nyengir lebar hingga kedua matanya terlihat membentuk garis tipis. Untuk kedua kalinya Elang mendapati pukulan dari Kana.
"Lo nyebelin banget sih!" Kana berdecak jengkel.
"Yang penting ganteng."
"Duh, kalian ini bikin saya cemburu. Biasanya pasangan yang sering berantem bakal langgeng lho. Kalo ketemu sih emang sok-sokan biasa aja, padahal mah aslinya kangen berat," ujar perawat itu seraya terkekeh kecil. Ia menarik kursi dan duduk di hadapan Kana yang sudah duduk di brankar.
"Saya nggak pacaran sama dia mbak," bantah Kana cepat.
"Tapi mau langsung nikah, gitu maksudnya, kan?" tanya Elang sambil menaikturunkan alisnya, membuat Kana semakin kesal kepada Elang. Ia juga malu kepada perawat dihadapannya ini.
"Males banget ladenin lo ngomong, gue capek sendiri."
"Kalo capek biar nanti gue gendong."
"Yang capek mulut gue, ngapain tiba-tiba pindah ke kaki. Ngeselin banget sih lo jadi cowok!"
"Oh mulutnya yang capek, ya udah habis ini kita beli seblak di kantin. Lo suka seblak, kan? Biasanya cewek-cewek kayak lo ini suka yang pedes-pedes kayak omongan emak gue."
Perawat muda yang memperhatikan interaksi Elang dan Kana hanya bisa menahan tawa. Ia pun sedikit terhibur menyaksikan anak muda tersebut.
"Ogah!"