Bab. 9

1130 Kata
“Aku langsung saja, ya. Jika kamu dan suami memutuskan untuk program hamil, aku selalu menyarankan agar istri dan suaminya itu datang! Atur waktu agar selalu bisa menemuiku berdua karena untuk bisa hamil harus berjuang bersama bukan hanya istri saja,” terang Haidar mencoba menenangkan pasiennya. Dokter tampan itu dapat melihat garis kegelisahan Aisyah. Tentu saja wanita bercadar itu menyimaknya. Ia tak menyela sahabatnya yang kini tengah memberikan nasehat tentang keluhannya. “Aku tahu kegelisahan seorang istri yang sudah lama menikah dan tak kunjung hamil. Apalagi jika mereka mendapatkan tuntutan dari mertua, saudara dan keluarga untuk cepat hamil. Sayangnya mereka selalu menyudutkan seorang istri dan lebih parahnya kata keramat yang paling menyakitkan selalu terlontar pada seorang istri." Haidar menjeda penjelasannya. Ia menatap ekspresi Aisyah yang tampak tersentak. “Mandul!” sambung Aisyah mengerti penjelasan terakhirnya Haidar. Lelaki di hadapannya mengangguk. “Perlu kamu ketahui, Aisyah, di dalam dunia medis tidak ada istilah mandul!” tegas Haidar. Aisyah tersenyum di balik cadarnya. Penjelasan Haidar benar-benar melegakan hatinya. Tiba-tiba saja air matanya menetes. Wajah Haidar terlihat panik. “Maafkan aku, Haidar. Aku bukan menangis karena sedih dengan penjelasanmu, tapi aku merasa terharu. Ucapanmu benar-benar membuatku senang,” ujar Aisyah cepat menyadari ekspresi Haidar yang menatapnya cemas. “Kamu benar, selama ini aku selalu mendapatkan cibiran mandul hanya karena sampai saat ini aku belum hamil,” akunya. Haidar menghela napas pendek saat melihat Aisyah menyeka air matanya. Ingin rasanya ia menggenggam tangannya memberi dukungan, tetapi itu tidak mungkin. Haidar lantas memberikan senyuman dukungan. “Itulah alasannya kenapa aku selalu meminta setiap pasangan yang sudah menikah dan ingin program hamil untuk datang bersama pasangannya. Tujuannya agar tahu siapa yang bermasalah dan kita sama-sama mendukungnya. Seberat apa pun masalah yang kita hadapi, dukungan dari orang yang kita cintai itu adalah motivasi paling besar agar kita tetap kuat,” tutur Haidar lembut. Kedua bola mata Aisyah berbinar. Sungguh, ia bersyukur ucapan Haidar mampu membuatnya hatinya terbuka. “Kamu benar, Haidar. Dukungan dari pasangan adalah motivasi paling besar hingga aku bisa bertahan sampai sekarang. Akan tetapi ...,” ucap Aisyah menjeda. Air mata wanita itu kembali menetes. Pilu dan sakit hatinya kembali terasa. Selama ini ia selalu mendukung suaminya dan mendampinginya tanpa pernah menyinggung tentang anak. Hingga Aisyah memilih menanggung hinaan atas aib suaminya, tetapi justru pengkhianatan yang diterimanya. Naasnya, air mata Aisyah tak mau berhenti saat mengingat semua itu. Haidar langsung bangkit dari duduknya. Ia tak bisa menahan dirinya untuk tak menghampiri sahabatnya itu. “Kuatkan dirimu, Aisyah! Aku tahu kamu adalah wanita hebat!” hibur Haidar membelai pelan pundak pasiennya yang tertutup hijab lebarnya. Klek! Pintu ruangan terbuka. Keduanya tersentak dan langsung salah tingkah, tetapi berhasil menghentikan air mata Aisyah. Asisten perawatnya Haidar yang muncul, tampaknya ia juga tersentak seperti keduanya. Kemudian perawat itu menunduk hormat pada Haidar. “Maaf, Dok, Bu Aisyah adalah pasien terakhir. Saya boleh izin pulang duluan, nggak? Saya mendapatkan telepon kalau anak saya di rumah, sakit,” ucap perawat itu sungkan. “Tentu saja!” sahut Haidar cepat seraya menghilangkan salah tingkahnya. “Mm ... Erni, bisa tolong ambilkan air untuk pasien saya?” pintanya saat melihat wanita bercadar di hadapannya. Perawat itu langsung keluar setelah menjawab permintaan Haidar. Sepeninggalan Erni, perawat Haidar, keduanya terlihat canggung. Dokter itu lantas merogoh saku celananya mengeluarkan sapu tangan dan memberikannya pada Aisyah. “Pakai ini!” ucap Haidar diikuti senyuman tipis nan manis. Aisyah canggung. Namun, ia lebih memilih menerima sapu tangan tersebut. Aisyah sadar, lelaki itu hanya mencoba menghiburnya. Kemudian Haidar berpindah pada tempat duduknya. Lelaki itu mengambil pena dan sebuah kertas catatan resep. Ia menuliskan beberapa obat dan vitamin di sana. “Aku resepkan vitamin untuk menjaga kesehatan tubuhmu dan juga rahimmu. Aku juga akan meresepkan vitamin untuk suami—“ “Tidak perlu!” potong Aisyah cepat, hingga gerakan tangan Haidar terhenti. Lelaki itu cepat menaikkan pandangannya. Aisyah kembali menunduk. Ya, untuk apa Aisyah memberikan vitamin untuk suaminya. “Ini hanya untuk daya tahan tubuh saja. Aku harus tahu dulu penyebab kalian kesulitan hamil. Apa darimu atau suamimu, Aisyah,” terang Haidar mencoba menenangkan pasiennya. “Akan tetapi, jika aku melihat dari semua keluhanmu di sini, seharusnya tak ada masalah padamu,” imbuhnya. Tentu saja bukan pada Aisyah masalahnya. Andai saja ia punya keberanian mengatakannya pada Haidar. Namun, hatinya menahannya karena masih menyadari dirinya adalah seorang istri yang tetap harus menjaga aib suaminya. Untunglah pintu ruangan Haidar diketuk dan tak lama langsung terbuka, hingga bisa mengalihkan pembahasan tersebut. Erni membawa nampan berisi dua botol mineral dan sedotan. Tampaknya ia menyadari Aisyah akan kesulitan meneguk air tersebut di hadapan dokternya. “Silahkan, Bu, Dok,” ucap Erni saat memindahkan botolnya pada hadapan dokter dan pasiennya. “Terima kasih, Erni ... kamu boleh pulang!” sahut Haidar cepat. “Terima kasih kembali, Dok,” balas Erni cepat disusul senyuman tulusnya. Haidar mempersilahkan Aisyah meminum air mineral pemberian Erni, setelah perawatnya keluar meninggalkan mereka berdua. Wanita bercadar itu mengangguk dan langsung meraih botol mineral beserta sedotannya. Ya, Aisyah perlu menenangkan dirinya agar ia tak terbawa emosi yang akhirnya mengungkap aib suaminya. Sejujurnya ia ingin menceritakannya pada Haidar sebagai seorang pasien dan dokter. Akan tetapi ia takut jika itu memang aib dan justru akan membuat suaminya malu. Lagi pula, apa Wahid mau bertemu dengan Haidar dan menjalani pemeriksaan, lalu sama-sama berjuang menjalani program hamil. “Itu tidak mungkin,” guman Aisyah pilu dan pelan. “Iya? Ada apa Aisyah?” tanya Haidar membuat Aisyah tersentak dan kembali salah tingkah. Wanita bercadar itu refleks menatap Haidar yang menatapnya penasaran. Kedua pipinya memerah di balik cadarnya. Ternyata ia terlalu larut dalam pikirannya hingga tak menyadari gumanannya. “Ah, tidak ada apa-apa, Haidar. Terima kasih untuk air minumnya ... sepertinya sesi konsultasi sudah cukup,” jawab Aisyah sedikit sungkan. “Kamu juga pasti akan segera pulang, ‘kan?” pungkasnya. “Bagaimana kamu tahu?” tanya Haidar cepat dengan tatapan bingung. Aisyah mengerutkan dahinya. “Bukankah perawat tadi bilang kalau aku adalah pasien terakhirmu,” jawabnya. Haidar beristighfar dan tertawa kecil. Ia tak menyadarinya karena terlalu penasaran dengan kehidupan Aisyah. Apalagi saat wanita itu menolak resep untuk suaminya. Haidar yakin sekali kalau suami Aisyah lah yang bermasalah. Apakah ia perlu mendesak wanita itu agar Aisyah mau menceritakan masalahnya? Sama seperti yang sering ia lakukan saat SMA dulu. Haidar selalu bisa membuat Aisyah mencurahkan semua rasa suka dan dukanya hanya pada dirinya. Haidar merindukan masa itu. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Layar ponselnya yang berada di dekat tangannya menampilkan nama pemanggilnya. Kedua bola mata Aisyah langsung tertuju ke sana. “Sebentar, aku jawab telepon dulu!” ucap Haidar dengan senyuman ceria seraya meraih ponselnya dan menggulir layarnya, lalu menempelkannya pada daun telinganya. “Halo, Nak,” sapa Haidar setelah sambungan teleponnya tersambung. Aisyah langsung tertunduk. Ia yakin penelpon itu adalah anaknya Haidar. Kenapa hatinya terasa sedih. Haidar sudah punya anak?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN