Hari pertama kedua menjadi istrinya Reyhan. Mau tidak mau Cindy harus taat pada suaminya dan juga mertuanya. Tinggal bersama dengan mertuanya sangat menyenangkan. Dia dimanja oleh mertuanya. Semalam ia tidur bersama dengan Aisha—adiknya Reyhan. Karena dia belum siap tidur bersama dengan Reyhan. Suaminya juga tidak masalah kalau dia tidur di kamar lain. Lagipula tidak akan ada yang terjadi. Toh Reyhan tidak ingin menyentuh istrinya. Mana mungkin dia minat untuk menyentuh Cindy. Jika itu bukan Mona.
Pagi ini mereka sudah melakukan aktivitas seperti biasanya. Cindy yang mengambil pakaian kotor ke dalam kamar suaminya sesuai dengan perintah mertuanya. Ya menjadi istri Reyhan itu tidak mudah, sebab usia mereka terpaut sebelas tahun. Reyhan juga sering memanggilnya dengan sebutan bocah. Yang di mana Cindy merasa risih dngan panggilan itu. Tapi mau bagaimana lagi kalau suaminya sendiri yang memanggilnya seperti itu.
Reyhan bangun agak kesiangan. Ketika mendengar suara benda jatuh dari kamarnnya.
Sejenak dia menoleh ketika istrinya sedang mengambil pakaian kotor. “Ngapain kamu sentuh-sentuh barangku?”
“Mama nyuruh aku ambil ini buat nyuci.”
“Nggak usah, ada asisten.” Reyhan yang bangun dari tempat tidur dan menyambar baju itu kemudian ia mengambilnya dari tangan Cindy. Gadis kecil itu tercengang sambil mematung ketika Reyhan bersikap cuek terhadapnya.
“Mama nyuruh aku, Kak.”
“Aku bilang nggak usah ya nggak usah! Jangan pernah kamu sentuh barang-barangku di sini, paham?!”
Cindy terkejut dan mengangguk pelan mendengar dirinya dibentak oleh suaminya. Meski punya mertua yang baik. Tapi tidak dengan suami yang cukup dingin. Ditambah lagi dengan pernikahan terpaksa. Cindy sebenarnya tidak pernah ada rencana menikah, tapi ibunya dan juga ayahnya meminta dia menggantikan Mona ketika kakaknya kabur hari itu.
Ceklek
Cindy menoleh ke arah pintu ketika mama mertuanya datang. “Apa-apaan kamu Reyhan berani benak istri kamu, hah? Suara kamu besar sekali sampai luar.”
“Mama suruh dia nyuciin baju kotor aku? Mama dia itu masih kecil, tahu apa dia?” tangan kanan Reyhan menunjuk ke arah Cindy yang berdiri ketakutan di dekat suaminya.
Diana tidak pernah suka dengan bentakan anaknya terhadap istrinya. Lagipula Cindy sudah baik menyelamatkan nama baik keluarga mereka. “Kamu kurang ajar sekali, Reyhan. Dia itu istri kamu.”
“Becus nggak dia jadi istri?”
“Kamu sendiri becus nggak jadi suami?”
“Jangan salahin aku kalau aku lakukan apa pun sama dia. Karena pernikahan ini adalah rencana Mama sama Papa. Aku keluar dari rumah ini dua hari lagi.”
“Nggak ada, nggak ada yang boleh ninggalin rumah. Bisa-bisa kamu siksa istri kamu di sana.”
“Apa urusan, Mama?”
“Reyhan jaga bicaramu!” Afnan masuk ke dalam kamar ketika mendengar suara ribut dari tadi. Entah apa yang diributkan pagi ini oleh anak dan juga istrinya. Ada menantunya juga di sana yang menunduk sewaktu dia datang.
Apa ini keributan yang disebabkan oleh Reyhan karena tidak menerima pernikahan itu?
Sungguh jika itu yang sebenarnya terjadi. Sangat menyedihkan bagi Afnan, belum genap pernikahan itu dua puluh empat jam sudah ribut seperti ini. “Papa juga kenapa harus ikut-ikutan?”
Emosi Reyhan benar-benar diujung tanduk sekarang. Sudah terpaksa menerima pernikahan itu, ditambah lagi rumah tangganya dicampur oleh orangtua. Sangat menyedihkan.
“Kenapa Papa sama Mama belain dia? Papa sama Mama nggak tahu bagaimana perasaan aku dipaksa nikah sama dia.... apa kalian tahu bagaimana perasaan aku? Jangan harap dia bisa aku hargai di mana pun aku berada, Ma. Nggak akan pernah.”
Cindy menggigit bibir bawahnya, resepsi belum digelar seperti yang diminta oleh mertuanya. Bahwa pernikahan diadakan sederhana. Tapi resepsi akan digelar besar-besaran. Dengan persiapan yang cukup panjang juga. “Kenapa nggak cerai aja dari kemarin? Kenapa kakak malah bawa Cindy ke sini?”
“Iya aku bakalan ce...”
“Reyhan!” benak Afnan sebelum Reyhan menjatuhkan talak. Karena pernikahan yang belum ada apa-apanya sudah diributkan oleh hal sepele ini. Mana mungkin juga Reyhan menceraikan Cindy yang sudah menyelamatkan nama baik keluarga Afnan. “Jangan pernah kamu jatuhkan talak itu! Atau semua yang kamu punya Papa cabut. Dia istri kamu, harusnya kamu hargai dia. Bukan malah bentak dia seperti tadi.”
Sedangkan Cindy merasa matanya sangat panas mendengar suaminya barusan. Dia tidak menyangka Kalau seandainya Reyhan benar menceraikannya tadi. Ini semua karena kakaknya yang sudah membuat kekacauan besar ini. “Cindy pamit, Ma, Pa.”
Baru saja dia hendak keluar dari kamar. “Sekalian kamu pulang ke rumah orangtua kamu sana!”
Plaaak
Reyhan terkejut ditampar oleh Afnan. Rasanya ini adalah hal yang pertama kali dilakukan oleh papanya seumur hidup. “Jangan pernah permainkan pernikahan, Reyhan. Dia istri kamu. Ingat! Dia itu yang sudah jaga nama baik kamu. Seandainya terjadi apa-apa sama dia, Papa takut kamu nyesel nanti.”
“Papa belain dia?” Seringaian Reyhan terhadap papanya saat pria tua itu membela Cindy yang sudah keluar dari kamar bersama dengan mamanya.
Afnan tidak membela siapa pun. Tapi tidak akan membenarkan Reyhan jika anaknya salah. “Tolong kamu hargai, Cindy. Kalau memang kamu ingin hidup dengan tenang.”
“Oke, kita buktikan saja, Pa. Aku yang bakalan buat dia nyesel seumur hidup. Jangan salahkan aku berhubungan lagi dengan Mona nanti.”
“Jangan gila kamu, Reyhan. Dia sudah ninggalin kamu. Kamu mau balikan sama dia? Mikir sedikit, Nak! Kamu harus berpikir bagaimana jadinya kalau Cindy nggak bantu kita.”
“Mama sama Papa terlalu memikirkan harga diri. Sedangkan kebahagiaan anak Papa sendiri dikorbankan demi nama baik.”
“Bagaimana tanggapan kamu sama wanita yang sudah pernah kamu ajak tidur? Mereka ke sini ngapain?” Afnan mengingatkan tentang masa lalu Reyhan yang sering didatangi oleh wanita untuk meminta pertanggungjawaban. “Jangan lupakan itu, Reyhan! Pikiran nasib adik kamu kalau seandainya kamu melakukan hal yang sama.”
Reyhan cukup terdiam. Senyum di bibir Reyhan memudar saat papanya terlihat sedih. Meski marah ketika Cindy menyentuh barangnya. Tapi Reyhan terpukul kalau dia melihat orangtuanya seperti ini. “Maaf.”
“Papa cuman minta kamu hargai Cindy. Itu saja yang Mama dan Papa inginkan. Dia istri kamu. Kalau kamu mulai lagi bertingkah seperti dulu. Bagaimana jadinya perasaan Mama dan Papa? Kamu nggak akan ngerti bagaimana caranya Papa harus tebal muka sama orang-orang, Rey. Tolong kamu turut yang ini.”
Perasaan itu tidak bisa dibiarkan. Tidak bisa dipaksakan. “Tapi aku nggak cinta.”
“Kamu harus bisa. Papa yakin kamu bisa mencintai Cindy. Dia itu baik. Kamu harusnya jaga perasaan dia. Jangan bentak! Dia sudah lelah dibentak di rumah orangtuanya. Kamu nggak tahu bagaimana dia dipaksa nikah sama kamu untuk gantikan kakaknya. Kamu pikir dia bahagia? Papa ngotot dia gantiin Mona karena Papa dengar dia dibentak orangtuanya. Andai kamu diposisi dia, apa kamu bakalan sanggup?”
“Entahlah, Pa. Aku sendiri nggak bisa jamin pernikahan aku dan Cindy bakalan seperti apa. Tapi aku mohon sama Mama dan Papa. Jangan pernah memaksa aku untuk segera punya anak. Aku masih belum siap untuk itu.”