Nanti malam adalah malam penentuan. Makam aksi. Mereka akan beraksi lagi setelah beberapa hari libur. Rolis secara khusus menyampaikan pada Panji menginginkan Farhan untuk ikut serta setelah dua malam dia tak ikut berkumpul. Selain karena Ibunya selalu ada di rumah dua malam ini, acara kumpul - kumpul itu juga tak kerlalu jelas. Mungkin hanya sekedar ngobrol ngalor - ngidul dan pesta miras. Dia tak suka yang begitu. Baginya, itu tak berfaedah.
Tapi malam ini berbeda. Dia ingin ikut. Dia harus ikut.
Makanya pagi ini selagi sarapan, dia menunggu Ibunya duduk bersamanya untuk meminta ijin. Masalah telat sekolah, yah, tak apalah, sekali - kali telat. Yang penting ini kelar dulu.
"Belum selesai makannya, Le? Udah jam enem lewat seperempat, lho." Tegur Ibunya, yang akhirnya masuk, mengambil gelas dan duduk di kursi di sebelahnya sambil menuang air dari botol beling yang diambilnya dari kulkas yang sudah usang. Kulkas itu pemberian salah satu tetangga. Kulkas rusak yang freonnya sudah tak berfungsi, tapi Ibunya mau memperbaikinya sehingga masih bisa dipakai sampai sekarang. Lumayan, kalau siang panas, dia bisa minum air es di rumah, nggak perlu beli ke angkringan atau warmindo.
"Bu," Panggilnya."
"Hmm?" Ibunya menggumam karena masih menikmati minumannya. "Kenapa? Hari ini ada jadwal bayar kas?"
"Bukan. Farhan mau minta ijin,"
"Ijin apa?"
"Nanti malam Farhan diajakin main sama temen - temen sekalian belajar kelompok. Boleh nggak Bu?" Lagi - lagi Farhan berbohong untuk mencari alasan dan membuat alibi. Rasa bersalahnya masih terasa di sana, bercokol di sudut hatinya, tapi tak sekuat saat pertama dulu.
"Belajar kelompok kok malem, tho? Biasanya juga pulang sekolah langsung." Ibunya belum - belum sudah menunjukkan tanda - tanda keberatan, membuat semangat Farhan langsung menyusut. Sangsi ingin melanjutkan usahanya ini atau menyerah saja. "Kalau malem - malem terus pulang e kemaleman gimana?"
"Kalau kemaleman nanti Farhan nginep deh, Bu. Pulangnya paginya, biar ibu ndak khawatir. Kan besok juga hari minggu. Ini Farhan kalah suara, nggak ada yang mau ngerjain langsung habis sekolah. Maunya malem minggu itu."
Ibunya menghela nafas panjang, sementara Farhan duduk diam harap - harap cemas di tempatnya.
"Namanya siapa. Teman kamu yang rumahnya mau dijadiin tempat buat kerja kelompok?" Farhan merasakan angin segar di sini, Sepertinya, hawa - hawanya ijin akan segera turun dari baginda Ratu Sumarsih, nama Ibunya.
"Hamdan, Bu."
"Nomor telponnya ibu minta." Farhan melecos seketika. Yah, kalau begini caranya ya pasti bakal ketahuan sama Ibunya.
Dia segera memutar otak untuk mencari cara bagaimana bisa lolos dari yang ini.
"Waduh, dia punya HP emang sih, Bu. Tapi Farhan ya mana ingat. Dulu pas kenaikan kelas sih ada nyatet, tapi nggak tau ilang di mana. Nanti gimana aku minta, terus kasih Ibu?"
"Jam berapa mulai belajar kelompoknya?"
"Eh, jam... tujuh delapanan gitu, Bu. Paling abis maghrib Farhan langsung berangkat. Lumayan jauh soalnya, di Jetis sana rumahnya."
"Kamu nyepeda aja?"
"Nyepeda juga nggak papa, Bu. Masih mending daripada jalan kaki."
Farhan menatap Ibunya dengan pandangan berharap. Helaan nafas panjang Ibunya adalah alarm kemenangan bagi Farhan.
"Ya udah, kamu ati - ati nanti berangkatnya."
Senyuman manis terkembang di wajah sawo matang tersebut. Memamerkan deretan gigi putih yang terawat meskipun hanya dengan odol dan sikat gigi murahan.
"Makasih, Bu."
***
Dia memandangi remaja tanggung berbadan tak terlalu tinggi tegap, tak kurus dan juga tak terlalu berisi. Malah, bisa dibilang jika remaja tersebut sedikit kurus, namun, bahu bidang dan otot liat di tangannya membuktikan yang sebaliknya. Matanya terlihat sendu seiring sepeda tersebut membawa pengemudinya semakin menjauh.
Namanya Sumarsih. Sehari - hari, dia biasa dipanggil Marsih. Janda anak satu. Usianya belum genap tiga puluh lima tahun saat ini, tapi wajahnya terlihat gurratan lelah perjuangan hidup yang selama ini dia tanggung. Sejak bercerai dari mantan suaminya, dia mengambil alih peran menjadi pencari nafkah untuk anak semata wayangnya dan sebagian untuk orang tuanya yang sudah renta.
Dia memang amat protektif pada Farhan, putranya. Hal itu tentu saja dilakukan bukan tanpa alasan. Mantan suaminya.... Bapaknya Farhan, bukan orang sembarangan. Syukur saat ini orang itu masih mendekam di balik jeruji besi. Jika tidak, mereka pasti akan dikejar kejar. Mantan suaminya adalah salah satu preman paling berpengaruh di daerah Tugu Jogja. Dan dia bisa melakukan apapun dari mana pun jika dia mau. Alasannya selalu menyembunyikan Farhan di rumah adalah tak ingin anaknya menjadi seperti Bapaknya. Itulah sebabnya dia banyak mengikat Farhan. Karena ketakutan - ketakutannya.
Tak terlalu sulit, karena Farhan adalah anak yang penurut. Sejauh ini, sampai baru - bari ini. Mungkin memang seharusnya dia memikirkan pendekatan lain yang lebih sesuai dengan umur Farhan Saat ini. Anak itu sudah lima belas tahun, sebentar lagi akan enam belas tahun. Hormon remajanya sedang tinggi - tingginya. Jadi dia tak bisa menyalahkan kehausan Farhan akan dunia luar. Dia juga ingin membiarkan Farhan bebas seperti anak - anak lainnya. Tapi dengan semua isu klitih dan premanisme yang lagi - lagi meraja lela saat ini, dia menjadi bimbang.
"Mbak Marsih!"
Dia tersentak saat namanya dipanggil. "Dalem? (Ya?/Saya?)" Dilihatnya seorang ibu - ibu dengan dandanan rapi dan menor lewat di depan rumahnya dengan menggunakan motor matic keluaran terbaru.
"Eh Bu haji. pripun (Gimana) Bu?" Dia menyapa ramah. Tak lupa dia kembangkan senyum agar wajahnya yang dia rasa sudah tak terlalu cantik ini jadi sedikit lebih enak dilihat. Kan nggak bagus aja kalau sudah nggak cantik, jutek, nggak ramah pula. Sepet di pandang mata.
"Hari ini Mbak Marsih ke rumah mana aja?" Kalau masih sempet ke rumah saya ya Mbak, nyuci, udah pake mesin, kok. Sama nyetrikain."
Iya, beginilah pekerjaannya. Serabutan apa saja yang penting halal, bisa dapat uang, bisa buat biaya sekolah Farhan, menabung untuk masa depan Farhan dan bisa buat makan sehari - hari.
"Waduh, hari ini penuh, Bu haji. Besok gimana? Besok saya cuma di tempat Bu Rohim aja. kalau mau, Bu haji saya masukkan list buat besok." Dia menjawab sopan. Iti adalah ilmu marketing yang dia pelajari dulu saat masih sekolah SMK dan dia praktekkan sampai saat ini.
Marketing untuk menjual diri, dalam artian menjual jasa yang bisa dia tawarkan untuk orang lain. Ya semacam ini.
"Waduh nggak bisa hari ini ya." Dia tersenyum, merasakan kepakan rupiah di kepalanya siap untuk terbang. Sepertinya bukan rejeki. Tapi mau bagaimana lagi, dia kan berbisnis. Harus tepat waktu, tak boleh rakus, Sehari dia mengambil job cuci - cuci, berberes dan menyetrika ini hanya tiga orang. Jika lebih, dia akan memasukkannya ke list selanjutnya, Itu dikarenakan dia menjelang dhuhur harus sudah berada di warung mie ayam untuk pekerjaannya yang lain.
Dia menarik nafas, senyuman masih terpatri di wajahnya. Dia sedang mencoba legowo bahwa mungkin belum jodohnya bekerja dengan Bu haji ini. Tak apa, kalau rejeki pasti di ganti, Kalau nggak, dia nggak mau makan jatah rejeki orang lain. Lagipula...
"Ya wis, Mbak. Besok juga nggak papa."
Rejeki itu... eh?! Apa tadi? Kok dia mendadak tak menyimak?!
"Bener Bu Haji? Besok?"
"Iya, Mbak, besok juga nggak papa wis. Tak tunggu sampe Mbak Marsih dateng ke rumah ya."
Senyumnya semakin lebar. Rejeki buat Farhan, Alhamdulillah... lirihnya dalam hati.
"Nggih, Bu haji, Besok saya ke rumah, Makasih ya."
Senyumnya masih terkembang mengiringi kepergian tetangganya yang akan memakai jasanya besok itu. Setelah tak kelihatan lagi, ingatannya kembali pada anak semata wayangnya.
Kenapa perasannya jadi nggak enak begini, ya.