Ruang VIP dengan meja bulat dipenuhi makanan telah ditempati oleh sepasang manusia yang duduk berhadapan. Makanan yang tersaji tampak berlebihan untuk kedua orang yang menempatinya, namun Si wanita tak peduli karna ia butuh pengalihan dengan cara mengisi perutnya sepenuh mungkin, agar otaknya bisa beristirahat untuk sejenak. Harinya sudah cukup melelahkan, hingga ia tak ingin banyak berpikir.
Sepasang manusia yang duduk di berhadapan itu saling berpandangan serius, bahkan si wanita pun secara tak sadar tak mengedipkan matanya, meyakinkan pria di depannya dengan semua cerita yang baru saja ia sampaikan, namun sedetik kemudian tawa mengisi penjuru ruangan yang tadinya sepi. Sang wanita menatap tajam lelaki di hadapannya, sedang yang ditatap tidak dapat menghentikan gelaknya.
“Rob … kalau kamu nggak berhenti ketawa, aku bakalan sumpel mulut kamu pake tisu!”
Perkataan penuh ancaman itu membuat Robert langsung menutup mulutnya rapat-rapat. “Ok … aku diam.” Robert menggerakkan jarinya di hadapan bibir, “tapi … kamu itu aneh. Itukan cuma ciuman selamat tinggal. Ciuman singkat, jadi nggak masalah.” Lanjutnya
Cora memukul lengan Robert. “Masalah, dong. Ciuman di bibir itu intim. Kita aja nggak pernah melakukan hal begitu, kan!” nafas Cora memburu, “karena ciuman di bibir itu bukan hal umum!”
“Jadi … maksudnya … kamu mau ciuman di bibir sama aku?” Robert menaik-naikkan alis, menggoda Cora yang tak ingin menanggapi gurauan lelaki itu saat ini.
“Aku serius, Rob! Ini tuh udah bener-bener keterlaluan. Seharusnya, lelaki itu bisa menjaga sikap,” Cora menatap ke depan penuh amarah, “Tapi … aku nggak ngerti sama Mama kali ini. Kenapa Mama jodohin aku sama cowok dingin berparas bule itu? Jarang-jarang Mama ngenalin aku sama bule.”
Robert tertawa kecil sembari menikmati wajah kesal Cora. “Kamu gimana sih, Ra? Aku ‘kan berparas bule juga. Kayaknya, memang selera Mama kamu itu bule, kamunya aja nggak nyadar.”
Cora menepuk kening. Ia sempat melupakan fakta bahwa lelaki bernama Robert itu pun memiliki wajah blasteran. Ayahnya orang Eropa. “Kamu kan bule KW. Lagian cuma dua yang berparas bule, kamu dan dia. Yang lainnya, Indonesia banget, kok.” Cora meleletkan lidah, “Tapi … kenapa harus lelaki dingin?”
Robert mengetukkan jemari pada dagu dan tampak berpikir keras. “Mungkin …” Cora mempertajam pendengarannya dan merasa tidak sabar menunggu jawaban Robert, “Mungkin ….”
Cora memukul lengan Robert untuk yang kesekian kalinya. Ia bukanlah wanita yang sabar. “Mau ngomong apa sih, Rob? Mungkin apa? Kenapa kamu ngomongnya sepotong-sepotong, buat aku penasaran.”
Robert tergelak. “Mungkin … Mama kamu mau punya cucu yang kayak es batu.”
Cora melemparkan sekotak tisu di hadapannya ke arah Robert, tetapi Robert dengan cepat menghindar. Wanita itu cantik, tetapi bahaya saat sedang marah. “Kamu memang nggak bisa serius!” ucap Cora seraya berdiri, “Aku mau balik ke kantor dulu.” Robert segera menggenggam pergelangan tangan Cora dan menghentikan langkah wanita itu.
“Jangan ngambek, ah! Aku anter, ya?”
Cora memutar mata jengah. “Aku nggak ngambek. Udah habis jam makan siang. Apa aku pernah ngambek sama kamu?”
Robert hampir lupa, jika wanita di hadapannya bukanlah seperti wanita yang selama ini ia kenal. Mudah marah dan melakukan aksi diam. “Iya … lupa kalau Cora itu wanita ajaib. Hati-hati, My princess.”
Cora terkekeh pelan. Begitulah Robert yang dikenalnya. Sudah lama sekali ia tak menemukan seorang teman lelaki yang bisa membuatnya nyaman seperti Robert. Ia bisa menjadi dirinya sendiri di hadapan lelaki itu dan ia beruntung karena mengenal Robert.
“See you,” ucapnya seraya pergi meninggalkan Robert.
***
Suara heels beradu di lantai memenuhi indera pendengaran, tak banyak orang yang berlalu lalang di sana. Hanya tersisa satu dua orang penggila kerja dan Cora termasuk salah satunya. Jam di pergelangan tangan telah menunjuk ke angka delapan malam. Satpam yang berjaga menyapa Cora dan dibalas dengan seulas senyum tipis.
Pelit senyumnya, Bu! Ingin Bapak satpam itu berkata demikian pada Cora yang sudah melewati meja jaganya, namun diurungkan agar tak membuat ‘ice queen’ mengamuk.
Cora menghentikan langkah dan menatap tak percaya sosok yang berdiri di depannya. Merasa bagai tengah bermimpi, Cora pun memejamkan mata dan membukanya kembali. Ia melakukan itu berulang kali, memastikan penglihatannya.
Untuk apa dia datang? Tidak ingin mencari tahu maksud kedatangan lelaki itu, ia pun memasang wajah datar andalan dan berjalan melewati lelaki yang tengah tersenyum manis padanya.
“Tunggu sebentar,” ucap lelaki itu sembari menggenggam pergelangan tangan Cora, membuat Cora mau tak mau membalikkan tubuh. Lelaki itu adalah Tony, satu-satunya manusia yang ingin ia hindari setelah pertemuan pertama.
“Ada yang bisa Saya bantu?” tanyanya datar.
Lelaki di hadapan Cora tersenyum. “Ada.” Ia segera menarik tangan Cora dan memaksa wanita itu berjalan bersamanya.
“Lepaskan tanganku,” ucap Cora sembari menghempas kasar tangan Tony, tetapi lelaki itu tersenyum dan semakin mengeratkan genggaman, “Saya akan teriak kalau kamu menarik saya seperti ini.”
Cora melirik bapak satpam yang sudah keluar dari meja jaganya dan menatap Cora penuh tanya.
“Silahkan berteriak sesukamu.” Lelaki itu menatap Cora datar, “tapi, jangan salahkan aku, jika kamu akan menjadi tontonan banyak orang atau mungkin wajahmu akan muncul dibeberapa sosmed keesokan harinya.”
Cora menatap Tony jengah. Ia tidak pernah suka menjadi pusat perhatian. Apalagi sampai wajahnya terpampang di banyak sosmed sebagai wanita yang berteriak meminta tolong saat ditarik lelaki tampan. Cora menoleh ke arah Pak Satpam, tersenyum tipis dan berkata “Nggak pa-pa” tanpa suara. Pada akhirnya, ia hanya bisa menurut dan membiarkan lelaki itu menuntunnya.
Cora tak menyukai sesuatu yang terlalu rumit, otaknya sudah habis dikuras pekerjaan. Oleh karena itu, ia tak mau membiarkan kehidupan pribadi atau orang sekelilingnya menambah beban kerja otaknya itu. Tak heran, jika selama ini Cora kerap meninggalkan lelaki yang telah menjadi mantan-mantannya begitu saja saat mereka mulai berulah.