Bab X

1162 Kata
Aditama tertegun. Di tangannya kini sudah ada sketsa yang menurut Pak Muhdi adalah pelaku yang mengkitihnya. Dia seharusnya mengejar keberadaan anak ini sekarang. Hanya saja, mengulik kasus Klitih tak pernah sesederhana itu. Banyak hal yang harus disiapkan. Mereka biasanya bergerak berkelompok, sehingga menangkap hanya satu orang akan terasa tak adil. Apalagi biasanya kelompok - kelompok begitu mencari pengantin untuk menjadi eksekutor aksi mereka. Bisa jadi anak ini pun begitu. Jadi dia tak boleh gegabah. Dia sudah menyebar intel - inter terbaiknya ke seluruh pelosok Jogja untuk menguak di mana sebenarnya sarang mereka. Hanya memang tak mudah. Banyak masyarakat yang seperti sengaja menutup mata tentang hal ini. Mereka takut. Takut menjadi korban, tapi takut juga terseret jika sesuatu sewaktu - waktu hal ini terungkap. Problematik memang. Banyak petinggi polisi yang menyerah. Membiarkan saja dan hanya mengusut saat ada kasus seperti ini, Itu pun hanya setengah - setengah, tak sampai tuntas. Tapi dia tak mau. Dia pernah menjadi korban. Dia juga ingin keadilan. Dan ini yang akan dia lakukan. Mengusut kasus menahun yang seperti tancapan paku berkarat pada kaki yang lama dibiarkan. Dia akan mencabutnya tak peduli jika setelah dicabut, nanah dan darahnya akan menyembur keluar dan akan menyebabkan kesakitan yang luar biasa. Dia tak peduli. Setidaknya, dia tahu bahwa itu adalah hal yang memang layak untuk dilakukan. Jika tidak, maka hal yang lebih buruk akan terjadi. "Sudah jam segini, Pak Adit nggak pulang?" Salah satu rekan kerjanya yang sepertinya baru datang menyapa, membuatnya tersentak dan melirik jam tangan di pergelangan tangan kirinya. Sudah jam tujuh rupanya. Tugas jaganya sudah selesai. Dia sudah diperbolehkan pulang, untuk beristirahat sejenak sebelum nanti jam dua nanti dia akan kembali ke sini lagi. "Oh, Pak Arman. Iya ini mau pulang. Mau beres - beres dulu." Orang yang dipanggilnya Pak Arman itu mengangguk mengerti. "Ya sudah, ati - ati ya, Pak. Saya mau laporan absen dulu sebelum telat ini." "Monggo - monggo, Pak." Dia kemudian membereskan barang - barangnya, menyimpan kertas stektas itu di dalam map yang bertuliskan tamggal dan nama kasus kemarin malam, dan menutupnya kembali, menatanya dengan rapi di atas rak - rak mejanya agar siapa pun rekannya yang membutuhkan, mendapat bukti baru, bisa dimasukkan di sana dan tak tercecer sembarangan. Setelahnya, dia meraih kunci mobil Brio kecilnya dan beranjak ke belakang untuk absen pulang. *** Dia menatap kalender yang selalu dia lingkari merah setiap tahunnya di tanggal tertentu di bulan ini. Bukan, bukan tanggal ulang tahunnya, bukan juga tanggal cuti, apalagi tanggal turunnya gaji ke tiga belas. Bukan. Hanya tanggal nahas yang terus saja dia ingat meskipun sudah belasan tahun berlalu. Tanggal di mana dia kehilangan dua orang yang paling berarti baginya. Dua orang yang seharusnya membuat hidupnya komplit dan bahagia; Anak laki - laki yang bahkan belum sempat dia buai dan istrinya. Ya, kejadiannya di tanggal ini. Malam ini nanti menjelang tengah malam. Mungkin hal itu yang membuatnya merasa setimentil dengan kasus - kasis klitih yang terjadi beberapa saat terakhir ini. Dendamnya kembali membara sehingga dia ingin sekali meringkus siapa pun dalang di balik semua ini. Dia mengangkat ponsel yang sedari tadi diganggamnya, mencari satu nama dan mulai memanggilnya. Diam sejenak menunggu nada sambung di sana terhubung dengan seseorang yang dia panggi, "Asslamu'alaikum." Suara teduh yang membuat hatinya tenang menyapa telinganya. "Waalaikum salam. Ini Adit, Bu." "Iya, gimana kabar kamu di sana, Le? Lama kamu nggak ngabari Ibu. Sehat tho?" Tanya Ibunya. Hal wajib yang ditanyakan setiap kali dia menelpon. Seperti halnya semua orang tua pada umumnya, ingin tahu keadaan anaknya, sedangkan dia sendiri, ingat keadaan ibunya saja belum tentu dua tiga hari sehari. Dia merasa menjadi anak durhaka. Terlebih keputusannya untuk tak mau dihubungi duluan. Dia benar - benat meminta Ibunya untuk tang menghubunginya duluan. Bukan karena dia tak mau. Karena tentunya Ibunya tak tahu jadwalnya sebagai polisi apa saja. Dia sudah cukup merasa bersalah seperti ini. Bagaimana jika Ibunya menghubunginya saat dia sedang menyergap, tapi tak bisa menjawabnya? Itu akan membuatnya bersalah. Dia selalu menghubungi Ibunya duluan. Saat ada yang ingin dia tanyakan, saat rindu, saat dia meminta sesuatu sesepele doa, dan saat dia pamit untuk melaksanakan tugasnya. "Baik, Bu. Alhamdulillah. Ibu gimana?" "Ibu juga baik, kok. Syukurlah kalau di sana kamu baik - baik aja." "Bu, hari ini..." "Iya, Ibu ini lagi nyatetin antaran berkatnya. Kayak biasanya, pasti ibu adakan doa dan khataman di rumah buat mantu sama cucu ibu atas permintaan kamu, karena takut kamu takut nggak ada waktu. Kamu jangan lupa nyekar ya, kalau ada waktu senggang. Sebentar juga nggak papa, sekedar kirim Al Fatihah buat mereka." Yang dikatakan Ibunya semuanya benar. Dia meminta Ibunya untuk menggelar doa bersama berisi tahlil dan khataman Al Qu'an untuk mereka berdua di tempat kelahirannya. Selain takut kalau dia tak sempat, di Jogja juga agak tak lazim untuk menggelar doa bagi merek ayang telah terlebih dulu pergi meninggalkan kita. Meskipun ada, jumlahnya tak banyak. Jadi lebih aman jika menyelenggarakannya di kampung halamannya di Jawa Tengah sana. "Nggih, Bu. Matur Suwun. Makasih." "Sama - sama. Kamu nggak pengen pulang, Le? Ibu pengen nyekar ke makam Bapak juga, tapi adek - adekmu masih pada sibuk. Ibu nunggu kamu aja, ya." Aditama meringis. Rumah Ibunya adalah rumah baru. Rumah mereka yang dulu, tanahnya disengketakan dijadikan rebutan oleh saudara - saudara Ayahnya yang lain. Padahal kalau sesuai hukum, Ayahnya masih punya dua anak laki - laki dan tiga anak perempuan serta istri sah. Tapi seolah itu semua itu dimentahkan oleh mereka dan dibagi di antara mereka sendiri. Tapi ya sudahlah. Aditama dan adik - adiknya tak akan meminta bagian. Mereka semua sudah bekerja dan lebih dari mampu untuk membelikan serta membangunkan rumah untuk Ibunya di kecamatan sebelah rumah mereka yang dulu. Sehingga begitulah, Makam Sang Ayah jadi jauh. Aditama juga paham jika beberapa adiknya ada yang tak mau pergi ke sekitar makam lagi karena banyak kerabat Ayahnya di sana. Ibunya akan merasa tak enak jika tak mampir, tapi jik amampir tanpa membawa apa - apa, sering jadi omongan. Itu yang membuat adik - adiknya jengah dan tak ingin sering - sering ke sana. Meskipun ke sana, mereka biasanya memilih hari kerja dan saat jam kerja. Jadi tak ada yang melihat kedatangan mereka. Setelahnya pun mereka akan langsung pulang tanpa sapa menyapa yang tak perlu. "Nanti ya, Bu. Adit belum bisa. Ada kasus baru yang masuk ke divisi Adit kemaren," Dia tak bohong. Memang itu kebenarannya. Kasus yang melibatkan Pak Muhdi sebagai korban ini tak bisa ditunda, harus cepat diselesaikan. Dan itu membuatnya tak bisa ke mana - mana sampai kasus ini selesai. "Klitih lagi?" Ibunya bertanya dengan nada lemah. Pasti juga Ibunya itu sudah melihat beritanya di TV. Jadi tak ada gunanya dia berbohong pada wanita yang mempertaruhkan nyawa untuk menjadikannya ada di dunia ini. "Nggih," "Kamu ati - ati ya, jangan terbawa dendam. Tangani dengan adil sesuai kapasitas kamu sebagai penegak hukum. Jangan main hakim sendiri." "Nggih, Bu. Ya sudah, ini Adit tutup dulu ya, mau siap - siap nyekar ke makam terus langsung ke kantor." "Iya, Le. Jaga diri. Doa Ibu selalu menyertai." "Matur Suwun." Klik
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN