Alasan Apa Ini?

1529 Kata
Kesibukan Nayla semakin bertambah dengan jadwal bimbingan OSN, membuatnya pulang lambat setiap hari. Seleksi calon peserta OSN sangat ketat di SMA Bina Karya, wajar saja jika selama ini sekolah itu selalu memegang juara satu tingkat provinsi dan beberapa kali juga menjuarai tingkat nasional. Siang itu sembari menunggu jadwal bimbel pukul empat sore, Nayla mengunjungi perpustakaan untuk mencari bahan-bahan belajar. Ia sangat bersemangat, berjanji akan benar-benar masuk menjadi salah satu peserta di meja olimpiade nantinya. Ia memilih-milih beberapa buku yang berjejer, semuanya menarik minatnya. Menimbang-nimbang beberapa judul itu, lalu mengarahkan pandangan ke deretan lain. Ia tersenyum senang ketika menemukan sebuah buku yang sesuai dengan harapannya tidak jauh dari deretan buku-buku tadi. Judul buku itu "Cerita Dari Mereka Alumnus Olimpiade". Yes! batinnya girang. Tangannya terulur mengambil buku itu. Tapi sebuah tangan seseorang menghalangi tangannya. Lalu maju mendekatinya, sontak membuat Nayla mendongak. Dan dahinya seketika berlipat-lipat melihat Edwin berdiri di sana. Nayla menggeser posisinya agar bisa lewat dari sisi lain, tapi Edwin juga menggeser posisinya sehingga tetap menghalangi di depan Nayla. Begitu terus hingga beberapa kali. "Permisi." Akhirnya Nayla membuka suara, Edwin tersenyum setengah menatapnya. "Jadi kau udah merasa hebat karena berhasil masuk calon peserta OSN? Hmmm." Edwin menyedekapkan tangannya di depan d**a. "Tapi kau masih punya banyak utang sama aku, Nayla. Terlebih soal matematika itu, aku jadi kena hukuman lagi." Oh, alasan macam apa itu? Bukankah hukuman tidak menjadi masalah lagi untuk seorang Edwin? Nayla memberengut. "Jadi, mulai sekarang, jangan pernah nolak perintahku lagi. Kau pasti tau apa akibatnya kalo aku sebarkan foto itu, apakah kau masih akan jadi calon peserta OSN?" Edwin semakin menyeringai. Bola mata Nayla melotot hingga hampir meloncat keluar dari bingkainya. "Apa mau kamu sebenarnya?" "Mau aku...." Edwin tersenyum lebar. "Belikan minuman dingin dan bawa ke sini." Nayla semakin melotot. Ia berucap tegas membacakan salah satu tata tertib pengunjung perpustakaan, "Tidak boleh membawa makanan dan minuman ke dalam perpustakaan." "Itu urusan kamu, pokoknya aku tunggu di ruang baca." Edwin melenggang pergi meninggalkan Nayla yang masih mematung di tempatnya. Nayla mengesah panjang, dengan terpaksa melangkah meninggalkan perpustakaan menuju ke kantin. Lalu membawa kembali minuman dingin yang sudah dibelinya dengan menyelundupkannya ke dalam jilbab agar tidak ketahuan. Tentu saja dengan resiko kena peringatan jika sampai pengurus perpustakaan memergokinya. Nayla meletakkan sebotol minuman dingin dengan keras di atas meja, tepat di hadapan Edwin yang tengah membaca. "Tetap di situ, jangan ke mana-mana, susah lagi nanti aku hubungi kamu!" Edwin menunjuk ke sebuah kursi di seberang meja ketika Nayla bergegas hendak keluar ruangan. Sekali lagi dengan kesal Nayla mengempaskan pinggulnya di sebuah kursi di seberang meja. Mereka hanya saling diam. Edwin sibuk dengan bacaannya. Nayla mulai mengeluarkan buku Biologi dari dalam tasnya, lalu mengerjakan latihan-latihan soal. Ia melirik buku-buku yang tergeletak di hadapan Edwin, semuanya hanya n****+-n****+ dan komik. Apa pemuda itu tidak tertarik untuk belajar sesuai jurusannya? Ah, pusing amat! Nayla menggeleng kesal. Dan secara tidak sengaja pandangannya terarah ke pintu masuk ketika seorang pemuda menarik perhatiannya. Rasya masuk membawa beberapa buah buku. Pandangan mereka bertatap beberapa saat, lalu pemuda itu melangkah ke arah lain. *** Rasya meneruskan langkahnya ke sebuah meja paling sudut yang tidak ada orang lain di sana. Ketika masuk ke dalam ruang baca dan bertemu mata dengan Nayla ia sangat senang. Entah mengapa hatinya begitu bermekaran ketika melihat gadis itu sejak pertama kali bertabrakan di depan perpustakaan lalu. Ditambah lagi ternyata Nayla anak yang sangat berbakat, hafal enam juz Al-Qur'an, menguasai ilmu tajwid, mudah bergaul, calon peserta OSN. Juga pakaiannya menutup aurat sempurna, wajahnya juga cantik, benar-benar memenuhi kriteria calon istri, eh? Tapi melihat Nayla duduk satu meja dengan seorang pria, apalagi pria itu adalah Edwin, jujur saja membuat hatinya tidak senang. Dan... kenapa bisa? "Bukunya kebalik. Kamu beneran baca buku atau...?" Bima teman sekelasnya menunjuk ke arah buku yang sedang di genggaman Rasya. Tuh, kan, dia jadi tidak konsentrasi! Rasya cepat-cepat membalik bukunya. "Baru juga pegang buku, wajarlah kebalik," sungutnya beralasan. Bima tertawa lebar melihat reaksi Rasya, cowok itu tetap tidak bisa menyembunyikan kegugupannya. "Kenapa? Aku tau kamu pasti lagi mikirin seseorang, iya, kan?" Bima justru meledek. "Iya, mikirin Rohis," jawab Rasya tak acuh. Bima memang paling suka mengganggunya. "Iya, Rohis yang di meja sana, kan?" Bima sambil tertawa mengarahkan telunjuknya ke tempat Nayla dan Edwin duduk. Rasya mengikuti arah telunjuk Bima bermuara. Dan keningnya semakin berkerut-kerut tatkala melihat Edwin tampak sedang berbicara dengan Nayla, lalu mengangsurkan sebuah buku. Sikap Rasya semakin membuat Bima tertawa sambil menepuk-nepuk punggung temannya itu. "Udahlah, nggak usah bohong. Kamu bukan malaikat, wajarlah kalo suka sama salah seorang siswi di sekolah ini. Tapi aku penasaran kenapa gadis itu bisa menarik perhatian seorang Rasya yang terkenal sangat anti sama cewek." Bima keluar dari ruangan itu. Tapi tidak lama kemudian, kembali lagi sambil tersenyum lebar. "Oh, namanya Nayla Azzura. Calon peserta OSN Biologi, anggota Rohis. Siswa baru rupanya, makanya wajahnya masih asing. Wajarlah, dengan begitu banyak kelebihan pasti bisa membuat Rasya Zubair, juara debat bahasa Arab SMA Bina Karya, luluh." Bima masih setia menggoda. "Bisa diam, nggak?" Rasya memasang wajah masam, lalu kembali sibuk dengan bukunya --meski pikirannya jelas tidak di buku itu. Dan ketika melihat Nayla keluar dari ruang baca itu, Rasya juga segera beranjak. Bima hanya memperhatikan teman sekelasnya itu sambil geleng-geleng kepala. Sepertinya julukan pangeran jomblo akan segera berakhir dari dunia Rasya. Ia berjalan jauh di belakang Nayla, menjaga jarak agar gadis itu tidak mencurigainya. Ini benar-benar di luar kebiasaannya, ia tidak pernah merasakan dorongan untuk melakukan sesuatu demi seorang wanita. Tapi, satu hal yang harus ia lakukan adalah memberi peringatan pada anggota Rohis-nya itu agar menjauhi Edwin yang berbahaya. Apa benar karena alasan itu? Huh, menyingkirlah kau pikiran kotor! Nayla sudah hampir mencapai pembelokan menuju masjid sebab waktu sudah mendekati Ashar. Rasya mempercepat langkahnya, lalu... "Tunggu!" Mendengar suara tegas Rasya, Nayla berhenti dan menoleh. Gadis itu mengerutkan kening melihat Rasya berdiri dengan napas yang jelas tersengal. "Ada apa?" tanya Nayla heran. Rasya bingung bagaimana mengatakannya. Sudah beberapa menit berlalu ia masih terdiam. Oh, Rasya! Kenapa kau harus melakukan ini? Hatinya justru merutuk akibat berbuat tanpa dipikir terlebih dahulu. "Mmm, itu... sebagai anggota Rohis, sebaiknya jangan terlalu dekat dengan lawan jenis, apalagi orang itu adalah Edwin. Dia murid yang tidak baik untuk dijadikan teman." Rasya mengembuskan napas lega bisa mengucapkan kalimat itu. Meskipun setelah dipikir-pikir sebenarnya agak absurd juga mengurusi anggota Rohis-nya hingga pada masalah pribadi. Nayla masih mengerutkan kening, namun sesaat kemudian mengangguk. "Iya, maaf jika itu tidak diperkenankan sebagai anggota Rohis. Tadi itu kebetulan ketemu dia di sana dan dia hanya minta bantuan sebentar." Nayla menjelaskan. "Saya masuk dulu, permisi, Kak." Nayla undur diri. Rasya mengangguk cepat. Ia masih berdiri menatap punggung gadis itu hingga menghilang di pembelokan. Lalu menepuk jidatnya demi memikirkan apa yang baru saja ia lakukan. Benar-benar bukan ciri seorang Rasya berani melakukan hal konyol itu. *** Usai bimbingan belajar sore itu, Balikpapan diguyur hujan deras. Nayla melangkah cepat menyusuri koridor menuju pintu gerbang. Pak Abidin belum meneleponnya, sepertinya sopirnya itu belum tiba di sekolah. Ia duduk-duduk di depan ruang kebersihan di dekat gerbang sekolah bersama para siswa lainnya yang juga menunggu jemputan. Sebagian besar mereka adalah sesama temannya yang ikut bimbingan. Mereka bercakap-cakap sebentar hingga satu per satu para siswa itu dijemput pulang. "Hei, belum pulang?" Nayla mendongak mendengar suara klakson diikuti suara seorang pria. Tampak Edwin tersenyum lebar melihatnya menunggu jemputan seorang diri. "Ayo, naik, aku antar pulang!" seru Edwin lagi. 'Ih, ogah banget diantar murid berandalan itu!' Nayla tidak menanggapi, melempar pandangan ke arah lain. Rasanya sangat menyebalkan kembali bertemu dengan monster menakutkan itu. Apalagi teringat ucapan Rasya tadi membuatnya semakin tidak nyaman. "Buruan! Mumpung aku lagi berbaik hati. Dari pada sendirian, digondol maling ntar!" ucapnya lagi. "Makasih. Tapi tidak perlu. Udah jalan kok penjemputku." Nayla menolak, lalu beranjak agak menjauh dari Edwin. Jujur ia takut pada cowok itu, bayang-bayang kejadian di gedung olahraga beberapa waktu lalu lewat begitu saja tanpa permisi. Edwin menyandarkan motornya, lalu naik ke teras. Ia tidak mendekati Nayla, hanya duduk tidak jauh dari tempatnya. Ia mengambil ponselnya, lalu mulai sibuk bermain game. 'Ngapain juga dia ikutan nongkrong di situ?' gerutu Nayla dalam hati. Lima belas menit berlalu, jemputan Nayla belum juga datang. "Kamu beneran dijemput?" Edwin membuka suara menyelidik. Nayla hanya mengangguk menanggapi. "Kamu pulang aja sana, aku nggak apa-apa kok nunggu sendirian." "Hei, berbahaya anak gadis sore-sore sendirian di tempat seperti ini. Udah mau maghrib pula. Kalo ada yang apa-apain kamu siapa yang rugi?" Edwin justru menakut-nakuti sambil tersenyum nakal khasnya. Nayla mengesah panjang. Bukan apa-apa yang dia takuti, justru keberadaan Edwin di situ membuatnya khawatir. "Udah, yuk, aku antar," tawar Edwin lagi. Nayla menggeleng. Tidak mungkin dia mau diantar pulang oleh teman laki-laki, bisa-bisa Ningsih dan Bagas tidak mempercayainya lagi. Tidak lama kemudian mobil sedan berwarna putih menghampiri tempat mereka duduk sambil membunyikan klakson. Nayla segera tersenyum dan bernapas lega. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun pada Edwin, Nayla bergegas menaikkan tas selempangnya ke atas kepala untuk melindungi diri dari hujan, lalu berlari dan masuk ke dalam mobil. Edwin masih memperhatikan mobil itu hingga meninggalkan halaman sekolah. "Udah ditemani juga, nggak bilang makasih," gerutunya. Ia juga segera beranjak naik ke atas motornya, lalu pulang ke rumah menerobos hujan lebat. Bersambung... Thanks for waiting... And see U on Wednesday... Don't forget to tap LOVE and FOLLOW
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN