“Apa maksudmu, Ares?” Chrysant meringis. Ia masih belum mencerna apa yang dikatakan Ares. Tatapan memelasnya masih terlindungi kabut bening yang mengaburkan sedikit pandangannya. “Bangun!” perintah Ares. Chrysant mengerutkan dahinya. Ia mengangkat tubuh dengan menopang pada kedua siku lalu kembali mengaduh sambil memejam. “Auw!” Ares berdiri, bersedekap, dan memandang Chrysant dengan tatapan berapi-api. Tidak nampak sedikit pun rasa iba dalam pandangannya. Ia kembali mengeraskan rahangnya menahan amarah yang hampir meledak. “Jangan berpura-pura lagi, Crystal! Aku tahu sebenarnya kau adalah Crystal. Cepat bangun!” gertak Ares. Dimas menepuk pundak kuat Ares untuk menenangkan. Namun, usahanya tidak mudah berhasil. Napas Ares masih menderu dipenuhi rasa kecewa, marah, dan sakit hati.