6. Crystal?

1193 Kata
Ares menggulung lengan kemeja Hugo Boss birunya hingga setengah lengan. Iris keemasannya menyusuri deretan sepatu-sepatu berbagai jenis dan merek di rak sepatu di samping pintu. Vladimir ternyata sudah menyiapkan semua keperluannya di Jakarta, termasuk pakaian dan segala t***k bengeknya. Namun, lagi-lagi konsentrasinya terpecah oleh suara tawa dan wajah dari gadis mirip Crystal yang masih melekat di ingatannya. Bagaimana mungkin ada suara dari rupa yang benar-benar sama di dunia ini? pikirnya. Bunyi bel yang meraung-raung membuyarkan lamunannya. Ares menyambar sepatu kulit Gino Mariani hitam yang terletak di deretan paling atas rak. Ia memakai sepatu itu sebelum membuka pintu. “Selamat pagi, Ares. Aku datang untuk mengajakmu sarapan,” ucap Dimas sambil tersenyum sesaat setelah Ares membuka pintu. “Selamat pagi.” “Mobilmu sudah siap di bawah.” “Apakah kita tidak bisa menggunakan satu mobil saja?” Ares merasa Dimas terlalu berlebihan dengan menyediakan mobil yang lain untuknya, sedangkan mereka akan pergi bersama. “Aku hanya berjaga-jaga jika saja kau ingin berjalan-jalan sendirian.” “Mungkin nanti, tidak sekarang.” Aku baru di sini dan aku tidak mengenal tempat ini. “Baiklah. Ayo kita pergi!” Dimas membawa Ares ke restoran khas Minang yang terletak di lantai dasar apartemen. Seperti kemarin, saat Ares memasuki restoran yang baru buka itu ia langsung menjadi pusat perhatian. Berusaha mengabaikan, Ares memilih duduk di dekat jendela sambil menikmati secangkir kopi hitam tanpa gula. “Ayahmu memintaku untuk membawamu ke perusahaan. Kau bisa mulai bekerja di sana hari ini. Tapi itu tergantung padamu, jika kau mau atau punya waktu saja. Tidak harus terburu-buru,” jelas Dimas. Sejak tiga puluh tahun lalu Vladimir sudah menjalankan bisnis property-nya di Indonesia. Semua perusahaan yang didirikannya di sana berkembang dan maju. Meski seorang vampir yang berkuasa di dunia bawah, Vladimir tetap menjalankan usaha layaknya manusia untuk menutupi jati dirinya. Perusahaannya tersebar di beberapa negara Asia, Eropa, dan Amerika. Ares mengetukkan kuku jari telunjuknya ke meja. Kebiasaan itu ia lakukan sejak kecil ketika ia harus berpikir dan memfokuskan otak kirinya pada logika. “Aku tidak punya pekerjaan di sini. Kita ke sana setelah kita selesai sarapan.” “Baiklah. Posisi apa yang kau mau?” Ares mengangkat alisnya. Tawaran Dimas membuatnya memutar otak mencari posisi yang sesuai dengan keahlian dan pendidikannya. Sialnya, kuliahnya di Standford bahkan belum selesai dan ia belum pernah bekerja di lingkup perusahaan.  “Aku tidak punya keahlian apa pun.” “Tenang saja, kau ini anak pemilik perusahaan. Kau bebas menentukan posisimu.” “Jika semua orang berpikiran sepertimu, perusahaan ayahku bisa cepat gulung tikar,” sindir Ares lalu meneguk kopinya. “Aku hanya berpikir praktis. Lagipula, kau terlalu serius menghadapi hidup ini.” Dimas tersenyum malu-malu. Ia tidak menduga jika putra sulung pemilik perusahaan multi nasional tempat ia dan ayahnya berkerja tidak semanja yang ia bayangkan. Ares bahkan menolak untuk tinggal di penthouse. Ares membalas dengan senyuman pahit. Ia tidak akan seserius ini seandainya tidak sedang terbelit masalah besar yang menewaskan gadis yang dicintainya. Namun, kemudian Ares berpikir logis. Ia tidak perlu terlalu keras pada pemuda lokal yang sedang mencoba berbaik hati padanya itu. Kemungkinan besar Dimas tidak tahu apa yang sedang ia alami, pikirnya. “Aku hanya ingin membantu ayahku, bukan membuatnya bangkrut. Jika kau punya ide di posisi mana aku seharusnya, itu akan sangat membantu.” Nada bicara Ares melembut. “Kau tenang saja. Kita akan belajar bersama-sama. Aku baru bergabung dengan perusahaan ayahmu setahun yang lalu.” “Oke, aku harap kita bisa menjadi partner.” Sejak hari itu Ares masuk ke perusahaan milik ayah tirinya dan berpartner dengan Dimas sebagai analis keuangan. Meskipun ia belum berpengalaman, ia berusaha untuk mengejar ketinggalannya dengan banyak belajar dari Dimas dan karyawan lain yang lebih berpengalaman. Ares sengaja menghabiskan waktunya bergelut dengan pekerjaan. Setidaknya di negara asing yang berbeda kultur dan bahasa, Ares masih bisa produktif dan bisa sedikit melupakan Crystal. Hampir satu bulan Ares melakoni hidupnya sebagai eksekutif muda. Ia tidak banyak menemui kesulitan untuk beradaptasi dengan dunia barunya. Namun, malam itu Ares tampak gelisah. Wajah Crystal terus menyapa dalam ingatannya. Kenangan selama enam tahun berteman baik dengan Crystal sampai malam nahas itu tiba mendesaknya untuk tidak bisa berpikir positif. “Aku ingin bersenang-senang malam ini. Apakah kau tahu tempat yang bagus?” Sebuah ide gila tercetus begitu saja dari mulut Ares. Dimas yang duduk di seberang meja kerja Ares menyambut antusias. Ia pikir Ares adalah seorang introvert, tapi ternyata hanya menunggu waktu saja untuk mengetahui keliaran Ares. “Tentu saja. Aku akan mengajakmu ke tempat terbaik.” Setelah menyelesaikan bagian terakhir dari pekerjaannya, Dimas mengajak Ares ke sebuah kelab malam ternama di ibukota. Kelab dengan nuansa futuristik yang selalu menyambut hangat pengunjungnya dengan musik chill out, disko, hingga classic house. Sesekali ia ingin menjadi manusia. Menikmati kehidupan malam, bertemu gadis-gadis, bercinta dengan mereka, dan sedikit menghilangkan penat dengan merasakan efek alkohol. Dimas sepertinya punya pengaruh cukup besar di kelab tersebut. Terbukti, sang manajer sendiri yang menyambut mereka di sana. Ia memberi ruangan berfasilitas mewah yang disempurnakan oleh pelayan plus-plus terbaik dan terseksi untuk mereka. Kehadiran wanita-wanita cantik dengan balutan pakaian minim dan riasan wajah yang tebal tak membuat Ares senang. Di dalam ruangan seluas 8 kali empat meter itu, bayangan wajah Crystal terus mengganggunya. Sudah berbotol-botol wiski yang ia tenggak tak mampu memabukkannya. “Kau jago minum juga, ya,” celetuk Dimas. Ares tersenyum. Ia tak tahu bagaimana cara menjelaskan pada Dimas bahwa sistem kerja pencernaan dan tubuhnya yang tidak memasukan alkohol ke dalam daftar minuman memabukan. Alkohol tidak akan bisa membuatnya mabuk. “Iya. Kebetulan saja karena tubuhku sedang fit.” “Kalau kau mau, kau bisa membawa pulang salah satu gadis-gadis ini,” bisik Dimas. Ares menahan tawanya. “Ya. Tentu saja.” Ares mencoba hal lain karena alkohol sama sekali tidak berpengaruh pada tubuhnya. Ia meminta salah satu pelayan seksi yang duduk di hadapannya untuk duduk di sampingnya. Tatapan si pelayan itu tampak menggoda Ares. Dengan gerakan ekspresif, ia merapatkan tubuhnya ke tubuh Ares. Ares hanya ingin mencoba melupakan bayangan Crystal sejenak. Ia meletakkan tangannya di pundak wanita itu lalu menarik wajah wanita itu bersemuka. Hingar bingar musik dan cahaya berwarna-warni hasil pijaran lampu-lampu LED tidak menyurutkan niat Ares. Ia mencecap bibir wanita itu dan tak memedulikan keberadaan Dimas. Beberapa saat Ares menikmati ciuman liarnya dengan wanita itu. Tetapi saat bayangan Crystal melintas di benaknya, ia memutuskan untuk berhenti. Frustrasi kembali menggerogoti jiwanya dan melemparkan kembali ke lautan penyesalan. “Dimas, sebaiknya aku pulang saja,” tutur Ares tiba-tiba. Dimas menatap heran. Ia mengerjap dan bergeming mencerna ucapan Ares. “Pulang? Kenapa? Apa kau tidak—“ “Oh, tidak. Aku menikmati malam ini. Hanya saja aku ada urusan yang harus kuselesaikan,” kilah Ares. Tidak mau kenikmatannya mengeksplorasi tubuh seksi pelayan plus-plus terganggu, Dimas mempersilakan Ares pulang. “Oke. Sampai ketemu besok di kantor.” “Oke.” Ares meninggalkan ruangan itu tergesa-gesa. Kepalanya dipenuhi penyesalan yang bercampur aduk dengan kemarahan. Ia merasa sangat bodoh datang ke tempat ini dan mencoba melupakan Crystal dengan mencoba bercinta dengan gadis lain. Tidak, tidak boleh seperti ini, batinnya. Ares berjalan membelah hall yang dipadati pengunjung yang sedang berdansa menikmati musik. Ia berusaha tetap fokus pada langkahnya, tapi tiba-tiba lengan kirinya menyenggol nampan berisi gelas dan botol bir seorang pelayan. Ares yakin suara nampan yang terjatuh itu tidak akan terdengar oleh manusia biasa lantaran dentuman musik yang memekakan telinga. Namun, Ares berbeda. Ia bisa mendengar dengan jelas, bahkan desahan kesal pelayan yang membawa nampan itu pun memenuhi telinga Ares. “Dasar menyebalkan.” Suara pelayan yang tertangkap telinga Ares membuat jantungnya berdenyut kencang. Penasaran, Ares memosisikan dirinya berjongkok di hadapan pelayan perempuan yang sedang memunguti pecahan gelas dan botol bir. Dengan perasaan was-was dan penuh antisipasi, ia menunggu si pelayan itu mengangkat wajahnya. “Crystal?” Ares terpangah.  ===== Alice Gio
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN