Bab. 10

1132 Kata
“Kenapa kamu izinin Aisyah pulang?” geram Rahma pada putranya. “Biarkan Aisyah menenangkan dirinya, Umi!” jawab Wahid tanpa menoleh pada ibunya. Rahma hampir tersentak. Ia menatap wajah Wahid yang tengah menuangkan gula pada cangkir tehnya. Wanita paruh baya itu berdecak kesal pada putranya. “Menenangkan pikiran? Memangnya Anak itu punya pikiran?” celetuk Rahma sinis. Wahid refleks beristighfar. “Umi, jangan keterlaluan! Seharusnya Umi sebagai seorang istri bisa memahami perasaan Aisyah saat ini,” ucapnya menahan dirinya agar tak meninggikan suaranya pada ibunya. “Kenapa Umi yang harus memahami perasaannya, Aisyah aja nggak mau memahami perasaan Umi,” sahut Rahma tak terima. “Dari dulu Umi mendambakan cucu, tapi dia nggak mampu menuhin,” celetuknya. Wahid terdiam. Hatinya terasa ngilu. Seperti inikah yang dialami Aisyah setiap hari? Selalu dapat cibiran dari ibunya. “Istighfar, Umi! Bukan salah Asiyah jika sampai saat ini dia belum bisa memberikan cucu.” Wahid mencoba memberi pengertian. “Kenapa kamu selalu membela Aisyah? Seharusnya kamu mendukung Umi, ibumu!” kesal Rahma menatap tajam pada putranya. “Pokoknya Umi nggak mau tahu, panggil Aisyah pulang secepatnya!” tegasnya. Lelaki berjambang tipis itu kembali beristighfar. Ia tak akan tega meminta istrinya untuk kembali pulang. Lagi pula, Wahid sudah berjanji mengizinkan Aisyah pulang ke rumah orang tuanya setelah mendapatkan maaf darinya. “Tidak, Umi. Aisyah perlu menenangkan dirinya sampai hatinya bisa kuat,” ucap Wahid tetap santun. “Kamu mau ngelawan Umi, hah? Lihat sekarang dirimu sendiri, Wahid! Bikin teh sendiri, seharusnya itu tugas seorang istri,” pekik Rahma menggelegar. “Ada apa ini ribut-ribut?” suara Ibrahim muncul dari ruang tengah hampir mengejutkan anak dan istrinya. Rahma langsung memutar tubuhnya dan berjalan cepat pada suaminya. “Ini, Bi, Wahid ngizinin Aisyah pulang ke rumah orang tuanya, alasannya mau nenangin diri dan melupakan kewajibannya sebagai seorang istri,” adunya pada Ibrahim. “Benar itu, Wahid?” tanya Ibrahim pada putranya. “Iya, Abi. Aku mengizinkan Aisyah pulang. Dia perlu menenangkan diri!” jawab Wahid sedikit pelan tanpa berani menatap wajah ayahnya. “Lihatlah rumah ini, Abi! Masih berantakan, piring kotor berserakan, siapa yang membereskannya?” Rahma menunjuk seisi rumah. “Istri macam apa yang abai dengan tugasnya,” sambungnya sinis. Wahid makin menundukkan pandangannya. Indera pendengarannya menangkap suara dengkusan kesal ayahnya. Hatinya makin sakit menyadari selama ini Aisyah diperlakukan tak baik oleh orang tuanya. “Biar aku aja, Umi.” Nurul muncul di balik punggung kedua orang tuanya. Tentu saja fokus mereka tertuju pada wanita yang baru saja sah menjadi istri keduanya Wahid. Kedua bola mata Rahma membulat sempurna dan langsung menghampiri menantu barunya. “Nggak boleh, Sayang! Kamu ‘kan lagi hamil, kamu nggak boleh kecapean,” ucap Rahma lembut seraya memegangi kedua lengan Nurul. Wahid hampir tersentak. Rahma terlihat manis pada istri barunya. Kemudian wanita paruh baya itu langsung menatap tajam pada anak lelakinya. “Lihat ulah Aisyah, Wahid! Seharusnya Nurul beristirahat dan menjaga kesehatannya. Ibu hamil itu nggak boleh kecapean, Wahid, kamu harus ingat itu! Seharusnya istrimu beristirahat, pasti dia kelelahan karena prosesi pesta pernikahan kalian jadi terganggu karena kelakuan wanita tak tahu diri itu. Bukannya bersih-bersih rumah dan nyiapin makanan malah kabur,” gerundel Rahma dengan nada penuh amarah. “Benar yang dikatakan Umimu, Wahid! Abi tidak mau tahu, panggil Aisyah pulang dan bersihkan rumah serta siapkan makanan untuk kamu dan Nurul. Apa yang akan dikatakan kyai Reza jika kita memperlakukan Nurul buruk.” Ibrahim mendukung ucapan kekesalan istrinya. Wahid menggelengkan kepalanya. Ia tak menyangka dengan ucapan kedua orang tuanya. Lelaki itu tidak boleh membuat hati Aisyah hancur dengan menuruti permintaan orang tuanya. Istrinya perlu menenangkan hatinya, Wahid tahu itu. “Tidak, Abi! Aku masih sanggup mengerjakan semua pekerjaan rumah. Biarkan Aisyah menenangkan diri di rumah orang tuanya,” bantah Wahid tegas. Kedua orang tuanya terkejut. Baru kali ini anak lelakinya melawan perintah mereka. Sementara Nurul terlihat mematung tak percaya. Wanita itu sangat jelas melihat besarnya rasa cinta Wahid untuk istrinya. “Kalau begitu aku bantuin,” usul Nurul seraya berjalan menuju dapur, mendekat pada Wahid. “Tidak usah! Aku bisa mengerjakan semuanya. Lagi pula, aku juga dulu selalu membantu Aisyah mengerjakan semua ini, jadi aku tahu bagian mana yang harus dikerjakan terlebih dahulu,” jawab Wahid terdengar acuh. Ia sama sekali tak menatap wajah istri barunya. Nurul terkejut. Hatinya terasa panas, seolah terbakar api. Ingin rasanya ia mengumpat, tetapi di tahannya. Wanita itu tak boleh menunjukkan kekesalannya di depan mertuanya. Tangan Nurul mengepal seraya menguasai dirinya. Ia lalu tertunduk dan memasang wajah sedih demi mendapatkan simpatik dari kedua mertuanya. Wanita itu mengira Wahid akan bersikap baik pada dirinya. “Awas saja kamu, Mas Wahid! Kamu akan menyesal mengabaikanku. Padahal aku sudah berusaha meraih hati kedua orang tuamu,” batin Nurul menahan emosinya. *** Aisyah mematung di depan lobi rumah sakit. Ia menatap langit yang tengah menyiramkan berkahnya dengan lembut, menyirami dunia dalam kesunyian. Entah kenapa hatinya tak bisa lepas dari Haidar. “Astaghfirullah!” Aisyah beristighfar menyadari kesalahannya. “Kenapa aku jadi penasaran sama Haidar, sih? Padahal aku sudah punya suami,” tegurnya pada dirinya sendiri. Salah! Ini adalah salah, pekik hatinya. Ia tidak boleh memikirkan laki-laki lain selain suaminya. Haidar hanya sahabatnya yang telah lama tak bersua. Benar, mungkin karena lama tak berjumpa sehingga rasa rindu seorang sahabat tercipta. Akan tetapi, ia tak boleh terlena dan terjerat dengan rasa tersebut. Wanita itu terus beristighfar menyadarkan dirinya. Percikan air hujan yang terbawa angin seolah teguran untuk dirinya. “Gimana pulangnya, nih? Pasti sulit nyari taksi online,” keluh hatinya mencoba mengalihkan pikirannya. Tiba-tiba suara klakson mobil menyadarkan dirinya dan beberapa orang yang tengah berteduh bersamanya di sana. Mereka semua saling bertukar pandang dan menatap kaca mobil yang sudah turun memperlihatkan wajah pengendara yang membunyikan klakson mobil tadi. Kedua bola mata Aisyah hampir terlepas dari tempatnya. “Haidar?” gumannya seraya memastikan indera penglihatannya. Benar lelaki itu adalah Haidar. Aisyah mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya, mencoba memastikan siapa orang yang sedang ditatap dokter tampan itu. Sepertinya tak ada orang lain yang mengenal dokter tersebut. “Aisyah, mari naik! Aku antar pulang,” teriak Haidar keras, hingga beberapa orang yang ada di sana menatapnya. “Tidak usah, aku sudah pesan taksi online,” jawab Aisyah tak ingin terus menjadi pusat perhatian. Haidar mengerutkan dahinya. Dokter tampan itu memindai sekelilingnya, air hujan melebat dan tak ada kendaraan lain yang mendekat ke lobi. Ia yakin sekali, cuaca seperti ini pasti sulit untuk mendapatkan taksi online. “Jangan sungkan, Aisyah! Aku hanya berniat mengantar pulang,” teriak Haidar lagi. Jelas sekali, ia melihat wanita bercadar itu salah tingkah. Hingga terdengar suara klakson di belakang mobilnya yang menunggu mobilnya bergegas bergeser dari sana dan keluar pintu gerbang rumah sakit. Sejujurnya, lelaki itu masih penasaran dengan kehidupan sahabatnya itu. Hatinya meyakini kehidupan Aisyah sedang tak baik. Haidar ingin terus menjadi sahabatnya. “Aisyah, cepatlah! Aku tak bisa menunggu lama.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN