Menit demi menit berlalu. Mereka tiba di rumah yang tidak begitu besar dengan halaman luas. Rumah bergaya minimalis dengan cat yang gelap, membuat tempat itu tampak menarik. Lampu taman membuat tempat itu indah walau di malam kelam, tak ada kesan ngeri, namun entah mengapa bulu kuduk Cora berdiri saat melangkah mendekati pintu masuk rumah. Bunga berbagai rupa dan warna mengiasi halaman. Pohon-pohon rindang pun tumbuh subur di sana, membuat rumah itu terlihat asri dan sejuk.
“Ini rumah siapa?” Ia menatap sekeliling, mencoba mencari Si pemilik rumah.
Lelaki yang ditanya hanya diam dan terus berjalan tanpa menoleh sedikit pun. Cora mendengkus kesal, namun tak mau berdebat dengan lelaki itu, maka ia memilih diam dan kembali mengikuti kemauan Tony. Ingin rasanya ia segera pergi dari sana, namun kakinya terasa berat. Mereka memasuki rumah. Sofa putih menghiasi ruang tamu dan tidak begitu banyak perabot di sana, bahkan tak ada satupun foto yang tergantung di dinding. Lelaki itu mempersilahkan Cora duduk, sementara ia berjalan ke ruangan lain.
Cora duduk dan menatap bingung ke sekeliling. Ia tidak tahu di mana keberadaan mereka dan lebih tak mengerti dengan sikap lelaki itu. Mengapa lelaki itu bisa sangat menyebalkan dan sok misterius? Ingin rasanya Cora menolak semua permintaan lelaki itu, tetapi entah mengapa ia tak sanggup melakukannya. Ada perasaan aneh yang menjalar ke penjuru hati, getaran aneh yang membingungkan. Aneh.
“Minumlah … ini teh kesukaanmu,” ucap lelaki itu seraya meletakkan secangkir teh ke meja persegi di depan sofa yang tengah ditempati Cora. Cora terpaku sesaat, mengamati cangkir itu dalam diam.
Cora menatap teh dan lelaki di hadapannya secara bergantian. Dengan ragu, ia mengambil cangkir, menghirup aroma teh yang begitu disukainya. “Camomil tea?” tanpa sadar senyum terlukis di wajahnya.
Lelaki di hadapannya tersenyum puas dan mengangguk mantap. “Masih suka teh yang sama?”
Cora menyatukan alis dan menatap lelaki itu penuh tanya. “Tahu dari mana?” tanyanya penasaran, “ Apa Mama yang kasih tahu ke kamu? Aku nggak nyangka kalau mama sudah bercerita banyak denganmu.”
Lelaki itu tersenyum, lalu duduk di samping Cora. Ia menghirup aroma minuman miliknya dan menyesap perlahan isi cangkir itu. Tak berminat sedikit pun menjawab rasa penasaran Cora. Cora yang melihat sikap tidak acuh lelaki itu hanya bisa merutuknya dalam hati. Sialan!
“Katamu … pernikahan hanya ikatan untuk mengikat pasangan kita agar terjebak selamanya bersama kita. Apa itu artinya, kamu adalah wanita yang nggak mengharapkan cinta dalam sebuah pernikahan? Jadi, apa menurutmu pernikahan tanpa cinta bisa bertahan untuk selamanya?”
Cora menatap lelaki di hadapannya datar. Apa-apaan ini? Tadi, dia nggak jawab semua pertanyaanku dan sekarang dia bertanya layaknya wartawan.
“Sehat?”
Lelaki itu menatap Cora bingung. “Maksudnya? Tentu saja, aku sehat.”
Cora mengangguk pelan. “Bagus, deh.”
“Lalu … jawabannya?”
Cora menyesap teh di dalam genggaman dengan anggun dan menatap lurus ke depan, tidak berminat menjawab pertanyaan lelaki itu sedikit pun. Tony tampaknya mulai mengerti aksi balas dendam Cora, ia pun tersenyum tipis dan kembali menikmati secangkir kopi miliknya.
Keheningan menjebak keduanya. Tak ada satu pun di antara mereka yang ingin memulai pembicaraan. Ingin rasanya Cora kabur dan mengakhiri kebersamaan mereka. Ia tak menyukai suasana mencengkam seperti saat ini. Keadaan saat ini tidak seasyik ketegangan yang tercipta saat menonton film thriller.
“Aku mau pulang,” ujar Cora, memecahkan keheningan di antara mereka. Sungguh, ia merasa tak ada gunanya berlama-lama menahan diri untuk terus berada di posisi canggung itu.
“Sebentar lagi.”
“Apa yang kita tunggu?”
“Malam hari.”
“Ini ‘kan udah malam. Mau ngapain sih?”
“Duduk.”
Cora mengembus napas gusar. Jadi, kami akan terus seperti ini sampai saat yang dia tentukan? Yang benar saja. Lelaki ini pasti sudah gila dan nggak seharusnya aku mengikutinya tadi.
“Aku mau pulang.” Ulang Cora seraya berdiri, tetapi dengan cepat lelaki itu menghentikannya.
“Duduklah sebentar lagi. Aku mau begini lebih lama lagi.” Ia menatap Cora memohon. Tatapan matanya lembut, penuh kerinduan, tak berdaya, dan mampu menyihir Cora. Cora duduk tanpa ingin berdebat. Lelaki itu tersenyum dan mengucapkan terima kasih karena Cora mau menuruti permintaannya.
Waktu bergulir. Tak banyak yang mereka lakukan. Hanya menyantap bercangkir-cangkir minuman dan juga makanan kecil sembari menikmati keindahan langit malam. Keheningan menghiasi sepanjang kebersamaan keduanya. Baru kali ini, Cora merasa sedikit nyaman dengan keheningan. Biasanya, ia tak pernah merasa nyaman untuk menikmati keheningan dengan seseorang, tetapi kali ini berbeda.
Malam semakin larut. Tony mengantarkan Cora sampai di depan pintu rumah. Padahal, Cora sudah melarang Tony melakukan hal bodoh itu, tetapi sekali lagi, ia kalah.
“Masuklah,” ucap Tony datar. Cora segera membalik tubuh dan hendak berjalan pergi, namun lelaki itu mencegahnya.
“Tunggu sebentar.”
“Ada apa lagi?’ tanya Cora ketus.
Wajah lelaki itu datar seperti biasa. Ia mengulurkan tangan dan menyentuh wajah Cora. Reflek, Cora menjauhkan wajahnya dari lelaki itu, tetapi Tony berhasil mengusap pipi wanita itu.
“Aku cuma mau menyaksikan bintang bersamamu.”
Cora merasakan sesuatu yang lembut menempel pada bibirnya, tetapi seperti biasa, ciuman lelaki itu selalu berhasil membuatnya membeku di tempat. Saat sadar, lelaki itu sudah menjauhkan jarak di antara wajah mereka,
“Selamat malam,” ucap lelaki itu sembari tersenyum manis. Ia pun segera berjalan meninggalkan Cora, sedang Cora yang merasa tidak suka langsung melempar lelaki itu dengan tas tangannya. Namun sayang, lelaki itu berhasil menghindar. Cora mengambil kembali tasnya, menatap lelaki itu garang, lalu berteriak histeris.
“Jangan pernah tunjukin mukamu lagi di depanku!” amarah terdengar jelas dalam nada suara Cora. Ia pun segera membuka rumah, lalu menutupnya kembali dengan kasar.
Dengan terus menggerutu ia segera berjalan ke kamar. Menghempaskan tubuh di kasur dan menatap langit-langit kamar dengan tatapan penuh amarah.
“Kamu pikir, kamu itu siapa? Datang sesukamu, berbuat sesukamu, lalu membuat hatiku menjadi nggak menentu. Lelaki menyebalkan!” Cora menutup wajah dengan bantal, lalu berteriak.
Ia bisa gila bila bertemu dengan lelaki itu lagi. Dalam hati, ia berdoa agar malam ini adalah saat terakhir baginya untuk bisa bertemu dengan lelaki menyebalkan yang telah menghancurkan kedamaian hidupnya.