"Tanam tanam ubi, tak perlu dibaja, muka kayak babi, namanya Ragas."
PLETAK!
Sebuah pukulan dari penggaris panjang tiba-tiba mendarat di puncak kepala Elang setelah ia selesai bersenandung riang. Elang meringis ngilu. Sambil mengusap bagian kepalanya yang sakit, cowok itu menatap Ragas dengan kesal.
Elang sudah membuka mulut untuk berkata, lebih tepatnya untuk protes dengan tindakan Ragas barusan. Namun, ia kalah cepat. Ragas sudah mengeluarkan kalimat terlebih dahulu lengkap dengan raut wajah sangarnya.
"Apa lo? Mau bantah gue?" Ragas mencibir seraya mengangkat dagunya tinggi-tinggi. "Lo tuh yang mukanya kayak babi, sembarangan aja kalo ngoceh."
Elang nyengir lebar. "Santai dong bosque, jangan ngegas gitu. Mentang-mentang namanya Ragas, kerjaannya ngegas mulu."
"Bukan urusan lo!" balas Ragas cepat.
Bibir Elang mencebik, kemudian ia menggelengkan kepalanya. "Tuh kan ngegas lagi. Di dunia ini ada dua hal yang harus dilakukan dengan cara ngegas menurut gue Gas. Lo mau tahu?" tanya Elang, menatap Ragas dengan serius.
"NGGAK!" ujar Ragas cepat. Tidak mau mengurusi Elang yang selalu saja bertingkah absurd, Ragas memilih memainkan ponselnya. Pagi ini memang jam kosong lantaran para guru lagi rapat.
Elang tidak peduli, cowok itu menggeser kursinya agar posisinya lebih dekat dengan Ragas. Ia tersenyum kecil, lalu mulai merancang kalimat.
"Jangan ngegas terus dong Gas kalo ngomong. Seperti apa kata gue tadi, ngegas versi gue cuma ada dua. Yang pertama, waktu kita b***k. Iya b***k, kita harus ngegas biar benda kuning pulen cepat keluar dari perut." Elang mengambil napas panjang, kemudian kembali berkata, "yang kedua, waktu malam pertama nikah. Otomatis langsung ngegas dong. Betul nggak?" Kedua sudut bibir Elang melengkung lebar ke atas, kedua alisnya bergerak naik turun sambil memandangi Ragas.
Walaupun sorot mata Ragas fokus kepada layar ponsel, tapi tidak menutup kemungkinan jika suara Elang tersaring di telinganya. Ragas tentu saja mendengar itu. Menutup ponselnya, Ragas kembali menoleh ke samping, di mana sahabat bobroknya itu sedang nyengir pepsodent.
"Lo masih rawas?"
"Waras anjir, bukan rawas. Lo mau gue kasih buntelan angin warna ijo?" kesal Elang seraya meninju bahu kekar Ragas.
"Terserah lo Lang, bodo amat. Gue nggak peduli, otak lo kapan benernya sih?" Ragas memandang Elang kesal.
"Nggak lama lagi kok, cuma nunggu onderdil yang gue pesen dari Zimbabwe nyampe rumah gue. Baru setelah itu gue bongkar kepala gue, terus servis deh. Insyaallah, atas ijin Tuhan yang maha Esa otak Elang ini bakal pulih kayak semula. Terbebas dari segala macam pikiran nggak baik. Aamiin."
Ragas tidak bisa menahan dirinya untuk tidak mencibir. Rasanya terus berdekatan dengan Elang membuat emosinya melonjak naik secara drastis.
"Woy Gas, kok lo malah diem sih!" ucap Elang lagi. "Ngomong amin dong, jahat banget sama gue."
Ragas hanya diam, tidak ada niatan yang tertanam dirinya untuk merespons ucapan Elang. Sebagai gantinya, cowok itu memberikan Elang sebuah tatapan tajam menusuk.
Elang menghela napas pendek, lama-lama ia sudah mulai kesal dengan Ragas. "Ayo dong Gas ngomong amin. Kalo lo diem gue jadi curiga nih kalo lidah lo keseleo karena main prosotan di Dufan."
Ragas mendesah panjang dan memutar bola matanya. Ia harus bisa ekstra sabar menghadapi Elang, yang menurut Ragas otaknya seperempat dikepala, seperempat lagi diperut, dan setengahnya ada dilutut. Ragas akhirnya memilih menyumpal telinganya dengan earphone agar suara Elang tidak bisa menggangguya lagi. Mendengarkan musik lebih berfaedah daripada meladeni Elang yang sama sekali tidak mendapatkan untung.
Kesal karena Ragas sudah mengabaikan, Elang menggertakkan giginya kuat-kuat. Tangannya yang sudah terkepal ia hantaman di meja. Cowok itu kemudian menarik napas panjang, sebelum akhirnya berteriak kencang.
"UNCLE MUTHUUUU! RAGASNYA NAKAL! MUKANYA MINTA DISEMPROT SAMA CAIRAN DISINFEKTAN NIH!"
Semua penghuni kelas langsung menolehkan wajahnya ke arah Elang. Beberapa detik hening, hingga akhirnya suara dari mereka menyatu membentuk sebuah instrumen gelak tawa. Elang memang penghidup suasana. Tingkahnya yang aneh dan seringkali nyelengeh membuat orang lain tanpa sadar menggelengkan kepala takjub.
Elang yang sudah kepalang emosi langsung mencabut earphone yang masih menggantung di kedua telinga Ragas, "gue lagi ngomong sama lo babi! Lo mau malah seenak udel dengerin musik."
Ragas berdecak kesal selagi ia menyerobot earphone miliknya yang sudah berpindah ditangan Elang. Ragas pun memasukkan benda itu ke laci meja agar aman. Karena ia tahu betul, barang apapun yang dipegang oleh Elang tidak akan bertahan lama. Pernah satu kejadian dengan masalah yang sama, Elang mengambil earphone Ragas dan memotongnya menjadi beberapa bagian. Oleh karena itu, Ragas harus selalu siaga agar kejadian tidak diinginkan tidak terulang lagi.
"Ini earphone punya gue kali," ujar Ragas sewot.
"Lha elo kenapa b*****t abis sih? Orang gue cuma minta diaminin malah dengerin lagu. Earphone itu gunanya cuma buat dengerin desah-desah nikmat gitu."
"Itu sih elo! Maaf, mata gue masih suci, nggak kayak lo yang tiap hari nonton," balas Ragas sengit.
BUK!
"Anjing lah lo Gas, munafik banget. Ingat, munafik lebih kejam dari pembunuhan."
"Fitnah t***l!" gertak Ragas emosi.
Sambil menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal, Elang nyengir lebar hingga kedua matanya hampir tertutup ketika nyengir. Tidak salah jika Ragas geregetan sendiri menghadapi tingkah Elang.
"Oh iya, intinya lo jangan munafik gitu lah Gas. Nggak baik, nanti Allah marah lho. Orang munafik tahinya item kek t*i kucing gue. Gue pernah jagain Nana yang lagi b***k di samping rumah. Gila parah, tainya item kayak o***g bokap lo Gas," ujar Elang ngawur. Tapi hal itu sukses membuat Ragas ingin menguliti Elang seketika itu juga.
Dengan tidak sabar, Ragas menggulung LKS milik Elang. Dan ia pun langsung saja memukul kepada Elang berulang kali. "Bokap gue ngapain lo bawa-bawa oncom!"
Elang berusaha menghalau pukulan Ragas dengan tangannya. Seraya menghindar, cowok itu membela diri karena tidak mau disalahkan. "Jangan marah sama gue dong Gas, salahin aja tuh si Nana yang buang t*i sembarangan. Warnanya item pula, emak gue juga marahin dia karena bau tainya mirip katak sempak lo Gas."
"Anjing lo!" umpat Ragas sewot.
Ditengah aksi perdebatan tidak bermutu antara Ragas dan Elang, tiba-tiba Miko, Saka, dan Nolan datang lengkap dengan muka keruh masing-masing. Sejenak, baik Ragas maupun Elang menjeda aktivitasnya. Mereka sama-sama menatap ketiga sohibnya lengkap dengan kebingungan yang sudah terpancar.
"Nah ini nih biang keroknya, kita eksekusi sekarang aja gimana?" ujar Nolan sambil menatap Elang jengkel.
Tidak perlu berpikir dua kali, Saka mengangguk semangat. "Gue setuju, nggak sabar gue bikin sih Elang jera sama kita."
"Santai dong para colikiawan. Jangan pada ngegas dulu napa, daripada main emosi dan fisik bakal jadi rusak karena berantem, mending kita bicarakan baik-baik."
"Enak banget ngomong gitu lo! Lo harus nanggung akibatnya. Tega bener lo nipu gue," ujar Nolan emosi.
"Gue juga kena tipu," sambung Miko.
"Apalagi gue?" tunjuk Saka pada dirinya sendiri.
Elang kini sudah berpindah posisi lebih jauh dari para sohibnya, lebih tepatnya menghindar dari mereka agar kejadian tidak diinginkan tidak ia dapatkan.
"Santai dong jangan ngegas mulu. Jangan tiru Ragas, para penggemar ukhti muslimah harus bisa jagain emosi. Sebagai calon imam, kita diwajibkan untuk menjaga moral dan akhlak kita. Setuju?"
Bersamaan dengan Elang yang ngoceh bebek, mereka semua kini bersepakat lewat tatapan mata untuk melancarkan aksinya. Dalam waktu singkat, kini Elang sudah berada didalam tikaman oleh para cowok tersebut.
"WOY LEPASIN GUUEEEE!" teriak Elang keras-keras. "OPAH! KAK ROS! TOLONGIN ELANG!"