Meringkuk dalam kegelapan yang menemaninya sepanjang malam, ditambah perutnya yang belum diisi, Kana meringis ngilu sambil berusaha untuk duduk. Ia memegangi perutnya yang sakit, bukan cuma itu saja, dadanya juga terasa sakit. Kana mendongak ke atas, dapat ia lihat jika cahaya matahari menerobos melalui atap yang sedikit berlubang. Dan sekarang Kana sadar bahwa hari sudah mulai siang.
Untung saja hari ini adalah hari Sabtu, yang berarti sekolah diliburkan. Kana memeluk dirinya semakin erat, pikirannya kembali jatuh kepada perilaku ibunya tadi sore yang menyeretnya dengan kejam menuju gudang yang gelap ini. Gelombang kesedihan itu menyergapnya lagi. Selalu saja ia salah dimata ibunya, hal itu membuat d**a Kana terasa sesak.
Diusapnya pelan sudut matanya yang tiba-tiba saja berair. Tidak, Kana tidak boleh terlalu larut dalam kesedihan. Ia harus tetap tersenyum, ia yakin masih banyak orang di luar sana yang senang akan kehadirannya.
Sudut bibir Kana kemudian terbentuk senyuman tipis. Beginilah dirinya, selalu tersenyum lebar dihadapan orang lain seolah dirinya baik-baik saja meskipun sebenarnya banyak sekali masalah yang ia tanggung di punggungnya. Bagi Kana, mengharapkan dan menerima belas kasihan dari orang lain sangatlah tidak tepat. Kana tidak mau dianggap lemah oleh orang-orang. Ia harus kuat.
Ceklek!
Sebuah suara dari kenop pintu yang bergerak menyita perhatian Kana dengan cepat. Cewek itu sedikit berbinar menyadari itu, pasti seseorang tengah membuka pintu untuknya. Perlahan, Kana berdiri dari duduknya. Dugaannya tidak meleset, pintu gudang akhirnya terbuka.
Kana segera menghambur keluar dan memeluk Lana, yang rupanya telah berbaik hati membukakan pintu tersebut. Kana memeluk saudarinya itu dengan sangat erat.
"Lana, makasih udah bukain pintu buat aku," ujar Kana sambil terisak. Rongga dadanya yang disesaki oleh kebahagiaan membuat air matanya luruh.
Risi dengan pelukan Kana, dengan enggan Lana mendorong tubuh Kana ke belakang. "Apaan sih lo peluk-peluk gue! Lo itu bau tau nggak?! Semalam itu lo nggak mandi, pasti banyak kuman yang nempel sama lo." Lana berdecak jengkel, pandangan tidak suka sudah ia perlihatkan untuk Kana. Kemudian Lana mengendus baju yang kini ia pakai. Ia terbelalak lebar, mulutnya kembali berkata, "tuh kan gue jadi bau gara-gara lo! Ish ngeselin banget lo. Ngapain tadi peluk gue?!"
Kembali Lana mendorong Kana hingga Kana seketika saja menubruk dinding dengan keras. Ia menatap Lana dengan sorot merasa bersalah.
"Pokoknya gue mau mandi lagi!" Lana menggertakkan giginya kesal. "Dan buat lo, buruan masak sana! Gue, Luna, sama ibu udah laper!"
"Tapi aku mau mandi dulu, badan aku lengket banget," timpal Kana.
Lana bergerak maju ke hadapan Kana, kemudian ia mengambil sejumput rambut cewek dihadapannya, lalu dengan gerakan sangat cepat, Lana menarik rambut Kana dalam genggaman tangannya. "Nggak usah mandi dulu bodoh! Perut gue yang paling penting! Selagi gue mandi, lo harus masak yang enak!"
Sebelum bergerak menjauh, Lana melempar tatapan sinis, kemudian ia berjalan mengentak kesal. Sementara Kana langsung menunduk, wajahnya meredup, lalu sebuah cairan bening lolos dari pelupuk matanya, hingga akhirnya jatuh ke lantai.
***
Di dalam kamarnya yang sempit, Kana duduk di meja belajar untuk mengerjakan PR matematika yang akan dikumpulkan besok. Segala pekerjaan rumah sudah ia lakukan, dan kini Kana harus fokus kepada pekerjaan sekolahnya. Beberapa menit berlalu, akhirnya Kana sudah selesai mengerjakan PR tersebut. Senyuman manis cewek itu terlihat begitu jelas.
Setelah membenahi tumpukan buku, Kana duduk terdiam di kursi belajarnya, hingga pandangannya kemudian menatap sebuah bingkai foto. Kana tersenyum kecil, diusapnya foto lama tersebut. Bingka foto tersebut memperlihatkan senyuman bahagia Kana yang masih berumur lima tahun.
Dengan rasa bahagia, Kana kecil digendong oleh ayahnya, sementara bundanya berdiri di samping ayahnya. Mereka semua tersenyum bahagia menatap kamera. Meskipun tidak ingat kapan foto itu diambil, tapi Kana masih merasakan perasaan senang akan kehadiran orang tuanya.
Tapi sayang, waktu kelas lima sekolah dasar, bundanya meninggal karena kecelakaan. Sementara itu, selang satu tahun kemudian, ayahnya menikah lagi dengan ibunya yang sekarang. Namun kesedihan Kana kembali muncul ketika ayahnya meninggal karena penyakit mematikan. Kana juga baru tahu kalau ayahnya mengindap sebuah penyakit. Laki-laki itu tidak pernah menunjukan bahwa ia sedang berjuang melawan penyakitnya tersebut. Ayahnya selalu menampilkan senyuman, seolah ia baik-baik saja.
Dan begini kehidupan Kana sekarang, ia tinggal bersama ibu dan kedua saudari tirinya. Awalnya Kana senang karena mendapatkan teman sebaya seperti Lana dan Luna. Tapi semuanya berubah drastis ketika ayahnya sudah tidak ada. Kehadiran Kana benar-benar tidak dianggap di rumah ini, yang notabenenya sebenarnya adalah rumah Kana sendiri. Tapi begitulah, Kana malah dijadikan pembantu di rumahnya sendiri.
Kana kembali mengeluarkan air mata, dipeluknya erat bingkai foto tersebut. "Kana kangen sama kalian ..." cicitnya lirih disela tangisnya.
Beberapa menit Kana larut dalam kesedihan lagi, tapi setelah itu ia mengusap air matanya. Ia sudah berjanji tidak akan menangis. Diletakkan bingkai foto itu ditempatnya kembali. Lalu, tidak sengaja pandangan Kana menatap kalendar.
Kana tersentak sambil terus menatap sebuah tanggal yang dilingkari oleh spidol berwarna merah. Buru-buru Kana bangkit dari duduknya, berjalan tergesa menuju lemari untuk mengambil cardigan dan segara memakainya. Tidak lupa, Kana memoles bedak tipis di wajahnya, juga liptint agar bibirnya tidak kering. Setelah penampilannya dirasa sudah oke, Kana mengambil slin bag dan memasukan barang-barang yang ia perlukan. Tidak lupa juga, Kana memakai flat shoes. Ia tersenyum kecil menatap penampilannya dari pantulan kaca yang berada di lemarinya.
Buru-buru cewek itu membuka jendela kamarnya, kemudian dengan diam-diam ia keluar dari rumahnya tanpa sepengetahuan ibunya. Kana yakin, apabila ia ijin keluar, pasti ia tidak diperbolehkan. Sebuah ancaman pasti juga mengikutinya dari belakang. Oleh karena itu, kabur secara sembunyi-sembunyi adalah jalan yang ia pilih karena itu yang menurutnya paling tepat.
Tepat pukul dua siang, akhirnya Kana sudah sampai di tujuan. Ia berjalan dengan perasaan campur aduk. Hingga ketika posisinya sudah berada di hadapan sebuah pintu, Kana pun menarik napas panjang, kemudian mulai memegangi handle pintu. Ia pun membukanya secara perlahan.
"Assalamualaikum," ucapnya lirih.
"Walaikumsalam," jawab seseorang yang posisinya tidak jauh dari Kana berdiri. Kana menutup pintu kembali, lalu berjalan menghampiri seseorang dengan senyuman manisnya.
"Kana, saya pikir kamu nggak jadi dateng, kamu udah terlambat satu jam," ucap seorang pria dihadapan Kana sembari melirik arloji yang tertera di tangan kirinya.
"Maaf dok, aku emang tadi kelupaan bahwa hari ini adalah jadwalnya aku chek-up. Tadi juga aku baru aja ngerjain tugas sekolah. Jadi, maaf kalo doker nunggu," ujar Kana seraya mengangguk sopan.
Laki-laki yang disebut Kana dokter itu lantas mengangguk kecil. "Berhubung sebentar lagi saya ada jadwal sama pasien lain, mungkin sekarang aja, ya? Kana udah siap?"
Dengan penuh percaya dan keyakinan, Kana menarik napas panjang dan mengangguk mantap. Setelah itu, doker tersebut mulai menjalankan serangkain tes untuk mengetahui lebih lanjut dengan penyakit yang Kana tanggung selama ini.
Beberapa saat setelah itu, Kana dipersilahkan untuk kembali duduk di tempat, sementara Dokter Farhan—yang sudah Kana anggap seperti om-nya sendiri, sedang mencatat sesuatu dihadapannya. Sedikit informasi, Dokter Farhan adalah salah satu teman akrab ayahnya, jadi Kana sudah cukup akrab dengan dokter baik hati tersebut.
"Kana," panggil Dokter Farhan dengan suara seraknya. Kana yang semula sedang memperhatikan sekitarnya langsung terkejut dan segara memalingkan wajah menatap dokter dihadapannya itu.
"Iya dok?"
"Kana, apa yang selama ini kamu rasain?" tanya dokter tersebut, menatap lurus-lurus tepat di manik mata Kana.
Cukup lama Kana terdiam, ia menunduk dengan perasaan yang sudah tidak enak. Kana meneguk ludahnya dengan kasar, bibirnya sudah ia gigit dengan keras-keras.
Dokter Farhan tampak menghela napas panjang, kembali ia berbicara pelan. "Kana, kamu udah saya peringatkan berkali-kali loh, kamu itu nggak boleh kecapean. Kamu nggak boleh ngelakuin aktivitas yang berat-berat. Kamu ingat itu, kan?"
Kana hanya bisa mengangguk kecil.
"Sekarang kamu jujur sama dokter, apalagi yang kamu rasain selain merasa sering capek dan d**a kamu sesak," ucap Dokter Farhan sembari menyentuh punggung tangan Kana dengan lembut.
Kana menghirup oksigen sebanyak mungkin, kemudian membuka mulut dan mulai berkata pelan. "Dokter nggak marah?"
"Ngapain harus marah? Saya malah seneng kalo kamu jujur semuanya sama saya. Ingat Kana, di sini saya bakal bantu kamu. Kamu jangan ragu buat cerita, saya akan bantu cari jalan keluarnya," ucap Dokter Farhan sambil menggenggam erat tangan Kana.
"Aku sebenarnya sering pusing akhir-akhir ini dok," ucap Kana setelah mengumpulkan keberanian untuk berbicara. Ia menatap mata Dokter Farhan.
"Bukan cuma itu aja, aku kadang juga sering batuk, napas terasa sesak kalo udah terlalu lelah," jelas Kana sambil menunduk takut.
"Kana ..."
"Iya?"
"Meskipun saya berat ngomong ini sama kamu, tapi kamu memang harus tahu satu hal. Dan saya sebenarnya tidak tega ngomong ini." Dokter Farhan menjeda penjelasnya. Membuat Kana terus menatapnya, detak jantungnya kembali bergerak cepat.
Dokter Farhan menghela napas sejenak sembari mengatur letak posisi kacamatanya yang sedikit merosot. "Jantung kamu udah terlalu lemah Kana, kamu jangan lakuin hal-hal yang terlalu menguras tenaga kamu. Kalo semuanya udah terlanjur dan lemah jantung kamu terlambat di tangani, hal-hal buruk lagi bisa saja menyerang kamu kapan saja. Resiko lemah jantung kamu ini bisa saja mengakibatkan gagal jantung. Jantung adalah organ tubuh paling penting. Mohon maaf sebelumnya, orang yang sudah terlanjur menginjak penyakit gagal jantung, kemungkinan besar akan sulit untuk disembuhkan. Dan itu sangat beresiko mengancam keselamatan kamu."