Korban adalah seorang pria paruh baya, sorang juru parkir dari toko bahan kue di sekitar sana yang sedang pergi lang menuju rumahnya saat peristiwa klitih menimpanya
Dia ditolong oleh warga sekitar yang keluar setelah para pelaku pergi.
"Saya tahu kalau yang barusan itu Klitih setelah mendengar jeritan Bapaknya ini meminta tolong diikuti dengan bunyi kendaraan yang knalpot nya bolong. Tapi saya nggak berani keluar. Ya baru panggil ambulans dan telepon polisi setelah melihat keadaan si korban." Kata salah satu saksi pertama.
Teror Klitih ini memamg lebih meresahkan warga Jogja dibandingkan kasus tawuran antar suku yang marak terjadi di beberapa daerah tertentu khususnya daerah kota dan beberapa tempat di kabupaten Sleman. Di dua kasus ini lah biasanya baik Sri Sultan sendiri maupun Aparat Kemanan kesulitan untuk menentukan sikap. Untuk kasus bentrok antar suku, ditindak tegas dibilang rasis, di demo satu negara, tak ditindas, semakin semena - mena. Dinasehati, dibilang dimaki dan dikata - katai secara tak sopan, dibiarkan tak kapok juga. Mirip seperti Klitih. Gugur satu tumbuh seribu. Malah yang lebih meresahkan, para pelakunya kebanyakan adalah anak - anak di bawah umur yang masih sekolah. Ini sangat tak bagus, karena anak - anak jadi identik dengan hal - hal yang berbau kekerasan dan kriminalitas. Tapi seah memang itu yang dimanfaatkan oleh perekrut Klitih. Anak - anak. Karena hukum belum bisa menjerat mereka sepenuhnya. Jadi, meskipun dalangnya sudah berkali - kali diamankan, kelompoknya terus saja ada.
Regenerasinya cepat sekali Sampai kesulitan mendeteksi. Yang lebih mengerikan dari Klitih adalah ketiadaan motif pelaku dalam memilih korban. Tak ada kriteria khusus. Tua muda laki - laki dan perempuan semua bisa terkena. Malah, banyak kelompok copet dan begal juga mencelakai korbannya seolah - olah yang melakukan kejahatan adalah kelompok Klitih.
Tapi polisi selalu cepat menemukan perbedaannya. Pelaku Klitih tak pernah mengambil barang - barang berharga korbannya. Mereka hanya mengincar korbannya itu sendiri. Lukanya pun berbeda - beda. Kadang hanya sayatan ringan, kadang bacokan dalam, dan tak jarang pula ada yang sampai membuat nyawa korbannya melayang.
Setelah menginvestigasi tempat kejadian perkara, Adit, didampingi oleh dua petugas polisi lainnya, kemudian menuju ke rumah sakit tempat korban dilarikan untuk pertolongan pertama.
"Korban kecelakaan di Kotabaru di mana?"
"Oh, kebetulan Bapaknya sudah selesai dilakukan tindakan. Mari saya antar ke sana." Salah seorang suster yang sudah senior menyambut mereka dan mengantarkan mereka ke bangsal di mana pria tersebut dirawat.
"Keadaannya bagaimana?"
"Hanya luka luar, Pak. Tak sampai terkena organ vital. Namun lukanya cukup dalam. Butuh dua puluh lima jahitan tadi." Lapornya. "Kami sedang menunggu kedatangan keluarganya, nanti saya infokan kalau mereka sudah datang. Silakan. Saya permisi dulu."
Aditama hanya mengangguk saat suster tersebut pamit kembali ke posko jaganya, lalu melangkah memasuki bangsal berisi delapan buah brankar yang hanya terisi separuhnya saja. Langkahnya mantap menghampiri korban yang terbaring dengan salah satu kaki terbebat perban di bagian pahanya. Pria itu memejamkan mata, mungkin tertidur karena efek obat bius dan kelelahan setelah hari yang panjang.
Suasana kamar rawat ini sepi. Hanya ada beberapa penunggu pasien yang masih terjaga dan mengamati mereka dengan pandangan ingin tahu, kenapa busa sampai ada polisi di kamar mereka.
Dia kemudian duduk di satu - satunya kursi yang ada di sana, sementara kedua petugas yang datang bersamanya berjaga di belakangnya dengan menghadap ke belakang, membuat semua mata yang awalnya menoleh kepo langsung kocar kacir ada yang langsung merem pura - pura tidur, ada yang langsung sibuk sama ponselnya, bahkan ada yang langsung saling mencari kutu dengan orang di sebelahnya.
"Bapak." Panggilnya pelan, menunggu dengan sambar sampai kelopak mata yang bergetar itu terbuka sempurna.
"Pak polisi...." Pria itu seketika merintih dalam tangis emosi ketika melihat Aditama.
"Perkenalkan, nama saya Aditama, dari kepolisian. Boleh saya tanya - tanya sedikit mengenai kronologinya ya, Pak? Kita bicaranya yang tenang saja karena sudah malam, takut mengganggu pasien yang lain."
Bapak tersebut mengangguk - angguk menanggapi perkataan Aditama yang lembut namun tegas. Dia memang dikenal sebagai polisi yang tutur katanya santun dan tak meledak - ledak. Kebanyakan polisi saat investigasi akan sambil berteriak dan marah - marah jika tersangka tak mau bekerja sama. Bahkan tak jarang ada yang sampai main tangan dan tendang juga untuk mengintimidasi agar segera mengaku. Tapi dia tak pernah begitu. Pun saat menghadapi para pelaku klitih, yang mana semua orang tahu dia amat membencinya.
"Dengan Bapak sinten (siapa) ini?"
"Muhdi, Pak." Suara Bapaknya serak dan sedikit bergetar. Mungkin masih shock, tak menyangka kejadian ini bisa menimpanya. Untungnya hanya luka luar yang tak terlalu serius.
"Kronologi kejadiannya bagaimana, Pak Muhdi?"
Aditama membantu memutar tuas brankar agar Pak Muhdi bisa setengah berbaring setengah duduk, karena itu yang diinginkan pasien.
"Kulo nembe bubaran kerja, Pak, wau niku (saya baru selesai kerja Pak tadi itu)." Pak Muhdi memulai ceritanya. "Kulo dalemen wonten Lempuyangan mriko, kerjonipun ten daerah UGM. Nggih mpun biasa mangkat mulih lewat Kotabaru meniko. Mboten curiga blas kulo wong biasa ten mriku nggih sepen motor namung setunggal kalih (Saya rumahnya di Lempuyangan, kerjanya di daerah UGM, Ya sudah biasa berangkat sana pulang kerja lewat daerah Kotabaru itu. Nggak curiga sama sekali karena di sana sudah biasa sepi dan gelap begitu. Motor lewat paling satu atau dua)." Aditama mengangguk mendengar penjelasan awal Pak Muh. "Lha meniko ujug - ujug wonten ingkang mbandem ban ngarep kulo, marakke kulo dawah. Terus pas kulo mpun tenggletak ngoten niku wonten ingkang mencolot saking rerungkutan (Nah, terus tiba - tiba ada yang lemparin ban depan saya sampe saya jatuh. Terus pas saya udah jatuh tergeletak di jalan ada yang mendadak muncul dari semak - semak)."
Meskipun Aditama sudah menyalakan recorder, hadiah dari mendiang istrinya, tapi dia tetap mencatat apa yang dikatakan oleh Pak Muhdi tentang kronologi kejadiannya.
"Yang loncat itu yang nglitih Bapak?" tanyanya.
"Nggih! (Ya!)" Jawaban Pak Muhdi terdengar gemas dan berapi - api."Sambil ketawa lihat belakang begitu, saya kira dia mau nolong saya, makanya saya nggak minta tolong. Ternyata habis itu dia keluarin belati dan nusuk paha saya. Saya langsung minta tolong, tapi nggak ada yang keluar dan mereka semua langsung kabur. Ada yang naik brondol (pick up) ada yang boncengan pake motor."
"Bapak sempat lihat berapa orang mereka?"
"Waduh, Kulo mboten ngematke. Mpun fokus ten sikil kulo sing getihen mboten karuan (Waduh, saya nggak memperhatikan. Fokusnya sudah ke kaki saya yang sudah berdarah - darah)."
Aditama sibuk mencatat. Tapi tangannya langsung terhenti seketika saat Pak Muhdi melanjutkan. "Tapi saya ingat bagaimana wajahnya yang nusuk saya, Pak Polisi."